Paradigma Teologia Kristen Terhadap Pluralisme Agama

Paradigma Teologia Kristen Terhadap Pluralisme Agama

1 Komentar 6599 Views

Dalam menghadapi tantangan pluralisme agama, gereja tidak berdiam diri. Gereja berusaha menggali kekayaan tradisi, doktrin dan bahkan mengambil inspirasi dari kekayaan tradisi agama lain serta dari persoalan sosial yang muncul di tengah masyarakat. Sikap reflektif gereja telah memberikan kekayaan berteologi yang bisa kita pelajari bersama-sama. Ada beberapa paradigma pandangan Kristen terhadap agama lain. Yang paling dikenal adalah paradigma yang dikembangkan Alan Race. Ia menggunakan kategori eksklusif, inklusif dan pluralis. Saya akan membahas secara singkat satu per satu.

A. Eksklusifisme

Dengarlah pengakuan seorang eksklusif; agama lain adalah kegelapan. Umat agama lain harus bertobat. Bila tidak, mereka harus diperkecil atau dimusnahkan. Saya enggan berdialog dengan mereka. Saya harus berbicara untuk menobatkan mereka.

Sikap eksklusif dianut terutama oleh Karl Barth. Dalam pikiran Barth, semua agama, termasuk Kekristenan, adalah upaya sia-sia manusia untuk mencapai keselamatan. Namun, agama Kristen memiliki sedikit kelebihan karena ada Kristus. Mamang, pendekatan Barth bersifat kristosentrik yang eksklusif. Kelebihan sikap ini adalah kesetiaan, bahkan militansi terhadap agamanya. Kekurangannya? Ia menciptakan konflik antar umat beragama. Ia menciptakan sikap dikotomi: kami vs mereka, terang vs gelap, baik vs jahat. Pokoknya di luar Kristus (juga Kristen) sesat, pengikut setan, dan masuk neraka. Sikap ini mendorong Marcopolo melaksanakan ‘misi suci’ membantai puluhan ribu Indian yang menolak Injil Kristus.

B. Inklusifisme

Sikap ini dianut oleh gereja Katolik. Konsili Vatikan II merupakan lompatan besar dalam teologi agama-agama gereja Katolik. Sebelumnya, gereja Katolik bersikap ekklesiosentrik yang berpendapat “tidak ada keselamatan di luar gereja.” Dalam perkembangannya ekklesiosentrik bergeser pada kristosentrik yang menempatkan Kristus sebagai ukuran satu-satunya dalam keselamatan. Tetapi kristo-sentrik di sini tidak seperti kristosentrik model Barth. Di sini kristosentrik lebih inklusif. Dalam Konsili Vatikan II, gereja Katolik bersikap lebih positif tentang kebenaran dan nilai-nilai agama lain. Karl Rahner yang meletakkan dasar positif gereja Katolik terhadap agama-agama lain. Rahner berpendapat bahwa orang Kristen bukan hanya bisa tetapi bahkan harus menganggap agama-agama lain sebagai “sah” dan juga merupakan “jalan keselamatan.” Rahner melihat betapa banyaknya umat beragama lain yang baik hati dan penuh kasih.

Menurut Rahner, mereka ini adalah “Kristen anonim.” Meski mereka Hindu, Buddha atau Islam tetapi sebenarnya mereka adalah orang “Kristen.” Bagi Rahner, mereka yang bukan Kristen diselamatkan oleh kehadiran Kristus yang bekerja secara terselubung dalam agama-agama mereka. Jadi, pekerjaan Kristus, menurut Rahner, tidak bisa dibatasi oleh Kekristenan. Kristus juga bekerja dalam agama-agama lain meski secara terselubung. Kristus inilah yang membuat umat lain pun bisa memperolehkeselamatan.

Kelebihan sikap inklusif adalah sikapnya yang positif terhadap agama-agama lain. Kekurangannya adalah anggapan bahwa keselamatan umat lain bukan berasal dari agamanya sendiri tetapi dari Kristus yang bekerja dalam agama-agama tersebut. Dengan demikian, sikap positif Rahner terhadap agama lain muncul karena hakekat dan eksistensi agama lain itu telah ia ganti dengan isi yang baru, yaitu Kristus. Eksistensi agama lain didegradasi, diturunkan posisinya di bawah kekristenan.

C. Pluralis

Kaum pluralis dalam taksonomi Rice lebih cenderung menggunakan pendekatan theosentris. Asumsinya semua agama hasil dari Allah yang satu. Tetapi sebenarnya kaum pluralis tidak satu. Dalam arti ada juga yang melihat persoalan bersama umat manusia atau kemanusiaan itu sendiri sebagai dasar utama dalam kerjasama antar umat beragama. Sesuai dengan namanya kelompok pluralis ini bersifat plural. Anselm Min menyebutkan bahwa paling sedikit ada enam paradigma yang dianut kaum pluralis. Pendekatan-pendekatan itu saya uraikan di bawah ini.

