1.
Sekitar sepuluh tahun yang lalu masyarakat Belanda, khususnya orang-orang percaya, dihentakkan oleh sebuah buku yang ditulis oleh dosen Perjanjian Baru dari sebuah universitas teologi terkemuka di Belanda. Dalam bukunya sang dosen hendak mengatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti historis dan literer, Yesus dalam hidup dan karya-Nya sama sekali tidak bermaksud untuk mengorbankan diri menebus dosa manusia. Konsep pengorbanan dan penebusan Yesus adalah konsep yang ada dalam persepsi jemaat mula-mula. Konsep itu secara sadar atau tidak, disisipkan oleh penulis-penulis Injil yang memang sudah akrab dengan konsep itu.
Berbagai reaksi muncul waktu itu, yang sebagian besar pada prinsipnya menentang dan menyesalkan sang dosen dengan bukunya. Karena dengan bukunya yang kontroversial itu sang dosen langsung atau tidak langsung, menggoyahkan pilar utama iman Kristen. Ia diwawancarai oleh berbagai pemancar televisi baik yang pro, kontra maupun netral. Salah satu pertanyaan utama dalam wawancara itu adalah apakah bukti-bukti yang diajukannya mutlak dan tak bisa dibantah.
“Anda tahu bahwa dalam studi historis dan literer dari zaman itu tidak ada bukti yang seperti itu.”
“Jadi tulisan Bapak hanyalah sebuah spekulasi historis yang lain, sebab tidakkah di masa lalu cukup banyak spekulasi seperti ini?”
“Tentu saja bukan…! Lagipula saya….”
“Bukankah bukti-bukti itu tidak mutlak?” tukas sang presenter.
“Memang, tetapi semua bukti menunjuk ke arah sana!” jawab sang dosen yang kelihatannya agak tersinggung. “Tulisan lain yang telah ada, dan yang membicarakan topik ini, belum mengungkapkan temuan-temuan seperti yang saya singkapkan dalam buku saya.”
Akhirnya atas desakan gereja yang di bawahnya universitas sang dosen bernaung, sang dosen menyatakan secara terbuka bahwa tulisannya adalah semata-mata pendapatnya pribadi, yang tidak normatif, serta tidak mewakili pandangan gereja maupun universitasnya. Kembali berbagai reaksi muncul. Ada yang tidak setuju, ada yang cukup puas, dan ada yang sangat tidak puas. Menurut yang terakhir, seharusnya kepada sang dosen ditanyakan apakah ia percaya bahwa Yesus adalah sang Juruselamat atau tidak. Bila tidak, maka seharusnya sang dosen dituntut untuk mengakui bahwa ia bukan lagi seorang Kristen dan oleh karena itu tidak layak mengajar di universitas teologi yang menyelenggarakan pendidikan pendeta.
Sesurut peristiwa ini kebaktian-kebaktian Minggu dan khususnya kebaktian-kebaktian Paskah di gereja-gereja di Belanda tidaklah menjadi lebih sepi dikunjungi dibandingan dengan tahun-tahun sebelumnya. Justru sebaliknya yang terjadi.
2
Menjelang Paskah tahun ini masyarakat Kristen Indonesia dikejutkan oleh sebuah tulisan di koran Kompas yang memaparkan dan menjelaskan temuan historis dari sebuah makam yang diyakini di dalamnya terdapat jasad Yesus beserta keluarganya. Bahkan dalam tulisan itu disinggung juga bahwa dalam makam tersebut terdapat jasad seorang wanita yang kemungkinan besar adalah Maria Magdalena. Kehadiran jasad itu di makam keluarga Yesus menunjuk kepada kemungkinan yang hampir pasti bahwa ia adalah istri Yesus. Temuan-temuan itu didukung oleh berbagai “bukti” yang bagaimanapun tidak mutlak dan masih dapat dibantah serta diperdebatkan.
Spekulasi semacam ini bukanlah barang baru. Namun ada beberapa persoalan di sekitar penulisannya itu. Pertama, yang menjadi masalah adalah kesimpulan yang ditarik oleh sang penulis. Berdasarkan spekulasi historis yang dibeberkannya ia menyatakan bahwa orang Kristen, yang tergolong “literalis-biblis” menurut sang penulis, tidak lagi punya dasar untuk percaya pada kebangkitan Yesus secara fisik.
Kedua, yang juga merupakan persoalan bagi banyak orang Kristen adalah diri sang penulis sendiri. Ia adalah seorang pendeta dan dosen Perjanjian Baru pada sebuah sekolah tinggi teologi yang juga merupakan lembaga pendidikan pendeta yang didukung banyak gereja.
Dan yang terakhir, ketiga, media yang dipakai sang pendeta untuk “mengabarkan” tulisannya itu adalah media masa, tepatnya koran. Bila sang pendeta dan yang adalah juga seorang dosen itu hendak melontarkan pendapat dan mengharapkan terjadi diskusi, mustinya ia menerbitkannya di sebuah jurnal teologi yang dibaca oleh sesama teolog. Kecuali, memang ia hendak begitu saja melontarkan sesuatu sekadar untuk membuat kacau.
