Perjumpaan Tak Pernah Individual dan Internal Belaka
Setiap kali muncul percakapan mengenai tema “perjumpaan” (encounter), selalu timbul kekhawatiran di dalam benak saya. Warisan tradisi “kesalehan pribadi” yang sangat kuat di dalam kekristenan Protestan kerap memakai tema “perjumpaan” melulu sebagai perjumpaan individual, orang per orang, dengan Allah. Bukan hanya itu! Bukan hanya perjumpaan antara aku dan Allah yang penting, melainkan juga perjumpaan antara rohku atau jiwaku dan Allah. Jadi, selain sangat individualistis, juga sangat internalistis.
Padahal, spiritualitas Kristen tidak pernah mengajarkan perjumpaan sebagai sesuatu yang sekadar vertikal dan individual—aku dan Allah. Ia juga tak pernah sekadar internal, yaitu urusan jiwa atau roh tanpa melibatkan seluruh kemanusiaan kita yang menubuh ini. Perjumpaan dengan Allah selalu kita alami melalui Yesus Kristus, yang lahir, berkarya, tersalib, mati dan bangkit. Keseluruhan dari Anak Allah itu dialami oleh manusia sebagai Dia yang menubuh atau berinkarnasi sepenuhnya sebagai manusia konkret. Bukan hanya itu, perjumpaan kita dengan Allah melalui Yesus tak mungkin dapat diisolasi dari perjumpaan kita dengan sesama manusia, bahkan dengan sesama ciptaan lainnya. Kita tak pernah bisa berjumpa dengan Allah Bapa selain melalui Yesus Kristus, Anak Allah yang menjadi manusia. Demikian pun, perjumpaan kita dengan Kristus menjadi konkret di dalam perjumpaan kita dengan ciptaan dan sesama manusia lain yang dikasihi oleh Kristus.
Jorge Bergoglio: Open Mind, Faithful Heart
Berdasarkan kekhawatiran sekaligus pemahaman di atas, izinkan saya berbagi refleksi saya atas “teologi perjumpaan” (the theology of encounter) dari seorang tokoh religius penting abad ini, yaitu Paus Fransiskus. Saya sangat mengagumi tokoh ini karena keterbukaan spiritualitasnya, kepekaan sosialnya, serta kedalaman pemahamannya. Salah satu tema yang sangat sering muncul dalam tulisan dan khotbah Paus Fransiskus ini— yang memulai karya kepausannya pada bulan Maret 2013—adalah “perjumpaan” (encounter). Buku terakhir yang ditulisnya sebagai kardinal dengan nama asli Jorge Mario Bergoglio—sebelum akhirnya menjadi Paus—berjudul Open Mind, Faithful Heart: Reflections on Following Jesus (2013). Bagian pertama buku itu diberi judul “Encountering Jesus” (“Menjumpai Yesus”). Walaupun pada bagian ini, Bergoglio berbicara mengenai pentingnya perjumpaan dengan Yesus bagi para imam, tapi apa yang disampaikannya bermanfaat bagi orang percaya. Perjumpaan dengan Yesus haruslah berlangsung terus menerus dan itu mewujud ke dalam kehidupan yang kudus.
Di bagian hampir akhir buku ini, Paus merefleksikan makna kebangkitan Yesus dengan sangat indah:
Di dalam misteri kebangkitan, Yesus, yang kini ditegaskan sebagai Tuhan, muncul secara jasmaniah kepada para murid dan menyuruh mereka menyentuh luka-luka tubuh-Nya (lihat Yoh. 20: 19-20, 27; Luk. 24: 36-39, 40-42). Tubuh itu, luka-luka itu, daging itu—semuanya adalah perantara. Terlebih lagi, tidak ada cara lain untuk menjumpai Sang Bapa kecuali dengan ini. Dengan memandang daging Sang Anak, maka Sang Bapa memberikan keselamatan. Melalui luka luka Kristuslah kita berjumpa dengan Sang Bapa. Dengan sepenuhnya hidup dalam daging Nya yang dipermuliakan, Kristus memunculkan kehidupan di tengah kita saat kita mengambil bagian di dalam tubuh-Nya dan masuk dengan penuh kesabaran di dalam hasrat-Nya untuk juga mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. (h. 432)
Indah sekali, bukan? Di dalam kebangkitan Kristus itulah, seluruh perjumpaan Allah dan manusia memperoleh bentuk nyata.
