Merengkuh Terang

Belum ada komentar 535 Views

Allah Pencipta Terang … dan Gelap
Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang sangat penting untuk menyimbolkan siapa Sang Pencipta terang itu. Dalam masyarakat saat Alkitab dituliskan, listrik belum ditemukan. Lampu-lampu elektronik tak dikenal sama sekali, setidaknya sampai awal abad ke-19 oleh Humphry Davy. Jadi, hidup di dalam kegelapan kerap menjadi simbol dari kehidupan yang penuh dengan penderitaan. Pada situasi semacam itu, terang menjadi lambang hadirnya kehidupan, dan dengan demikian lambang kehadiran Allah sendiri.

Namun demikian, kita perlu lebih saksama memerhatikan bahwa di dalam Alkitab, terang dan gelap tidak selamanya dipertentangkan satu dengan yang lain. Allah dari terang adalah Allah dari kegelapan juga. Memang, Kejadian 1:4 menandaskan bahwa “Allah melihat bahwa terang itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap.” Kalimat ini seakan-akan menunjukkan pemihakan Allah pada terang sebagai lawan dari gelap. Namun, di ayat selanjutnya (ay. 5), ditegaskan bahwa Allah yang menamai terang itu siang adalah Allah yang juga menamai gelap itu malam. Keutuhan terang dan gelap, atau siang dan malam, membentuk sebuah hari, dengan Allah sebagai Tuhan atas hari hari hidup kita. Bahkan, di ayat 17-18 ditandaskan bahwa Allah menciptakan cakrawala untuk memisahkan terang dari gelap dan “Allah melihat bahwa semuanya itu baik.” Jadi, kita harus menghindari dualisme sempit yang selalu melihat terang itu baik dan gelap itu jahat. Bacalah tiga ayat berikut ini, yang menampilkan kegelapan sebagai lokasi keberdiaman yang Allah pilih bagi-Nya.

Awan dan kekelaman ada sekeliling Dia, keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta Nya. (Mzm. 97:2)

Firman itulah yang diucapkan TUHAN kepada seluruh jemaahmu dengan suara nyaring di gunung, dari tengah-tengah api, awan dan kegelapan, dan tidak ditambahkan-Nya apa-apa lagi. Ditulis-Nya semuanya pada dua loh batu, lalu diberikan-Nya kepadaku. (Ul. 5:22)

Pada waktu itu berkatalah Salomo: “TUHAN telah menetapkan matahari di langit, tetapi Ia memutuskan untuk diam dalam kekelaman” (1Raj. 8:12)

Menarik, bukan? Mungkin merengkuh terang dan gelap sebagai satu kesatuan dapat menjadi simbol dari kesediaan kita untuk merengkuh kelahiran dan kematian sebagai satu paket kehidupan. Yang satu diterima, yang lain tak dapat ditolak.

Memang, ada masanya orang Israel berkenalan dengan filosofi Babilonia saat mereka dibuang ke sana. Filosofi tersebut sangat dualistis, menawarkan perselisihan radikal antara Allah dan Iblis, surga dan neraka, terang dan gelap. Sejak itu, kosakata terang melawan-gelap menjadi bagian dari cara orang Israel mempercakapkan iman mereka. Gelap lantas dipahami sebagai simbolisasi dari kuasa yang melawan Allah, serta kuasa yang merenggut kehidupan manusia. Dan Allah pun lebih tegas diasosiasikan dengan terang daripada dengan gelap. Dan kita melihat cara berpikir semacam itu di dalam Perjanjian Baru pula.

Simbolisasi semacam itu sah-sah saja, asal kita tidak lantas menolak gelap sebagai kenyataan fisikal yang memang harus ada di dalam alam ini. Gelap boleh saja dipakai sebagai simbol kejahatan, dengan kesadaran di atas, yaitu bahwa sebenarnya Allah berkuasa atas terang dan gelap.

Terang dari dalam Gelap
Dalam banyak teks Alkitab lain, gelap kerap diasosiasikan dengan kematian dan dosa. Kematian sendiri sebenarnya dapat dimaknai sebagai sebuah kewajaran dari kemakhlukan semua orang. Kita adalah ciptaan yang memiliki akhir. Namun, ketika dosa memasuki kemanusiaan, kematian lantas menjadi penanda dari dosa yang memisahkan manusia dari Allah Sang Hidup. Itu sebabnya, misalnya, dalam kitab nabi Yesaya, kegelapan atau kekelaman menjadi representasi dari realitas tanpa Allah dan terang menjadi tanda rahmat Allah yang berkenan menjumpai manusia tanpa Allah itu.

Di dalam Yesaya 5:20, dikatakan, “Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat, yang mengubah kegelapan menjadi terang dan terang menjadi kegelapan, yang mengubah pahit menjadi manis, dan manis menjadi pahit.” Sangat menarik, di sini tampaknya gelap dan terang menjadi simbol dari kejahatan dan kebaikan. Namun, di dalam Yesaya 9:1, mereka yang jauh dari Allah digambarkan seperti sebuah bangsa yang berjalan di dalam “kegelapan” (hosek), yang diam di “negeri kekelaman” (salmāvet). Kata salmāvet secara harfiah berarti “bayang-bayang kematian” (bdk. Mzm. 23:4). Harus dipahami bahwa sekalipun gelap mengilustrasikan kehidupan berdosa yang memisahkan diri dari Allah, tidak berarti kegelapan berada di luar radar rahmat Allah. Sebab, Allahlah yang “menjadikan terang dan menciptakan gelap”(Yes. 45:6-7).

Rahmat Allah tersebut dilambangkan dengan terang yang merembes memasuki gelap dan memberikan pengharapan baru.

Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar. (Yes. 9:1)

Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu. (Yes. 60:1)

Pemakaian terang dan gelap di dalam kitab nabi Yesaya ini tampaknya sangat penting untuk memahami teks-teks Injil yang menampilkan Kristus sebagai Sang Terang.

Kristus Sang Terang
Injil Yohanes secara sangat eksplisit memakai Terang sebagai tanda rahmat Allah lewat kehadiran Yesus Kristus. Ia adalah Sang Anak yang berinkarnasi menjadi manusia (Yoh. 1:14). Kisah inkarnasi Kristus, yang kita rayakan melalui Natal itu, ditegaskan sejak awal injil keempat ini. Kehadiran Kristus mendatangkan kehidupan bagai terang bagi manusia, “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia” (Yoh. 1:4). Kristus Sang Terang itu memasuki kegelapan manusia yang tak mampu menguasai Sang Terang itu (Yoh. 1:5). Sama seperti kegelapan menguasai manusia secara universal, rahmat Allah dalam Terang Kristus itu diberikan kepada manusia secara universal pula, “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia” (Yoh. 1:9).

Yang menarik adalah bahwa klaim Kristus sebagai Terang bukan hanya kesaksian penulis Injil Yohanes tentang Yesus, melainkan klaim Yesus sendiri tentang diri-Nya sendiri. Di dalam Yohanes 8:12, Yesus memproklamasikan diri: “Akulah terang dunia” (bdk. 9:5).

Di dalam Injil Yohanes sangat jernih diajarkan bahwa keselamatan diterima sebagai rahmat yang disambut dengan sikap percaya (Yoh. 12.35-36, 46). Dengan menyambut Sang Terang melalui sikap percaya, seseorang menjadi “anak terang” (ay. 36) dan kegelapan tidak menguasainya lagi (ay. 35, 46). Namun, sikap percaya sebagai respons atas rahmat Terang itu harus juga diwujudkan dalam gaya hidup yang sepadan dengan terang ilahi itu. Gaya hidup tersebut harus diwujudkan ke dalam kehidupan yang terus “melakukan yang benar” (Yoh. 3:21). Bukti bahwa seseorang hidup dalam terang terwujud melalui kerelaan untuk berhenti membenci sesama dan hidup dalam cinta kasih (1Yoh. 2:9-10).

Uncreated Light
Perlu bagi kita secara sekilas memasuki sebuah percakapan yang menarik mengenai pemakaian “terang” ini dalam teologi Kristen. Di dalam tradisi Ortodoks Timur dikenal sebuah ungkapan yang menggambarkan siapa Allah melalui konsep yang disebut “Terang yang Tak Tercipta”(the Uncreated Light). Doktrin ini juga kerap disebut Phos to Thabos atau “Terang Tabor” untuk menunjuk pada peristiwa transfigurasi Yesus di atas Gunung Tabor, bersama dengan Musa dan Elia (Mat. 17:1-8; Mrk. 9:2-8; Luk. 9:28-36; bdk. 2 Ptr. 1:16-18). Bagi tradisi Ortodoks, terang tersebut tidak menunjuk pada terang alamiah yang diciptakan, melainkan pada kehadiran dan karya (energia) Allah sendiri dan karena itu tak diciptakan (uncreated).

Yang menarik, kisah transfigurasi Yesus ini ditampilkan di dalam ketiga injil pertama, tetapi tidak ditemukan di dalam Injil Yohanes. Namun, kita dapat mengatakan bahwa proklamasi mengenai kehadiran Sang Terang itu muncul di dalam Yohanes 1 dengan inti yang sama, yaitu bahwa Kristuslah Sang Firman itu. Ia bersama-sama dengan Allah dan Ia adalah Allah (1:1) dan karena itu Sang Terang bukanlah ciptaan melainkan Sang Pencipta itu sendiri.

Sekalipun gagasan ini sangat khas di dalam tradisi Ortodoks Timur, kita menemukan kemiripannya di dalam tradisi banyak gereja lain. Dalam tulisan Calvin, misalnya, kita menemukan konsep mengenai kemuliaan Allah (gloria Dei) yang juga digambarkan sebagai terang ilahi. Calvin sendiri menggambarkannya sebagai “lampu-lampu terang yang begitu banyak”(Institutio, I.5.14).

Inti dari gagasan ini adalah bahwa terang menunjuk pada Allah Mahamulia yang hadir bagi manusia dalam kegelapan dan kehadiran Nya menawarkan asa dan harapan keselamatan bagi manusia yang percaya pada-Nya.

Merengkuh Terang
Tema Majalah Kasut kita adalah “Merengkuh Terang”. Tema ini perlu kita hayati bukan sebagai sebuah tindakan manusiawi yang dapat kita pilih untuk mengejar dan memperoleh keselamatan. Kita dapat merengkuh Terang hanya karena Terang itu berinisiatif memasuki kegelapan dan merengkuh kita yang berdosa. Kita merengkuh Dia yang merengkuh kita. Kita merengkuh Dia, karena kita sudah direngkuh oleh-Nya.

Merengkuh Terang dengan demikian merupakan sebuah testimoni setiap orang Kristen yang—walaupun selalu bergumul dengan kegelapan hidup ini—dikejutkan oleh anugerah Allah di dalam Kristus yang sudi mendatangi kita di dalam kegelapan dan memungkinkan kita untuk menjalani kegelapan bersama Sang Terang itu. Selamat Natal! Selamat merengkuh Terang!

|PDT. JOAS ADIPRASETYA

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Allah yang Menghadirkan Diri
    Kehadiran sesama dalam hidup kita merupakan faktor yang sangat berharga, karena setiap orang penting bagi yang lain, baik dalam...
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...