Narkoba Membuat Hidupku Terpuruk

Narkoba Membuat Hidupku Terpuruk

Belum ada komentar 165 Views

Sebut saja namaku Arie. Aku sangat berharap cerita ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian, karena narkoba merupakan awal suatu petaka besar yang akan kita terima di kemudian hari. Jadi jangan pernah mencoba-coba narkoba…

Aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Keluargaku merupakan keluarga yang taat beragama. Sejak kecil aku mengikuti kegiatan di Sekolah Minggu. Saat tumbuh remaja aku masih tetap taat beribadah setiap Minggu di gereja. Papa, orang yang cukup sukses sebagai pegawai di salah satu BUMN Jakarta yang bergerak di bidang kontraktor, sedangkan Mama sangat baik bagi anak-anaknya. Ia amat menyayangiku dan kedua saudaraku serta memerhatikan semua kebutuhan kami, dari pendidikan sampai kesenangan kami masing-masing. Jadi bisa dikatakan, kami adalah keluarga yang sempurna.

Perubahan mulai terjadi dalam kehidupanku ketika aku memasuki kelas 5 SD di Makassar. Saat itu ayahku diangkat menjadi Kepala Cabang untuk 3 propinsi: Ambon, Kendari dan Makassar. Waktu untuk bertemu dengan kedua orang tuaku menjadi sangat kurang. Mereka sibuk dengan pekerjaan, sehingga aku amat kehilangan perhatian mereka walaupun semua kebutuhan materi kuperoleh. Lalu aku mulai salah jalan dengan menggunakan minuman keras dan belajar merokok dengan teman-temanku.

Kelas 1 SMP, kami sekeluarga kembali ke Jakarta karena ayahku dicalonkan sebagai salah satu direktur di perusahaan tempatnya bekerja. Aku disekolahkan di SMP ternama di daerah Jakarta Pusat. Ternyata sekolah yang ternama itu tidak menjadikanku lebih baik daripada sebelumnya. Kenakalanku menjadi-jadi, dan aku mulai mencoba narkoba jenis ganja. Prestasiku di sekolah tidak menurun, sehingga kedua orang tuaku tidak mengetahui semua perbuatan yang kulakukan di belakang mereka. Ketika naik ke kelas 3 SMP, aku mendapat hadiah mobil dari orang tuaku yang dapat kukemudikan sendiri. Hadiah ini menjadi salah satu alat bagiku untuk memermudah akses mendapat narkoba. Dengan alasan belajar bersama dan les, aku membohongi kedua orang tuaku demi mendapat izin untuk keluar rumah. Kegiatan yang kulakukan bukan belajar bersama teman, tapi malah mabuk-mabukan dan mengikuti balapan liar di jalan Sudirman, Menteng dan lain-lain, yang saat itu menjadi tempat gaulnya anak muda.

Seminggu menjelang EBTANAS, aku diskors karena terlibat tawuran antar sekolah dan tertangkap polisi, tapi karena faktor usia yang masih muda, aku dikembalikan ke sekolah. Saat selesai berurusan dengan polisi dan sudah akan pulang, aku bersama teman-teman nongkrong sambil minum-minum di warung dekat sekolah kami. Pada saat itu wali kelasku lewat dan aku bersama teman-teman mendapat “undangan merah” (Panggilan Untuk Orang tua) dan diskors dari sekolah. Ketika itulah orang tuaku baru mengetahui bahwa aku sudah mengonsumsi minuman berakohol dan merokok. Akhirnya dengan berbagai cara aku meminta maaf kepada mereka dan berjanji tidak akan mengulangi lagi semua kelakuanku yang buruk itu.

Untuk menutupi kelakuan yang sebenarnya masih kuperbuat, aku menunjukkan nilai yang baik saat aku lulus SMP. Dengan NEM yang tinggi aku membuat kedua orang tuaku senang. Mereka mendaftarkanku ke salah satu SMA ternama di sekitar Duren Tiga, Jakarta Selatan. Memasuki SMA aku semakin menjadi-jadi. Semua kepercayaan dan fasilitas materi yang diberikan orang tuaku kusalahgunakan. Aku makin malas masuk sekolah dan malas ke gereja. Rasanya setiap waktu yang ada ingin kugunakan untuk berkumpul dengan teman-teman sesama pemakai narkoba. Malah aku sempat menjabat sebagai bandar ganja yang cukup dikenal di daerahku. Aku harus selalu siap saat ‘pasien-pasienku’ memerlukanku. Setiap malam Minggu aku bersama teman-teman mengadakan pesta narkoba sebelum turun ke jalan untuk mengikuti balapan liar. Kami mengonsumsi “3 Dimensi” (Megadon, ganja, minuman berakohol) secara bersamaan sebelum memulai malam Minggu kami.