Paus Fransiskus: Evangelii Gaudium
Salah satu dokumen pertama yang dikeluarkan oleh Kardinal Jorge Mario Bergoglio, setelah menjadi Paus Fransiskus, adalah sebuah Nasihat Apostolik yang berjudul Evangelii Gaudium (Sukacita Injil; 2013).1
Kalimat pertamanya sangat sederhana tapi, sekali lagi, menampilkan teologi perjumpaan Paus: “Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus.” Jadi jelaslah, bahwa perjumpaan dengan Yesus Kristuslah sumber sukacita dan pusat kehidupan kristiani, menurut Paus Fransiskus. Segera setelah itu, ia menegaskan harapan besarnya melalui dokumen ini, yaitu agar semua orang Kristen “mengawali bab baru evangelisasi yang ditandai oleh sukacita ini, seraya menunjukkan jalan-jalan baru bagi perjalanan Gereja di tahun-tahun mendatang.” (EG 1). Jadi, dokumen ini pada intinya berbicara mengenai pengabaran Injil pada masa kini yang merambah seluruh dimensi kehidupan, tapi dasarnya ditemukan di dalam sukacita Injil yang muncul karena perjumpaan dengan Yesus Kristus. Paus menegaskan pentingnya perjumpaan itu selanjutnya:
Saya mengajak seluruh umat kristiani, di mana pun, pada saat ini juga, untuk membarui perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus, atau setidaknya terbuka untuk membiarkan-Nya menjumpai kalian; saya mengajak Anda semua untuk melakukan hal ini tanpa henti setiap hari. (EG 3)
Di sini Paus mengulangi pemahamannya, bahwa perjumpaan itu bukanlah sebuah peristiwa sekali atau sesekali, melainkan sebuah peristiwa tanpa henti. Sebab, kehidupan kita menjadi sungguh-sungguh hidup ketika kita senantiasa mengalami perjumpaan dengan Yesus. Bagi Paus, sumber sejati dari sukacita Injil adalah Kristus yang bangkit itu dan perjumpaan dengan Nya. Masih di paragraf 3 itu, ia berseru: “Janganlah kita lari dari kebangkitan Yesus, janganlah kita menyerah, apa pun yang terjadi. Semoga tidak ada yang lebih menginspirasi daripada hidup-Nya, yang mendorong kita untuk terus maju!”
Evangelii Gaudium sungguh-sungguh sebuah dokumen penting yang mendorong kita untuk menyadari pentingnya pewartaan Injil dan bergegas melakukannya. Dasarnya, sekali lagi, adalah perjumpaan (encounter) dengan Yesus. Sebanyak 33 kali kata encounter ini muncul. Banyak ahli yang meneliti pemahaman teologis dan spiritual Paus yang kemudian menandaskan bahwa kegigihan Paus mempromosikan teologi perjumpaan ini tak lain karena ia melihat bahwa dunia masa kini makin kuat mempraktikkan “budaya sekali-pakai-buang” (throwaway culture). Simaklah betapa keras ia mengkritik budaya ini,
Manusia sendiri dipandang sebagai barang konsumsi yang bisa dipakai dan kemudian dibuang. Kita telah menciptakan budaya “sekali-pakai-buang” yang sekarang sedang berlaku di mana-mana. Hal ini tidak lagi melulu tentang eksploitasi dan penindasan, tetapi sesuatu yang baru. Pengucilan akhirnya terkait dengan apa artinya menjadi bagian dari masyarakat di mana kita hidup; mereka yang disisihkan tak lagi menjadi kelas bawah atau masyarakat pinggiran atau yang tercabut haknya—mereka bahkan tak lagi menjadi bagian dari masyarakat. Mereka yang tersisih bukanlah orang-orang yang “dieksploitasi”, tetapi orang-orang buangan, “sampah yang dibuang.” (EG 53)
Budaya sekali-pakai-buang ini terlihat dari bagaimana manusia masa kini memperlakukan bumi dan sesama manusia. Bukan hanya sumber daya alam yang mengalami perlakuan sekali-pakai-buang, melainkan juga manusia. Dalam artikel Charles M. A. Clark and Helen Alford yang berjudul “The Throwaway Culture in the Economy of Exclusion: Pope Francis and Economists on Waste” (American Journal of Economics and Sociology, Vol. 78, No. 4, 2019, h. 976-977), dicatat beberapa data yang mengerikan:
- 5,8 juta metrik ton limbah akan dibuang.