Pertama, the phenomenalist pluralism (John Hick dan Paul Knitter). Dalam pendekatan ini agama hanya dilihat sebagai fenomena respon yang berbeda terhadap realitas transenden yang satu (baca: Allah). Pendekatan ini lebih theosentris. Mereka percaya bahwa Allah yang esa itu tidak bisa dipenjara oleh satu agama atau doktrin agama mana pun. Keanekaragaman agama bukan dilihat sebagai keanekaragaman Allah tetapi keanekaragaman interpretasi tentang Allah yang bekerja dan dipahami di dalam konteks historis dan budaya masyarakat di mana Allah menyatakan diri. Oleh karena itu mereka mengakui adanya kebenaran pada agama-agama lain. Semua agama dianggap menyembah Allah yang menyatakan diri dan dipahami dalam berbagai interpretasi. Kelemahan utama yang tidak diperhitungkan adalah bahwa tidak semua agama menyembah Allah. Misalnya agama Buddha.

Kedua, the universalist pluralism (Leonard Swidler, Wilffred Cantwell Smith, Ninian Smart, dsb). Pendekatan ini menekankan kemungkinan dan bahkan keperluan dibuatnya satu teologi yang universal berdasarkan pengalaman sejarah agama-agama. Kelemahannya adalah pendekatan ini terlalu menekankan universalitas yang bisa mengorbankan partikularis atau kekhasan setiap agama. Pendekatan ini bisa terlalu menekankan persamaan sehingga mengabaikan adanya perbedaan.

Ketiga, soteriosentrik pluralism (Rosemary Ruether, Suchocki, Tom Driver dan juga Knitter) menegaskan perlu keadilan sebagai ukuran dan praxis bersama umat berbagai agama. Dalam pendekatan ini umat beragama didorong untuk bekerja-sama secara fungsional dalam menangani persoalan sosial dan politik demi kemaslahatan bersama. Tetapi, kelemahan pendekatan ini ialah bahwa ia menghindari umat untuk berbicara dan saling berdiskusi tentang persoalan dogma dan doktrin agama.

Keempat, pluralisme ontologis dengan tokohnya Panikkar yang menegaskan bahwa pluralisme bukanlah sekedar suatu pengetahuan tetapi bahkan eksistensi dan hakikat hidup manusia. Pendekatan lebih bersifat kristosentris. Dalam pendekatan ini, Kristus mewujudkan diri dalam berbagai agama lain sebagai pribadi yang berbeda. Kristus dalam agama Kristen menampilkan diri dalam diri Yesus. Kristus dalam agama Hindu menampilkan diri dalam diri dewa Wisnu atau Dewi Sri. Kristus bisa pula menampilkan diri sebagai Tao atau bahkan sebagai Muhammad. Pendekatan ini cukup dipengaruhi pemikiran Hindu yang memiliki ribuan dewa/dewi.

Kelima, Kristosentris pluralis tokohnya adalah Hans Kung, John Cobb, Jurgen Moltmann, Kenneth Surin, dsb. Pendekatan ini menegaskan bahwa meskipun kita harus menghargai agama-agama lain, orang Kristen harus tetap mengakui identitas dan finalitas Yesus Kristus sebagai juruselamat dunia. Tanpa pengakuan ini, orang Kristen kehilangan identitas Kristennya. Sebaliknya, tanpa sikap positif terhadap agama lain, orang Kristen terjebak dalam kepongahan rohaninya. Kelemahan pendekatan ini justru sebaliknya dari pendekatan ketiga. Pendekatan ini lebih bersikap deduktif dan bisa terjebak pada abstraksi teologis yang tidak relevan bagi kehidupan kita kini.

Keenam, Kristologi yang Soteriosentris. Eka Darmaputera salah satu tokohnya. Posisi ini sangat menekankan Kristosentris, tetapi Yesus Kristus yang ditekankan di sini bukanlah Yesus yang kita kenal melalui doktrin dan dogma. Paradigma ini menekankan Yesus sebagai Anak Allah yang ‘care’ pada manusia dan dunia serta rela berinkarnasi untuk masuk, hidup dan berjuang untuk menciptakan keadilan dan perdamaian di dalam dunia di tengah umat manusia. Bagi pendekatan ini, seorang Kristen belum sungguh-sungguh ‘Kristen’ bila belum meneladani sikap hidup Kristus.

Telah diuraikan tiga pendekatan: eksklusif, inklusif dan pluralis. Pemaparan yang saya sampaikan di atas bukan dimaksudkan agar kita mengcopy mentah-mentah apa yang dihasilkan teolog-teolog tersebut. Kita sendiri harus berupaya untuk mencari dan menggali sikap teologis kita yang relevan dengan konteks kita di Indonesia. Tetapi paling tidak kita bisa belajar melalui ketiga pendekatan di atas. Dari kaum eksklusif kita belajar bahwa iman itu harus ‘eksklusif’ yaitu iman yang mempertahankan dan menjaga keunikan kita. Dari kaum inklusif kita belajar bahwa kita harus memiliki kebanggaan terhadap apa yang kita yakini. Tetapi dari kaum pluralis kita belajar bahwa kita harus memiliki kerendahan hati, keterbukaan dan kemampuan untuk berelasi dan bekerjasama. Rasanya, hal-hal positif dari ketiga pendekatan dapat kita pegang, sedangkan yang negatif kita buang jauh-jauh.