Perilakuku ini membuat pihak sekolah memecatku dari sekolah dan untuk mencegah agar orang tuaku tidak mengetahuinya, dengan uang saku yang diberikan aku mendaftar di sekolah lain di kawasan kota. Tapi di sekolah baru ini aku kembali dikeluarkan dan dengan cara yang sama aku mendaftar lagi ke sekolah lain.

Saat memasuki kelas tiga SMA, bersama kedua sahabatku aku berencana untuk jalan karena saat itu temanku sedang berulang tahun. Ternyata sebelum jalan, salah satu kawanku mampir ke rumah pacarnya dan ketika kami berada di dalam mobil, aku melihat temanku mengunakan Putaw. Rasa ingin tahu yang besar menggodaku untuk mencoba Putaw pertama kali malam itu. Rasa mual, pusing, keringat dingin kurasakan setelah mengonsumsinya dan aku tertidur sampai pagi. Saat tersadar pada pagi hari, aku merasa penasaran. “Mengapa aku bisa seperti itu? Apa dosis yang kugunakan terlalu tinggi?” Aku meminta temanku untuk kembali memakaikan Putaw kepadaku (saat itu aku belum bisa menyuntik diri sendiri). Semenjak itu aku ketagihan dan beralih dari ganja dan minuman berakohol ke Putaw.

Akibat ketagihan ini aku semakin rusak. Aku mulai menjual barang-barangku untuk mendapat Putaw bahkan barang-barang di rumah yang bukan milikku kuambil dan kujual semua. Aku menjadi bandar Putaw dan keuntungan dari penjualan itu kugunakan untuk menutupi ketagihanku akan Putaw. Dengan nilai pas-pasan aku lulus SMA.

Saat memasuki bangku kuliah, ketergantungan akan Putaw semakin besar. Pada pagi hari aku malas ke kampus karena sakaw. Aku mau kuliah kalau punya stok pada malam hari yang dapat kugunakan sebelum kuliah. Kembali dengan susah payah aku berusaha untuk menyelesaikan kuliahku tapi ternyata sangat sulit. Akhirnya tanpa sepengetahuan orang tua, aku mengambil cuti dari kampus. Saat cuti, aku bingung untuk mendapat uang guna membeli Putaw. Dengan diam-diam aku mengambil BPKB mobil dan menjualnya, selanjutnya aku kabur dari rumah dan kos di kawasan Kebon Jeruk, Kota. Di sana aku kembali menjadi bandar, tapi karena biaya hidup yang tinggi, uang penjualan mobil dan hasil dagang Putaw habis tanpa bekas dan akhirnya aku kembali ke rumah. Dengan tangan terbuka keluargaku menerimaku kembali.

Setelah pulang, aku menjalani detoksofikasi di RSKO dan berobat jalan yang diawasi keluargaku, tapi lagi-lagi aku mengunakan Putaw dan mereka tidak mengetahuinya. Aku kembali mendapat kepercayaan dari orang tuaku dan dibelikan mobil. Bahkan karena alasan jalanan macet, aku meminta dibelikan motor dan mereka mengabulkannya. Saat itu aku mencoba bertahan utuk menutupi ketergantungan akan Putaw. Malahan jika ada pendeta atau orang menasihati, aku selalu membantah dengan mengatakan bahwa aku sudah tidak memakai narkoba lagi.

Ketergantunganku pada Putaw membuatku lagi-lagi mengambil keputusan bodoh untuk menjual mobil dan motor demi modal untuk menjadi bandar. Aku kabur dari rumah. Kejadian seperti ini berulang berkali-kali, bahkan aku sempat mengalami over dosis sebanyak 2 kali.

Akhirnya pada tahun 2002 aku ditemukan di tempat tongkronganku oleh sebuah LSM di kawasan Jakarta Barat. Di LSM ini aku diberi informasi bahwa aku sangat berisiko terkena HIV. Mereka menawarkan untuk melakukan tes gratis bahkan memberi penggantian transpor untuk melakukan tes. Tanpa pikir panjang aku menjalankan semua prosedur tes, juga penilaian risiko dan konseling. Tidak berapa lama hasil tesku keluar dan ternyata aku positif menderita HIV! Aku terkejut. Dalam keadaan bingung dan sedih aku kembali memakai Putaw karena aku ingin mencari kematian. Bahkan aku kembali ugal-ugalan di jalan. Sampai akhirnya suatu saat, aku mengambil keputusan untuk memberitahu kakakku perempuan dan dengan bijak ia berkata: “Pulang, kita bicarakan di rumah.” Aku menurut dan pulang ke rumah. Esoknya aku menjalani tes ulang di RS Dharmais dan hasilnya sama. Aku positif mengidap HIV.

