Sambil menangis sesenggukan Shanty bercerita bahwa ia baru memutuskan untuk berhenti bekerja dan memilih tinggal di rumah saja mengasuh sendiri anaknya. Dari penuturannya tersingkap latar belakang keputusannya.
Shanty dan Alfred adalah pasangan muda yang baru mempunyai seorang anak perempuan berumur 2,5 tahun, Ayla. Ketika mereka bekerja, sang anak diasuh oleh seorang babby-sitter. Selang beberapa lama mereka mengamati bahwa kulit anaknya makin hari makin gelap. Ada juga perilaku yang aneh dari Ayla, yakni jadi suka meminta-minta sambil menadahkan tangan kepada semua orang di rumah itu maupun mereka yang datang ke sana. Pada awalnya Alfred dan Shanty menganggap itu hal biasa yang terjadi dalam pertumbuhan anak-anak dalam usia itu, bahkan mereka sempat menganggapnya lucu.
Suatu hari Shanty pulang siang dari kantor karena sedang tidak enak badan. Sesampai di rumah ia tidak menjumpai Ayla dan baby sitter-nya. Ia segera beristirahat dan tidur. Sorenya ketika ia bangun Ayla sudah di rumah serta telah selesai dimandikan dan dikeramasi. Ia tidak terlalu memperhatikan itu lagi.
Sekali waktu Shanty bertelepon dengan Ratih, temannya. Di tengah pembicaraan Ratih mengatakan, sepertinya ia pernah melihat Ayla bersama babby-sitternya di sekitar kantor suaminya. Meskpun sempat agak terkejut, tapi Shanty menganggap itu nggak mungkin.
Pada suatu malam tiba-tiba badan Ayla panas sampai ia mengigau. Shanty sungguh terkejut karena igauan Ayla dirasa aneh dan tidak wajar. “Ayla cape, Suz. Pengin pulang … minta minum, Suz. Ayla hauus … Ayla nggak mau minta ke mobil lagi … Mamaaa… Mamaaaa..” erang Ayla. Dada Shanty berdegup kencang membayangkan apa yang dipikirkannya sendiri mengenai apa yang dialami Ayla, apalagi ketika ia teringat pengalamannya waktu pulang siang dan pembicaraan teleponnya dengan Ratih. Shanty menjadi panik dan menangis sambil memeluk Ayla erat-erat.
Esoknya ia membahas pengalaman dan ketakutan pikirannya dengan Alfred. Mereka segera memanggil babby sitter Ayla dan menanyakan apa saja yang dilakukan Ayla dalam pengawasannya. Pada mulanya sang babby sitter memberikan keterangan yang berbelit-belit, tidak logis dan mengada-ada. Alfred menjadi curiga dan menginterogasi sang babby sitter dengan lebih fokus. Setelah ditanyakan fakta-fakta berdasarkan informasi dan pengalaman yang ada, sang babby sitter tiba-tiba menangis meminta ampun. Alfred dan Shanty agak terkejut menerima reaksi seperti itu. Betapa lebih terkejut dan syoknya Shanty ketika pada akhirnya sang babby sitter mengaku bahwa ia memanfaatkan Ayla untuk mengemis di lampu merah… nah lho!
Banyak dari kita yang berpikir dan berlaku seperti Alfred dan Shanty. Bekerja dengan giat berdua untuk memperoleh uang guna biaya pendidikan anak. Tidak ada yang salah dengan itu. Semua orang menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik hingga tingkat yang setinggi-tingginya. Padahal biaya pendidikan sekarang tidak bisa dibilang murah. Oleh karenanya mumpung anak masih kecil orangtua bekerja mati-matian mengumpulkan modal guna biaya pendidikannya. Soal mendampingi dan menyertai pertumbuhan awal anak bisa agak diabaikan dulu, toh masih kecil. Sekarang fokusnya mengumpulkan dulu biaya sekolah lanjut/kuliah nanti.
