Setiap kita merayakan hari ulang tahun kota Jakarta, yang tidak pernah ketinggalan adalah boneka Ondel-ondel di mana-mana. Ondel-ondel sudah sangat melekat dengan kota Jakarta atau budaya Betawi. Menurut Wikipedia, Ondel-ondel adalah bentuk pertunjukan rakyat Betawi yang sering ditampilkan dalam pesta-pesta rakyat. Tampaknya ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa.
Ondel-ondel yang berupa boneka besar itu tingginya sekitar 2,5 meter dengan garis tengah ±80 cm, dan dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalamnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki biasanya dicat dengan warna merah, sedangkan yang perempuan berwarna putih. Bentuk pertunjukan ini banyak persamaannya dengan yang ada di beberapa daerah lain.
Terdapat beberapa versi mengenai asal-usul ondel-ondel. Semula ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta-pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat, misalnya pada peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Betapa pun derasnya arus modernisasi, ondel-ondel masih bertahan dan menjadi penghias wajah kota metropolitan Jakarta.
Ondel-ondel yang semula merupakan sebuah pertunjukan, belakangan ini telah berubah menjadi alat untuk mencari uang dengan cara seperti pengamen. Rombongan ondel-ondel pengamen ini terdiri atas satu boneka ondel-ondel, sebuah gerobak dorong yang mengangkut speaker yang terus menerus memutar lagu ondel-ondel dengan volume suara yang tinggi dan lagunya juga sering kali sudah tidak utuh lagi, baik nada maupun suaranya. Kemudian ada beberapa remaja yang membawa lidi yang dililit dengan kertas warna-warni serta kaleng untuk tempat uang.
Rombongan ondel-ondel ini sering membuat lalu lintas tersendat, karena tidak jarang berjalan dengan melawan arus dan para remaja itu ke sana kemari meminta uang, baik kepada pengendara mobil atau motor, maupun ke warung-warung atau tempat makan lainnya. Rombongan ini bukan hanya satu, karena dalam perjalanan kita sering menemui dua atau tiga rombongan ondel-ondel seperti ini.
Tidak saja ondel-ondel yang diubah dari sebuah pertunjukan dan dimanfaatkan menjadi pengamen. Ada pertunjukan seni tari yang diubah dan dimanfaatkan untuk mengamen. Kita sering menemui satu atau dua orang yang tidak saja memakai kostum penari Jawa, tetapi juga merias diri bak penari, sembari membawa perangkat audio portabel yang bisa dipakai berkaraoke, menyanyikan lagu-lagu tari Jawa sambil memperagakan gerakan menari. Ada juga yang membawa anak remaja yang dirias bagai penari untuk sebuah pertunjukan, menari diiringi lagu-lagu Jawa yang dinyanyikan melalui perangkat karaoke tadi. Biasanya mereka mengamen dari warung ke warung atau dari toko ke toko yang mereka lewati.
Ada lagi sebuah grup 4–5 orang, yang membawa seperangkat alat musik, ada angklung, ada drum sederhana dan seadanya, ada alat perkusi yang terbuat dari drum dan ban bekas. Mereka menyajikan lagu-lagu dengan irama yang semangat, para pemainnya memakai seragam dan biasanya mereka main di sekitar lampu lalu lintas. Awalnya mereka memainkan musik seolah-olah menghibur para pengendara yang berhenti di lampu merah, tidak ada yang secara aktif meminta uang, tetapi tidak menolak kalau ada yang memberi. Mereka bermain dengan kompak dan lagu-lagunya cukup enak didengar, walaupun iramanya itu-itu saja, yang kalau kita dengar lama kelamaan akan bosan juga.
Sekarang grup ini bukan hanya pasif bermain di lampu lalu lintas, melainkan juga mulai bermain sambil berkeliling dan ada yang bertugas untuk meminta uang dengan membawa kaleng atau ember kecil. Terjadi perubahan dari nuansa pertunjukan menjadi pengamen. Kegiatan mengamen bertumbuh dengan bermacam-macam cara, tidak lagi mengandalkan sebuah gitar atau tepuk-tepuk tangan saja. Sekarang ada seorang ibu atau bapak yang menarik gerobak yang kelihatannya cukup berat, berisi perangkat audio dan speaker ukuran besar, mengiringi si penarik gerobak yang menyanyikan lagu-lagu dangdut dengan volume yang cukup keras. Biasanya disertai dengan seorang asisten yang bertugas mengedarkan kaleng tempat uang ke orang-orang di sekitarnya. Ada juga pemain biola yang mengamen dengan mengambil tempat dekat terowongan/underpass, sehingga suara biolanya menggema seperti dalam sebuah konser. Dia hanya membuka wadah biolanya dan yang akan memberi uang dipersilakan melemparkannya ke wadah biola tadi. Dia mengamen pada jam-jam lalu lintas padat.
Ada juga pengamen yang mengecat tubuhnya dengan warna perak atau emas, berdiri mematung sambil memegang kardus untuk tempat uang, biasanya ada di sekitar lampu lalu lintas. Membayangkan berdiri di tengah terik matahari tanpa memakai baju dengan tubuh dicat, betapa panas dan berisiko terkena dehidrasi. Yang agak lucu adalah pengamen yang memakai kepala boneka yang besar, sehingga terkesan sebagai anak kecil dengan kepala yang besar, joget-joget di tengah keramaian lalu lintas. Memakai kostum seperti ini juga harus kuat menahan diri terhadap panas.
Mengamen juga memerlukan modal. Ada biaya sewa untuk boneka ondel-ondel dan perlengkapannya, untuk menyewa atau membuat alat musik atau untuk menyewa karaoke portabel atau membeli cat untuk mengecat tubuhnya.
Selain modal, pengamen juga harus memiliki ketrampilan (bernyanyi, bermusik, menari), memiliki kesiapan untuk menerima penolakan, tidak mudah menyerah dan mau menderita. Dengan modal keterampilan dan sikap mental seperti ini, seharusnya mereka bisa disalurkan ke pekerjaan atau kegiatan yang lebih baik dan lebih produktif. Ada yang berminat? Salam damai.
>> Sindhu Sumargo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.