Pluralisme Sebagai Realitas

Pluralisme adalah fakta. Ada pluralisme baik dalam kultur, ideologi, etnik dan terutama agama. Tidak semua orang di dunia ini beragama Kristen dan tidak semua orang bernaung di bawah ‘payung kudus’ Kristen. Bahkan secara internal kekristenan sendiri tidak satu. Ada pluralisme di dalamnya. Fakta pluralisme ini menempatkan umat beragama dalam dua pilihan: kerjasama atau konfrontasi? Kesadaran terhadap pluralisme keagamaan menciptakan ruang untuk bekerjasama bila semua umat beragama berusaha memahami secara jujur dan terbuka penyebab konfrontasi di antara mereka. Pluralisme agama juga memberi kesempatan kepada kita untuk berubah, yaitu, mempertanyakan kembali sikap-sikap religius kita yang cenderung melihat umat lain dalam dikotomi we vs they, terang vs gelap.

Kenyataan membuktikan bahwa penyebab konfrontasi antar umat bukan terletak pada realitas pluralitas itu sendiri. Penyebab konflik antar umat paling sedikit ada tiga hal:

  1. Absolutisme keagamaan dalam sikap konfrontatif terutama ketika menyampaikan klaim-klaim kebenaran eksklusif. Sikap ini bisa mengarah pada idolatry, pengilahian terhadap keyakinan seseorang atau sekelompok.
  2. Absolutisme kekuasaan yang digunakan untuk memupuk kekuasaan sambil melakukan politik diskriminasi dan adu domba di antara rakyat, dan
  3. Kemiskinan absolut yang menciptakan perasaan nihilisme, tidak berharga dalam diri sebagian besar anak bangsa ini.

Sebagai penutup, saya ingin mengusulkan lima hal untuk menghadapi situasi ini, yaitu, kita harus:

1). Memiliki sensitifitas untuk hidup dalam masyarakat plural;

2). Mengembangkan dialog di segala lapisan;

3). Komitmen untuk membangun keadilan berdasarkan rasa hormat dan cinta kasih pada sesama;

4). Mengembangkan solidaritas sosial lintas suku bangsa, agama dan status sosial; dan

5). Kemampuan untuk rendah hati dan mengkritisi diri.

Kita harus bisa memulainya. Dan untuk itu kita bisa belajar dari Yesus Kristus yang rela melakukan inkarnasi, ‘terjun langsung’ ke tengah umat manusia dan dunia untuk mernjadi saudara, untuk menjadi sesama dan untuk berbagi hidup di tengah manusia dalam kekhawatiran, kemiskinan dan keputusasaan mereka.

Bagaimana Dengan Islam?

Dalam konteks hubungan dengan Islam, saya ingin membagi beberapa pesan penting yang dihasilkan dalam pertemuan lintas agama Kristen-Islam di Broumana dan Tripoli. Pertemuan itu sendiri mengusulkan untuk memperhitungkan dialog yang tulus dan terbuka sebagai sarana membangun persaudaraan Kristen-Islam. Untuk mencapai itu ada beberapa hal yang direkomendasikan.

  • Keduanya harus bersedia saling memahami aneka perbedaan yang terdapat dalam hal iman, sejarah dan peradaban.
  • Keduanya harus membangun penghormatan pada umat lain dan menghargai integritas kulturalnya.
  • Keduanya harus memiliki komitmen yang sama untuk berjuang menghadirkan keadilan sosial dan bertanggung jawab pada keutuhan bumi ini.
  • Keduanya harus menumbuhkan relasi yang memperkaya spiritualitas sendiri dan spiritualitas saudaranya untuk menghadapi bahaya sekularisme.

Beberapa hal negatif yang harus dihindari:

  1. Secara tidak adil membanding-bandingkan kebagusan dan kebaikannya dengan kejelekan umat atau agama lain.
  2. Relasi yang diciptakan jangan sampai terjebak pada sinkritisme.
  3. Jangan keasyikan dengan diri sendiri dan mengembangkan sikap peduli terhadap sesamanya (a static coexistence).
  4. Jangan mengembangkan sikap kebencian pada umat lain yang berbeda dari keduanya.

Beberapa hal penting yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama dan oleh karena itu harus dibicarakan secara terbuka dan jujur di antara penganut Kristen-Islam adalah soal: Allah: Tauhid dan Trinitas, Misi dan dakwah, sikap politik: penerapan Syariat Islam dan Demokrasi.

Pdt. Dr. Albertus Patty

1 Comment

  1. sondang s

    Agaknya pak ALbert lebih memilih pluralisme yg mempertahankan Kristologi, cenderung ke Eka Dharmaputra (tdk disebut kelemahan Pdt Eka.. Mungkin saya juga memilih itu. Tapi, tolong saya dibantu mengerti, bagaimana menjelaskan kpd agama lain , bahwa Kristus menyapa saya disini dan kini, dan apakah dia tidak menyapa umat agama lain. Apakah Kristen tdk menjadi lebih unggul dan sombong karenanya.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...