Namun satu hal yang tidak terlalu disadari oleh para orangtua yang berprinsip demikian adalah ketika uangnya terkumpul dan masalah biaya sudah tersedia, sering baru ditemukan bahwa sikap mental anak-anak berbeda dari yang mereka harapkan. Anak-anak tidak tumbuh dengan setting mereka, karena mereka memang hampir tidak pernah bersama dengan anak-anak itu. Model yang didapat anak akhirnya adalah neneknya, tantenya, pengasuhnya atau siapa pun yang dekat dengan keseharian mereka. Karena pada umumnya para orangtua di atas berpendidikan lebih tinggi, bergaul lebih luas, berpengetahuan dan berkeahlian lebih maju, maka sangat wajar kalau mempunyai tuntutan yang tinggi bagi perkembangan dan pembentukan mental anaknya. Tanpa bermaksud meremehkan para pengasuh, maka cukup wajar keprihatinan para orangtua itu ketika menemukan anak-anak tumbuh dengan setting dan sikap mental pengasuhnya. Pada akhirnya para orangtua membiayai dengan mahal pendidikan anak-anaknya yang hanya berbekal sikap mental pengasuh mereka.
Peran Orangtua
Rumah, atau tepatnya orangtua, adalah sumber paling awal bagi proses pembentukan mental anak. Di sanalah anak-anak mulai melihat, merasakan dan terlibat dalam interaksi kehidupan awal mereka. Mereka melihat apa yang dilakukan orangtua mereka, mereka merasakan perlakuan yang mereka terima dan mereka sadar bahwa mereka merupakan bagian dari interaksi kehidupan yang di sekeliling mereka. Dari yang mereka lihat mereka mencatat dalam benak mereka, belajar mengerti (sebatas kemampuan mereka dalam memahami), dan pada akhirnya menirukan, children see, children do. Sehingga sebaik atau seburuk apapun yang dilihat sang anak, seperti itu jugalah yang akan ditiru dan dilakukannya. Apa yang biasa dirasakan anak adalah apa yang akan ia upayakan untuk terjadi lagi dan juga dijadikannya bagi orang lain.
Bila kita menyerahkan proses pembentukan pengalaman awal anak kepada orang lain, entah itu babby sitter ataupun keluarga (nenek, tante, sahabat keluarga, atau kerabat yang lain), bukankah itu berarti menyuguhkan kepada anak kesempatan mendapatkan contoh-contoh perilaku pada awal kehidupannya bersama dengan orang-orang lain itu dibandingkan dengan orangtuanya sendiri? Bukankan itu juga berarti menyerahkan pembentukan mental anak kepada orang lain itu? Meskipun tidak selalu berarti buruk, namun dibanding kebaikan dan kesesuaiannya dengan setting yang kita rancang dan harapkan, hasilnya sering kali tidak sebanding. Kemungkinannnya cukup kecil untuk bisa dikatakan sekadar memuaskan.
Para orangtua perlu menyadari bahwa kebersamaan mereka dengan anak pada usia awal sangatlah diperlukan, karena pada saat itulah anak membutuhkan model untuk dilihat, dirasakan perlakuannya serta diajak terlibat dalam kehidupan sehari-harinya. Melalui hal itu anak akan membentuk gambaran, kesimpulan dan arahan perilaku di masa perkembangannya. Anak yang dibesarkan serta diajak terlibat oleh pengemis akan punya kecenderungan berperilaku yang didasari mental pengemis. Anak yang dibesarkan dan diajak terlibat oleh guru akan cenderung berperilaku seperti guru. Perilaku dan dasar mental seperti apa yang Anda inginkan terekam dan terpahami oleh anak-anak Anda sehingga menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, memutuskan dan berperilaku?
Konsep ‘The Golden Age’
Istri saya pernah punya tekad bahwa ia tidak akan kembali berkarier di dunia profesional sebelum anak kami yang kecil berumur 7 tahun. Hal itu dilakukannya dalam kerangka pemahaman bahwa ada masa tertentu dalam perkembangan anak yang disebut ‘golden age’, yakni masa anak sampai usia 7 tahun; karena sampai dengan usia anak 7 tahun kita berkesempatan mengisi 70% benaknya dengan memori awal yang akan tersimpan dan memenuhi benaknya di sana dan akan terbawa hingga ke masa dewasanya.
Dalam suatu kesempatan kami bertemu dengan seorang konsultan parenting dan berdiskusi tentang golden age ini. Beliau mengapresiasi keputusan istri saya untuk mendampingi pertumbuhan, perkembangan dan pendidikan mental anak-anaknya dengan keluar dari pekerjaannya. Namun beliau mempertanyakan kembali niat untuk kembali bekerja karena telah menganggap masa golden age anak-anak telah terlampaui.
