Perawakannya tidak tinggi bahkan cenderung agak pendek. Usianya sudah hampir 80 tahun. Romo Tan Soe Ie, SJ yang berkedudukan di Gereja St. Ignatius, di desa Ponggol Kaliurang, adalah seorang tua yang kasat mata bukanlah seseorang yang istimewa. Dan memang beliau sendiri tidak pernah mengklem bahwa beliau adalah seorang yang penting apalagi istimewa.
“Saya hanyalah seorang tua yang tidak punya banyak waktu lagi…” ujarnya dengan senyum renyah memperlihatkan sederetan gigi yang ompong di sana-sini.
Tetapi pandang matanya bersinar-sinar penuh dengan semangat. Terlebih-lebih ketika kepadanya ditanyakan apa yang dilakukan dan dikerjakannya di Kaliurang beberapa tahun terakhir ini.
“Ah, ya cuma gini-gini aja…” sahutnya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Jangan begitu dong Romo… masakan ini tidak ada artinya?” sanggah salah seorang dari kami.
“Ya iya lah… wong cuma ngurusi cacing-cacing…” sahutnya lagi dengan tertawa makin keras sehingga terbatuk-batuk sendiri. Lalu ketika batuknya mereda, Romo Tan balik bertanya:
“Sebenarnya kalian ini mau apa to, mengunjungi saya yang tua-renta ini…?”
Yang disapa dengan “kalian” oleh Romo Tan adalah rombongan pendeta peserta kursus penyegaran. Pada tanggal 19-20 Mei 2008 yang lalu, saya bersama rombongan itu mengikuti sebuah kursus yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Spiritualitas Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) di Yogyakarta. Kursus itu diberi nama dalam bahasa Inggris, mungkin supaya menarik, atau barangkali kalau dalam bahasa Inggris lebih memberi kesan bermutu dan bergengsi: “Theological Refreshing Course for Pastor”. Sedangkan tema dari kursus penyegaran itu adalah “Penuhilah Bumi dan Taklukkanlah?” dengan subtema “Menjadi gereja yang peduli pada lingkungan hidup”.
Sayangnya jumlah pendeta yang mengikuti kursus ini sedikit sekali dibandingkan dengan jumlah undangan yang dikirimkan kepada semua pendeta dari gereja pendukung UKDW. Jumlah peserta kursus adalah 15 orang pendeta, dengan rincian 1 dari Gereja Kristen Pasundan (GKP), 4 dari Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ) dan 10 dari Gereja Kristen Indonesia (GKI), dan salah satu di antara para pendeta GKI adalah satu-satunya peserta perempuan. Mudah-mudahan animo untuk mengikuti kursus ini bukanlah cerminan kepedulian gereja-gereja kita terhadap alam lingkungan.
Kursus penyegaran, yang diselenggarakan sepenuhnya dalam bahasa Indonesia, dibuka dengan sebuah kebaktian ekspresif dan reflektif yang sangat mengesankan. Di situ para peserta ditantang untuk merenungkan bukan saja apa yang seyogyanya dilakukan gereja, tetapi juga apa yang seharusnya dilakukannya, sebagai pendeta, bagi pelestarian alam lingkungan. Kebaktian itu merupakan jalan masuk yang sangat tepat ke sesi pertama: Refleksi Bencana Lingkungan Hidup.
Sesi pertama yang dipandu oleh Drs. Kisworo Msc, dosen Fakultas Biologi UKDW adalah sebuah pembuka mata (eye-opener) bagi para peserta. Memang di sana-sini para pendeta, termasuk saya, telah mendengar dan membaca betapa upaya pelestarian alam lingkungan, khususnya di Indonesia, secara pelahan namun pasti menuntut perhatian dan tindakan yang kian serius. Namun dari presentasi sesi ini para peserta terhenyak terutama oleh cepatnya proses perusakan alam lingkungan di Indonesia yang sedang terjadi.
Proses perusakan itu terutama dalam hal ledakan kependudukan (jumlah penduduk Indonesia lebih daripada 200 juta, di mana di antaranya 17,8 % berada di bawah garis kemiskinan, 49% berpenghasilan kurang dari US$ 2 sehari); laju kerusakan hutan atau deforestasi (lebih daripada 3 juta hektar per tahun, yang berarti lebih daripada sekitar 8333,3 hektar sehari!); kepunahan spesies flora-fauna (mengancam biodiversitas alam) dan krisis air (defisit air di pulau Jawa tahun 200 = 52.809 juta m3). Dan semua ini langsung tidak langsung memberikan kontribusi pada pemanasan global yang kian mencemaskan.