Sejak tulisannya itu diterbitkan, ada beberapa tulisan yang merupakan reaksi ketidaksetujuan atasnya. Dan hingga saat ini belum terlalu jelas bagaimana reaksi baik dari gereja di mana sang penulis mengemban jabatan pendeta, maupun dari sekolah tinggi teologi di mana ia bekerja sebagai dosen. Yang pasti tulisannya di koran itu, khususnya kesimpulannya, adalah pendapatnya sendiri, dan sama sekali tidak mewakili pandangan baik gerejanya maupun sekolah tinggi teologi tempatnya mengajar.
Dalam kenyataannya tidak terlalu banyak orang Kristen yang membaca tulisan sang pendeta yang juga dosen itu. Sehingga sebenarnya tidak banyak orang yang berhasil diresahkannya – bila memang itu maksudnya menerbitkan tulisannya menjelang Paskah, – atau digoyahkan pilar imannya oleh tulisannya itu. Bagaimanapun, kebaktian-kebaktian Paskah tahun ini tidak menjadi sepi dikunjungi orang. Kalaupun tidak bisa dikatakan dengan pasti bahwa Paskah tahun ini lebih ramai dikunjungi anggota jemaat, setidaknya masih tetap sama ramainya dengan tahun-tahun sebelumnya. Banyak orang datang untuk dengan tulus berbakti kepada Tuhan dan mensyukuri anugerah Paskah. Paskah yang adalah kebangkitan Kristus secara fisik, entah ada, entah tidak ada bukti historisnya.
3
Awal April yang baru lalu, saya mendapatkan tugas yang maha berat. Saya harus menyampaikan kepada seorang teman yang amat dekat bak kakak saya sendiri layaknya, bahwa ia mengidap penyakit terminal yang atasnya tidak dapat dilakukan apa pun.
Dengan perasaan bergalau saya berjalan menyusuri gang-gang rumah sakit yang walau ramai dilalui orang-orang yang hendak mengunjungi sanak-saudara dan teman, terasa lengang dan dingin, menuju ke kamar di mana teman saya terbaring. Ia kelihatan begitu lemah, pucat dan tidak berdaya. Saya menjatuhkan pandang saya ke botol infus yang bergantung pada tiang penyangga di sisi ranjangnya, menyusuri selang yang menuju ke pergelangan tangan kanannya, kemudian baru saya menatap wajahnya. Matanya langsung menangkap pandang saya. Saya tidak lagi dapat mengelak.
“Selain jantungmu yang lemah, tahukah kau penyakit apa lagi yang kau derita saat ini?” tanya saya dengan setengah hati.
Teman saya memandang saya dengan mata membelalak. Kemudian pelan-pelan menggelengkan kepalanya. Saya menelan ludah beberapa kali, lalu meneguhkan hati.
“Kamu mau aku memberitahumu tentang penyakit itu…?”
Ia memandang saya dengan tidak berkedip. Kemudian pelan-pelan ia menganggukkan kepalanya.
“Kamu betul mau…?”
Masih tanpa berkedip menatap mata saya, ia kembali menganggukkan kepala. Maka dengan suara parau karena emosi, saya menjelaskan secara sistematis kepadanya bahwa ia mengidap tumor di otaknya. Bila tumor itu tidak diambil melalui operasi maka ia akan tumbuh terus dan membahayakan jiwanya. Namun bila operasi dilaksanakan maka risiko keberhasilannya amat kecil karena keadaan jantungnya yang lemah.
Selama saya menguraikan keadaannya, teman saya terus menatap saya tanpa berkedip, sehingga kerap membuat saya tidak tahan menatapnya. Setelah saya selesai, kami semua yang berada di sekitar pembaringannya terdiam. Istri dan anak-anaknya terisak-isak, dan mata saya mulai berkaca-kaca. Tetapi saya menekadkan diri untuk bertahan.
“Apakah keteranganku jelas…?”
Teman saya mengangguk, kemudian memejamkan matanya. Beberapa menit berlalu kami semua diam, kecuali sesekali terdengar lirih isak istrinya. Saya menyentuh tangannya dan kemudian memegangnya. Ia membuka matanya, menyapukan pandangnya ke istri, anak-anak dan menantu-menantunya. Lalu ia menangkap pandang saya.
“Aku berserah kepada Tuhan Yesus, yang empunya hidup. Apa pun yang dikehendaki-Nya aku ikut…!”
Kalau yang mengucapkan kata-kata ini adalah seorang murid katekisasi, mungkin kita akan cenderung menganggapnya kata-kata hafalan. Tetapi kata-kata ini diucapkan oleh seorang tahu bahwa akhir hidupnya tidak jauh lagi. Seseorang yang benar-benar percaya dan memercayakan diri kepada Tuhan, kepada Yesus. Yesus yang hidup. Yesus yang bangkit!
Inilah realita Paskah atau kebangkitan Yesus yang sebenarnya. Di hati. Bukan dua ribu tahun yang lalu, tetapi kini. Di hati. Paskah yang seperti ini tidak perlu bukti-bukti historis atau bukti-bukti fisik untuk mengatakan apakah ia sungguh-sungguh fakta, atau apakah ia sekadar ungkapan iman yang tidak berdasar. Paskah seperti ini jauh melampaui artikulasi bahasa, bahkan logika, yang pasti juga jauh melampaui semua yang kita yakini dalam hidup sesehari maupun dalam hidup beriman. Paskah di hati…!
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.