Aku terhenyak. Selama setahun itu Papa sudah empat kali bolak-balik masuk rumah sakit karena demam tinggi pneumonia dan penyakit parkinson yang sudah beberapa tahun dideritanya. Segera kami menuju ke rumahnya. Di sana, ambulans sudah siap untuk membawa Papa ke UGD. Papa tampak rapuh sekali. Nafasnya tersengal-sengal dan matanya terpejam. Kami mengelilingi tempat tidurnya dan berdoa bersama-sama sebelum berangkat ke rumah sakit. Aku ingat, ketika itu adikku membisikkan kata-kata menenangkan kepada Papa: “Pa, ke rumah sakit lagi ya, biar sembuh dan bisa cepat pulang lagi.” Adikku memang sangat telaten merawat Papa selama ini, karena itu Papa sangat percaya pada keputusannya.
Setelah pemeriksaan di UGD, Papa kemudian dibawa ke kamar. Beberapa dokter datang untuk memeriksanya sekali lagi, tetapi karena keadaan Papa memburuk, mereka menyarankan agar Papa dirawat di ICU, supaya dapat dipantau terus-menerus oleh perawat dan dokter. Cepat-cepat kami menghubungi salah satu adik kami yang menjadi dokter di kota lain, untuk meminta pendapatnya. Ia sedang berkemas untuk berangkat ke Jakarta, tetapi menyetujui usul itu, sehingga kami segera mengurus semua persyaratan untuk perawatan Papa di ICU. Berat hati kami meninggalkan Papa di sana, karena kami tidak bisa terus-menerus bergantian berada di sisinya. Selama ini Papa selalu merasa tenang kalau ditemani oleh anak-anaknya, tetapi sekarang kami hanya dapat memantau kesehatannya dari luar. Anak dan menantu Papa dari luar kota mulai datang sore itu, seperti yang selalu terjadi kalau Papa sakit keras. Kehadiran mereka membuat beban itu jauh lebih ringan rasanya, karena dipikul bersama.
Pada hari Minggu pagi, perawat ICU memberitahukan bahwa Papa mengalami gagal nafas, sehingga memerlukan tindakan cepat untuk memasang alat bantu pernafasan. Harapan hidup Papa tampak begitu tipis, sehingga kami meminta Pdt. Rudianto untuk datang dan mendoakan Papa. Dengan bergantian satu per satu kami masuk ke ruang ICU untuk melihatnya, air mata tak tertahan melihat Papa begitu tak berdaya dan pucat, sementara monitor pencatat gerak paru-paru menunjukkan angka lemah yang tidak stabil. Dokter penanggung jawab ICU memanggil kami dan menjelaskan bahwa pemakaian alat bantu pernafasan itu akan memerlukan waktu lama, karena menurut pengalamannya selama 15 tahun di ICU, seseorang yang telah lanjut usia seperti Papa (85 tahun) sulit lepas kembali dari alat tersebut sehingga memerlukan biaya yang besar. Ia memberikan pilihan kepada kami, apakah akan terus memakai alat itu dengan konsekuensi biaya yang sangat tinggi atau mencabut alat itu karena diperkirakan bahwa Papa tidak mempunyai banyak harapan untuk hidup. Jika kami setuju agar alat itu dilepas, kami harus menandatangani surat yang disodorkannya.
Kami sungguh bingung mendengar kata-kata dokter itu. Bagaimana kami dapat tega menandatangani surat pernyataan persetujuan untuk mencabut alat itu? Bukankah hal itu seakan-akan mencabut nyawa Papa kami dan mendahului Yang Maha Kuasa? Dalam keputusasaan, kami semua berkumpul mengadakan rapat keluarga, berdoa dan minta hikmat Tuhan. Kemudian ternyata bahwa tak seorang pun dari kami yang mau menandatangani surat pernyataan itu! Kami sepakat untuk menyampaikan kepada dokter ICU bahwa kami mau melihat perkembangan Papa dulu selama beberapa hari, dan tidak gegabah menandatangani sesuatu. Setelah mengambil keputusan itu, hati kami mulai tenang karena sudah menyerahkan Papa sepenuhnya dalam pimpinan dan kuasa Tuhan.
Keadaan Papa menunjukkan perbaikan keesokan harinya, dan bahkan alat bantu pernafasan itu mulai sedikit-sedikit dimatikan untuk melihat apakah paru-paru Papa dapat mengembang-kempis sendiri. Ternyata bisa! Tiga hari kemudian, alat itu dicabut karena paru-paru Papa bekerja normal, demamnya sudah turun, dan bahkan ia mulai mengenali kami. Sungguh luar biasa! Mulut Papa bahkan dapat mengatakan “ya” dengan lemah ketika salah seorang dari kami menanyakan apakah ia mau berjuang untuk hidup. Dan ia sungguh-sungguh berusaha untuk pulih. Dua hari kemudian, Papa dikembalikan ke kamar biasa di rumah sakit, dan tak lama kemudian boleh pulang ke rumah.
Sekarang, setahun sudah berlalu sejak kejadian tersebut. Selama kurun waktu itu, kondisi Papa relatif stabil daripada sebelumnya. Kami merasa sungguh lega dan bersyukur karena Tuhan Yesus secara ajaib menolong kami mengambil keputusan yang tepat.
Ida B.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.