Dalam diskusi yang kemudian berlangsung, ada cukup banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegat laju perusakan itu dan yang secara perlahan-lahan dan dalam skala yang amat kecil diharapkan dapat memperbaiki alam lingkungan. Misalnya melalui partisipasi nyata dan jejaring, partisipasi politik, dan pelayanan gerejawi. Namun itu semua hanya akan berarti bila difokuskan pada perubahan perilaku manusia, dari tidak-ramah lingkungan menjadi kian ramah lingkungan.
Sesi kedua adalah presentasi dari Ir. Mahatmanto MT, dosen Fakultas Arsitektur UKDW, dengan judul Arsitektur Ramah Lingkungan. Dengan amat menarik sang fasilitator menjelaskan sejarah orang membangun (tempat tinggal, kota) yang mula-mula amat mempertimbangkan alam lingkungan karena bergantung sepenuhnya, tetapi yang kian lama mengabaikannya karena kemampuannya (teknologi) menyesuaikan kondisi alam lingkungan dengan kebutuhannya. Beliau mengimbau dan memraktekkan apa yang disebut sebagai teknologi sustainable (awet, terus-menerus, memelihara). Dalam diskusi yang mengikuti sesi ini menjadi jelas pula bahwa inipun, penerapan teknologi sustainable pun hanya mungkin terjadi bila ada perubahan perilaku yang sungguh-sungguh mempertimbangkan pelestarian alam lingkungan.
Sesi ketiga, yang mengawali hari kedua, adalah paparan pendasaran dan refleksi teologis yang difasilitasi oleh Prof. DR. J.B Banawiratma, berjudul Teologi Lingkungan Hidup. Dalam sesi ini terjadi diskusi yang menarik karena para pendeta berada pada ranah yang amat mereka kenal. Dengan trampil Profesor Bono mengajak para pendeta menemukan dan merefleksikan kembali fondamen teologis alkitabiah mengenai alam lingkungan dan kewajiban orang percaya atasnya. Banyak hal yang dapat dipetik dan digarisbawahi dalam sesi ini. Hanya memang menurut hemat saya ada satu pokok yang kurang digali lebih dalam dan lanjut, yaitu konsep keselamatan dalam Yesus yang mestinya bukan cuma menyangkut manusia, tetapi juga dunia dalam konotasi alam lingkungan. Dan berlandaskan keyakinan itu setiap orang percaya dipanggil secara eksplisit untuk mempertanggungjawabkan upayanya mengeksploitasikan alam lingkungan dengan juga secara bersungguh-sungguh melestarikannya.
Setelah makan siang dengan bus para peserta dibawa ke arah Kaliurang. Acara terakhir, atau boleh dibilang puncak acara penyegaran adalah belajar langsung dari praktisi lingkungan. Kurang dari 1 jam bus kami berhenti di depan sebuah gereja yang kecil dan sederhana namun tampak asri, Gereja St. Ignatius di desa Ponggol Kaliurang. Menyongsong kedatangan kami dengan wajah berseri-seri adalah Romo Tan Soe Ie, SJ. Setelah memperlihatkan lahan di sekitar gereja dan rumahnya yang cukup luas dan tertata apik, kami naik bus sekitar 15 menit menuju ke tempat Romo Tan melaksanakan usahanya sebagai praktisi lingkungan.
“Kami mau belajar dari Romo, apa dan bagaimana yang Romo lakukan dalam rangka konservasi alam lingkungan.” ujar pengiring rombongan kami.
“Ah, yang saya lakukan hanyalah membuat pupuk organik dari sampah hijau…”
“Sampah hijaunya diapain Romo…?” tanya salah seorang dari kami penasaran.
“Saya juga menimbun sampah hijau, saya biarkan beberapa lama dan saya pakai sebagai pupuk… tetapi hasilnya menurut saya tidak terlalu istimewa….Kurang sih…”
“Kurang apa Romo…?”
“Kurang cacingnya…. ha ha ha…!” sahut Romo Tan sambil tertawa terbahak-bahak hingga terbatuk-batuk.