Menurut beliau, setiap masa perkembangan anak mempunyai golden age sendiri. Masa perkembangan anak-anak, pra remaja, remaja maupun pemuda punya masa-masa kritis di mana apabila sentuhan-sentuhan terhadap persoalan khas yang dihadapi pada masa perkembangan itu tidak sesuai serta tidak menjawab permasalahan khasnya masing-masing, maka hal itu potensial bisa memengaruhi, mengganggu bahkan menghambat proses dan perkembangan anak-anak menuju tahap selanjutnya, bahkan bisa menjadi kendala yang permanen.
Oleh karenanya tetap diperlukan pendampingan yang memadai pada setiap tahap perkembangan anak. Fungsi orangtua bukan mengkloning anak agar menjadi persis seperti diri mereka, tetapi mendampingi untuk menjaga agar anak tidak keluar dari rambu atau norma yang pantas dan wajar bagi usia dan tingkat kedewasaannya. Hal itu sekaligus juga untuk memastikan anak tidak salah jalan atau terhambat perkembangannya karena masukan yang salah dari lingkungan, hanya karena ia tidak punya alter ego untuk bahan pertimbangan. Menghayati hal itu maka pada akhirnya istri saya memutuskan untuk tidak kembali ke dunia kerja demi memprioritaskan pendampingan anak-anak dalam rangka pembentukan mental mereka.
Nilai, Prinsip, Kemandirian
Hal-hal yang menjadi tujuan bagi pembentukan mental anak adalah tertanamnya nilai-nilai atau norma kehidupan sekitarnya sehingga anak bisa menempatkan diri secara layak dan sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku di lingkungan di mana saja ia berada. Dengan demikian ia bisa akan menjadi pribadi yang baik menurut lingkungannya sehingga ia akan menerima kebaikan juga dari lingkungan itu.
Demikian juga tertanamnya prinsip-prinsip yang berlaku universal sehingga anak mampu menjadi manusia yang manusiawi, menjadikan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan sebagai landasannya dalam berpikir, berbicara, memutuskan dan bertindak. Tidaklah cukup mengandalkan sekolah, gereja, komunitas dan hal-hal serupa itu untuk mengajarkan dan menanamkan prinsip-prinsip kemanusiaan itu kepada anak dalam kemudaannya. Dalam hal mengenal Tuhan sekalipun, butuh pendamping yang intensif agar pemahaman anak menjadi benar dan lebih baik dengan melihat arahan, sharing, contoh, koreksi serta dorongan bagi pelaksanaan prinsip yang dipahami dalam kehidupan anak sehari-hari dari pendamping atau alter egonya.
Tujuan akhir dari pembentukan mental melalui penanaman prinsip dan nilai kemanusiaan bagi anak adalah menjadikannya mandiri dalam menilai, bersikap, berespons serta bertindak tepat, baik dan benar terhadap situasi dan kondisi dalam kehidupan dewasanya berdasarkan prinsip dan nilai kebenaran serta kebaikan yang tetap terjaga.
Nah, setelah mengetahui bahwa pendampingan dan peran pendamping begitu menentukan arah pembentukan mental anak, apakah kita masih akan tetap menganggap remeh menyerahkan pendampingan anak dalam pembentukan mental pertumbuhannya kepada sembarang pendamping, yang bisa jadi nilai serta prinsipnya tidak pas, agak berbeda bahkan mungkin bertentangan dengan kita atau yang kita harapkan?
Bagaimanapun juga secara kodrati orangtua adalah pendamping terbaik bagi anak-anaknya. Orang tualah yang punya harapan paling mulia bagi kehidupan anak-anak mereka, menjadi insan mulia yang sukses dan bahagia. Terlepas dari segala keterbatasan mereka, semua orangtua ingin menularkan kebaikan-kebaikan yang mereka pahami, rasakan dan alami kepada anak-anak mereka yang secara genetis mewarisi hal-hal yang paling dekat dengan mereka. Melalui pendampingan yang intensiflah hal itu ditularkan dan ditanamkan kepada anak-anak mereka. Bayangkan kalau fungsi, peran dan tempat itu digantikan orang lain, bukankah prinsip, nilai dan harapan pendamping lain itulah yang akan tertanam pada anak-anak yang sedang bertumbuh itu. Relakah Anda?
Sujarwo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.