- 14.280 hektar hutan akan ditebang (terutama dari penebangan liar).
- 21.917 metrik ton plastik berakhir di lautan.
- 11–14 miliar kantong plastik sekali pakai digunakan. Ini didasarkan pada perkiraan produksi global sekitar 4 hingga 5 triliun kantong plastik pada tahun 2002.
- 822 juta orang akan menderita kekurangan gizi kronis.
- 100 juta orang akan kehilangan tempat tinggal dan 1,6 miliar akan tinggal di tempat penampungan yang tidak memadai.
- 17.307 anak-anak akan meninggal karena penyakit yang dapat dicegah (kelahiran prematur, radang paru-paru, dan diare adalah pembunuh terbesar). 14.841 di antaranya berusia di bawah 5 tahun; 2.466 anak berusia antara 5 dan 14 tahun.
- 150.000 aborsi akan dilakukan (kebanyakan di negara-negara “berkembang”).
- 40,3 juta orang akan menjadi korban perbudakan modern. 24,9 juta orang berada dalam kerja paksa; 15,4 juta orang mengalami pernikahan paksa—71% perempuan dan 25% anak-anak.
- 7.700 orang akan menjadi pengungsi, melarikan diri dari tanah air mereka karena “ketakutan akan penganiayaan berbasis ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik.”
Kegelisahan Paus Fransiskus terhadap budaya throwaway ini sangat beralasan. Itu sebabnya, di dalam ensiklik Laudato Si’ (2015)2 yang sangat mashyur itu, ia mengulangi lagi kritiknya atas budaya sekali pakai-buang yang demonik ini (LS 22, 43, 123). Namun, sekali lagi pula ia menegaskan pentingnya perjumpaan (encounter) sebagai jawaban penting bagi masalah throwaway culture ini. Ia menulis, “Jadi apa yang mereka semua butuhkan adalah sebuah ‘pertobatan ekologis,’ dan akibat dari perjumpaan mereka dengan Yesus Kristus terbukti dalam hubungan mereka dengan dunia di sekitar mereka” (LS 217).
GKI Pondok Indah: Encounter
Paska GKI Pondok Indah tahun ini mengambil tema yang sama dengan pusat spiritualitas Paus Fransiskus, yaitu “Perjumpaan” (Encounter). Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itulah yang menjadi pusat dari iman Paska. Dan saya sungguh berharap bahwa pesan Paska yang sangat indah ini tidak mengalami devaluasi akibat dipahami terlalu individualistis dan terlalu internal. Perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus yang menyentuh hingga ke batin terdalam memang sangat penting, jika bukan yang terpenting. Namun, perjumpaan yang hanya berhenti di situ justru tidak akan memberi kita kekuatan untuk menghadap dunia dengan berani dan melawan budaya sekali-pakai buang (throwaway culture), yang terbukti telah merusak bumi ini dan merendahkan nilai kemanusiaan begitu banyak orang. Perjumpaan dengan Yesus yang terisolasi dari perjumpaan dengan sesama dan semesta yang dijadikan “sampah” (waste) justru akan menyia-nyiakan getar Paska itu. Jangan-jangan, kita juga akan melakukan yang sama dengan Paska kita: sekali pakai, buang!•
|| Pdt. DR. Joas Adiprasetya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.