Setelah batuknya mereda Romo Tan menjelaskan apa yang dilakukannya, yang sebenarnya sederhana menurut beliau. Sampah hijau ditumpuk atau dionggokkan membentuk lajur-lajur pandang setinggi kira-kira 1 meter. Lalu ke dalam onggokan-onggokan sampah itu dilepaskan beberapa ekor cacing.
“Sembarang cacing bisa Romo…?”
“Ya bisa saja… ha ha ha…! Tetapi hasilnya belum tentu seperti pupuk organik kami….”
“Jenis apa Romo…?”
“Wah itu rahasia dapur…. ha ha ha…! Tetapi kalau ada yang berminat untuk membuat pupuk seperti saya punya ini, saya kasih cacingnya gratis…!”
Pupuk organik Romo Tan ini disebut “Kascing” yang sebenarnya adalah kotoran cacing. Sampah hijau tadi dimakan cacing lalu dikeluarkan lagi sebagai kotoran dalam bentuk butiran-butiran halus berwarna kehitam-hitaman dan beraroma seperti tanah. Kotoran cacing tercampur dengan lendir dan air liur cacing menjadi pupuk organik yang amat berkhasiat bagi segala macam tanaman. Dan bukan hanya itu menurut Romo Tan.
Kecuali kandungan NPK yang sangat tinggi, pupuk organik Kascing masih memiliki sesuatu yang unik, yaitu kandungan hormon yang dihasilkan oleh lendir dan air liur cacing. Hormon tersebut memacu pertumbuhan tanaman (hormon pertumbuhan), sekaligus melindunginya dari penyakit (antibiotik) dan mampu memelihara stabilitas tanah maupun media tanam yang lain. Yang terakhir ini penting, karena biasanya setelah tanah ditanami dengan diberi pupuk non-organik, maka mutu kandungan tanah menjadi makin buruk, dan lama kelamaan tidak lagi subur. Tanah yang seperti itu bila ditanami dengan diberi pupuk organik Kascing, dalam waktu singkat akan pulih kembali.
Sayangnya tidak banyak petani yang mau memakai pupuk organik Kascing ini walau harganya murah. Sebab memang hasilnya tidaklah secepat dan sehebat bila menanam dengan diberi pupuk kimia, seperti pupuk urea. misalnya. Tetapi Romo Tan tidak pernah bosan memotivasi para petani di sekitar gerejanya dan di tempat lain untuk menggunakan pupuk organik Kascing, buatannya. Karena amatlah penting menurut beliau bahwa para petani tidak hanya mementingkan hasil sesekali dan saat ini saja, tetapi melihat jauh ke depan, serta mengusahakan agar tanah bukan hanya bisa ditanaminya sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan oleh generasi-generasi berikutnya.
“Yang penting memang lalu menanamkan dan mengembangkan mentalitas ramah lingkungan…” ujar Romo Tan dengan pandang menerawang.
“Itu termasuk tugas Bapak-bapak dan Ibu pendeta sekalian…” sambungnya dengan lirih.
“Untuk menanam cacing…?” tanya salah seorang peserta bergurau.
“Ha ha ha….” tertawa terpingkal-pingkal sang Romo hingga kembali terbatuk-batuk.
“Memangnya Ibu Pendeta berani memegang cacing-cacing yang menjijikkan itu…?” Dan kamipun tertawa riuh-rendah.
“Saya tidak bisa berceramah teologis ilmiah tentang pelestarian alam lingkungan. Tetapi pupuk organik saya inilah menurut saya sumbangsih saya bagi usaha itu…” kata Romo Tan menyimpulkan pertemuan kami dengan beliau.
Kami pun mengangguk-angguk dengan berbagai pikiran kami masing-masing. Andaikata ada lebih banyak orang mau hidup seperti Romo Tan. Andaikata ada lebih banyak orang mau berpikiran seperti Romo Tan. Andaikata dari mimbar lebih kerap dikhotbahkan tentang panggilan dan tanggung jawab setiap orang percaya untuk melestarikan alam lingkungan. Andaikata GKI Pondok Indah dapat berprakarsa seperti Romo Tan, bukan untuk membuat pupuk organik Kascing, tetapi memulai sebuah usaha pelestarian alam lingkungan yang cocok di kota, seraya memberdayakan warganya untuk lebih ramah lingkungan. Andaikata gereja-gereja, khususnya GKI mengkhususkan satu bulan tertentu sebagai Bulan Peduli Alam Lingkungan seperti Bulan Keluarga misalnya…
Andaikata…
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.