Sejak perubahan itu terjadi dalam diriku, aku mulai giat di LSM tersebut sampai akhirnya diangkat menduduki menjadi Case Manager. Sayang sekali, aku kembali ketagihan Putaw sehingga dikeluarkan dari LSM itu. Semua dampak tersebut tak dapat menghilangkan ketergantungan dan keinginanku akan Putaw.

Pada tahun 2004 aku tertangkap polisi di kawasan Tanah Abang saat ingin membeli Insulin. Saat itu aku memegang barang sebanyak 2,5 gram dan 15 plastik paket serta 4 Insulin. Setelah melewati proses pemeriksaan kepolisian yang panjang, akhirnya aku dikirim ke Rutan Salemba. Suatu hari aku dipanggil karena Papa datang membesuk. Rasa takut, senang dan sedih berkecamuk di hatiku. Akhirnya kuputuskan untuk menemui Papa, dan yang kulihat bukan Papa yang selama ini kukenal dengan semua emosi dan otoriternya, tetapi Papa yang penuh dengan kasih sayang. Ia mengajakku berdoa dan dalam doanya ia menangis.

Setelah berdoa, dengan lembut dan berwibawa Papa berkata, “Arie, kamu anak Papa yang sudah tumbuh dewasa. Papa ngga bisa selamanya mengcover kamu seperti anak kecil lagi. Karena itu sekarang jadilah seorang laki-laki dewasa yang mampu bertanggung jawab atas semua yang kaulakukan.” Hancur hatiku ketika melihat Papa, yang selama hidupku tak pernah kulihat berurai air mata, membelai lembut kepalaku, seperti dulu dilakukannya ketika aku masih kecil. Dalam hati aku berjanji untuk tidak mengecewakan orang tuaku lagi. Saat kembali ke blok sel aku hanya bisa berdoa dan memohon maaf pada Tuhan Yesus atas semua kenakalan, perilaku yang kulakukan sehingga mengecewakan-Nya. Akhirnya namaku dipanggil untuk sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Jaksa Penuntut meminta hukuman 6 tahun untukku. Saat mendengar tuntutannya, dunia serasa hancur, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Dalam perjalanan kembali ke Rutan Salemba aku berdoa, “Tuhan, seandainya bisa, izinkan hukumanku tidak lebih dari 2,5 tahun.” Kata-kata itu terus kusebutkan setiap kali aku berdoa.

Tuhan Yesus mengabulkan doaku. Hakim memvonisku dengan hukuman 2,5 tahun dipotong masa tahanan dua bulan selama di Kepolisian. Senang hatiku mendengar putusan Hakim itu. Tapi aku kembali lupa akan doa-doaku yang terdahulu. Aku membuat ulah dengan berkelahi dengan sesama napi sehingga dimasukkan ke dalam sel isolasi. Dalam sel ini aku hanya bisa mendengar lagu-lagu Natal di malam Natal. Beberapa hari setelah aku dikembalikan ke sel awalku di Blok E, aku mendapat panggilan untuk dipindah ke LP di Cirebon. Aku kaget sekali, tetapi. mau tak mau aku harus berangkat juga dengan beberapa napi lainnya.

Sesampai di Cirebon, Tuhan menyatakan kuasa-Nya lagi padaku. Pada saat cek kesehatan dan pendataan, ternyata data-dataku tidak ada! Akhirnya saat ada kiriman napi ke Cirebon, aku dikembalikan ke Salemba. Puji Tuhan! Setelah berada selama hampir 1 bulan di Salemba aku dikirim ke LP Narkotika, Cipinang. Di sinilah aku mulai benar-benar kembali masuk gereja dan membaca Alkitab yang selama ini sudah kutinggalkan. Saat di LP Cipinang itu, aku mulai sadar bahwa kalau bukan karena Kasih-Nya kepadaku, mungkin dulu aku sudah mati karena over dosis atau ditembak polisi. Tapi ternyata ujianku belum selesai…

Pada suatu hari aku sakit dan semua kakiku luka-luka dan gatal. Penyakit ini tidak sembuh-sembuh, sehingga aku harus menjalani tes HIV. Kukatakan kepada dokter LP bahwa aku menderita HIV Positif, lalu aku disarankan untuk mengecek CD4. Beberapa hari kemudian aku mendapat hasil yang tidak kulihat, tapi kudengar dari dokter tersebut bahwa CD4-ku sangat rendah dan ia meminta untuk memberitahu keluargaku. Kembali dunia rasanya runtuh menimpaku. Ketika aku kembali ke selku di Blok C, aku hanya bisa pasrah dan berdoa, “Tuhan, kalau Engkau mau memanggilku, tolong jangan di penjara tapi nanti saja saat aku sudah bebas. Tapi kalau Kauizinkan, aku mau melayani-Mu dulu sebelum Engkau memanggilku.” Mukjizat terjadi sekitar 1 minggu kemudian. Keadaanku mulai membaik, kaki yang bengkak berangsur-angsur sembuh, diare mulai berhenti, panas badanku kembali normal dan sampai aku bebas pada tahun 2006 kesehatanku pulih…

Di penghujung tahun 2006, akhirnya aku dapat menghirup udara bebas dan kembali ke rumah. Dua bulan setelah kebebasanku, aku mulai mencari kerja. Banyak tempat yang kumasuki lamaran kerja tapi hasilnya nihil. Akhirnya kakak mengajakku membantunya mengelola kios penjualan ikan laut di Jl Sumenep, Jakarta. Sayang usaha kakakku bangkrut setelah aku bergabung selama 3 bulan. Aku merasa sebagai pembawa sial bagi usahanya. Kemudian aku teringat pada tawaran teman saat aku menjalani hukuman, agar menghubunginya jika aku mengalami kesulitan di luar penjara. Aku lupa pada nasarku sewaktu di penjara, sampai suatu hari seorang teman yang biasa mendampingi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) datang mengunjungiku karena mendengar bahwa aku sudah sekarat. Ternyata aku masih segar walau saat itu kakiku kembali luka-luka dan bengkak. Di situlah aku teringat akan janjiku pada-Nya untuk melayani teman-teman. Meskipun demikian aku masih berusaha mencari yang terbaik menurut pemikiranku sendiri dan tidak mau berserah kepada-Nya.

Menjelang Hari AIDS Sedunia (HAS) 2007, temanku kembali mengajakku membantu dalam kepanitiaan. Aku bertanya kepadanya apakah ada yang mau mendengarkan aku yang mantan pecandu dan mantan napi ini? Jawabannya sederhana tapi mengena, sehingga mengembalikan semangatku, “Rie, tak satu pun orang di dunia yang tak pernah berdosa.”

Akhirnya aku setuju membantu dalam kepanitiaan HAS 2007 yang diadakan di gereja di sekitar Gambir Jakarta. Aku kembali percaya diri dan pada bulan Januari 2008 aku aktif di sebuah lembaga yang dinamakan Komunitas Rumah “Philia,” yang melayani dan memberi informasi dari gereja ke gereja. Di lembaga ini banyak mukjizat Tuhan yang kurasakan. Pada saat pertama kali bergabung, CD4-ku dites dan hasilnya 390, namun enam bulan kemudian meningkat menjadi 442. Kenaikan CD4 ini kuperoleh tanpa menjalani terapi ART. Aku yakin bahwa inilah kasih nyata yang Tuhan berikan kepadaku, ketika aku mau kembali ke jalan-Nya dan menyerahkan hidupku dalam rencana-Nya dan bukan lagi rencanaku sendiri.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Sudut Hidup
  • Aku mencari wajah-mu, Tuhan…
    Kesaksian Dapot Parulian Pandjaitan
    Berharga di mata Tuhan (kematian) semua orang yang dikasihi-Nya (Mazmur 116:15) Oops… Kematian? Suatu kata yang sering dihindari orang...
  • Kasih-Nya Mengalir
    Namanya Helen Jayanti, biasa dipanggil Helen. Saat ini sedang menjalani Praktek Jemaat 1 di GKI Pondok Indah. Lulusan dari...
  • Jalan Pagi Lagi di Antara Jiwa-Jiwa
    perjumpaan dengan inspirasi kehidupan lain yang juga mendatangkan syukur
    Upaya Menjaga Kebugaran Sungguh tak mudah memulai kembali sebuah rutinitas, terutama yang menyangkut fisik, apalagi kalau memang pada dasarnya...
  • Jalan Pagi di Antara Jiwa-Jiwa
    Perjumpaan-perjumpaan yang menginspirasi kehidupan dan mendatangkan syukur.
    Jalan Pagi Untuk menjaga kondisi dan kesehatan jasmani di masa yang menekan ini sehingga tidak banyak aktivitas yang bisa...
  • In-Memoriam: Pdt. (Em.) Timotius Setiawan Iskandar
    Bapak bagi banyak anak yang membutuhkan kasih: yang kukenal dan kukenang
    Mencari Tempat Kos Setelah memutuskan untuk mengambil kuliah Magister Manajemen pada kelas Eksekutif (kuliah pada hari Sabtu-Minggu) di Universitas...