Pada suatu kali, dalam Persekutuan Kasih Komisi Senior GKI PI—yang biasanya ramai dikunjungi para lanjut usia dan diadakan pada minggu pertama dan ketiga setiap bulan – Pdt. Purboyo menyampaikan renungan tentang “Mengikut Yesus yang Lemah Lembut” dengan sumber firman dari Matius 11:28-30. Di tengah uraiannya, Pak Pendeta mengajukan pertanyaan yang membuat para peserta ribut berkomentar satu sama lain, bahkan terkadang dengan suara keras, terutama kaum pria yang duduk di belakang. Maklumlah, pendengaran para peserta yang sudah lanjut usia ini—bahkan ada yang sudah di atas 90 tahun—rata-rata sudah jauh berkurang, sehingga mereka terbiasa berbicara agak keras (meskipun pada umumnya mereka sangat serius mendengarkan khotbah, baik di persekutuan maupun di gereja).
Beliau bertanya: “Bagaimana sebaiknya sikap kita sehari-hari sebagai orang Kristen, atau yang menyebut diri kita pengikut Kristus, apakah boleh marah-marah, mengumpat orang, dsb.? Pertanyaan itu dilatarbelakangi oleh Mat. 11:29 yang antara lain berkata: “… belajarlah pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati.” Ada yang berteriak: “Oh, ya boleh dong!” tetapi ada juga yang ragu-ragu.
Namun setelah Pak Pendeta melanjutkan uraiannya dengan berkata: “Jangan lupa bahwa Tuhan Yesus juga pernah marah-marah, dengan menjungkirbalikkan kursi dan meja para penukar uang di Bait Allah” (Mat. 21:12), barulah para peserta secara riuh berseru: “Oh ya memang boleh dong kalau perlu.”
Jadi sikap kita sebagai pengikut Kristus, walau dalam beberapa hal secara umum dilarang, juga harus bijaksana. Ingat! Di dalam 1 Korintus 10:23 dikatakan: “‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. ‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” Firman ini dapat memberi pengertian kepada kita bahwa ada hal-hal tertentu yang dapat dilakukan walau secara umum dilarang, tetapi dengan prinsip untuk memberi kondisi yang lebih baik, sesuai petunjuk firman itu. Hal ini pula yang melatarbelakangi maksud saya dalam tulisan yang lalu, bahwa kita perlu lebih mengenal Tuhan dan lebih memahami firman-Nya (harus dikaitkan dengan konteksnya). Namun selain itu, Tuhan juga mengaruniakan kita otak untuk diisi dengan berbagai pengetahuan, sehingga kita dapat lebih bijaksana bersikap dan bertindak sebagai pengikut-pengikut-Nya. Pengetahuan itu perlu diselaraskan dengan firman Tuhan, sehingga perbuatan kita tidak bertentangan dengan iman kita.
Ketika saya masih muda dan belum berkeluarga, suatu sore pada awal tahun 1966, sekitar pukul 18.00 saya hendak makan di sebuah restoran Padang di kota Pekanbaru, Propinsi Riau. Inilah pertama kali saya ditugaskan Pemerintah Pusat untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil di sana. Saat itu bulan puasa dan orang-orang sudah ramai duduk menghadapi meja makan. Bunyi piring-piring berisi berbagai masakan yang diletakkan di setiap meja yang sudah memesan makanan, terdengar berdenting di sana-sini, sebagaimana kebiasaan di restoran Minang. Saya pun sudah memesan makanan karena sudah sangat lapar. Banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan di kantor hari itu. Begitu makanan siap di meja, saya lalu cuci tangan di kobokan yang sudah tersedia, dan siap memasukkan makanan ke mulut. Namun saya dikejutkan oleh teriakan orang-orang di sekitar saya. “Eh, eh, belum, belum,” kata mereka. Saya pikir apanya yang belum, karena makanan sudah siap di meja. Ternyata beduk untuk berbuka belum berbunyi, atau azan magrib belum tiba. Aduh, saya tidak sadar bahwa saat itu bulan puasa!
Kota Pekanbaru waktu itu adalah kota yang baru. Ibu kota Propinsi Riau yang semula di Tanjung Pinang, dipindahkan ke sana (pada era Presiden Sukarno dan peristiwa politik anti Malaysia ketika itu, atau “Ganyang Malaysia”). Rumah-rumah dan jalan-jalannya masih tertata rapi dan tenaga sarjana di Pemerintah Daerah (Pemda) terbatas jumlahnya. Saya ditempatkan di mes Pemda di Kompleks Gubernur, yang hanya menyediakan sarapan pagi. Kota itu didominasi warga Melayu dan Minang yang beragama Islam dan waktu itu masih jarang ada orang luar, apalagi yang beragama Kristen, kecuali beberapa penduduk yang memang sudah lama tinggal di sana atau beberapa pegawai lainnya. Setelah peristiwa itu, setiap kali saya makan di restoran itu, saya mengikuti kebiasaan makan malam setelah azan magrib, atau berusaha pergi makan menjelang magrib, atau sesaat setelah beduk berbuka puasa berbunyi.
Makan tidak dilarang, tetapi karena sedang bulan puasa, saya harus menghormati kebiasaan warga yang dominan beragama Islam, walau perut terkadang sudah keroncongan.
Demikian juga, makan banyak tidak dilarang, tetapi kalau kadar kolesterol sudah tinggi, maka dokter akan menasihati untuk mengurangi atau membatasi makanan. Apalagi kalau kadar kolesterol sudah di atas normal dan ada penyempitan pembuluh darah seperti yang saya alami sekarang. Makan daging, apalagi daging babi, sudah dilarang. Juga merokok, yang bisa mengganggu kesehatan, terutama paru-paru kita dan orang-orang lain di sekitar kita. Jadi kita memang harus bersikap bijaksana sesuai aturan, baik aturan Tuhan maupun aturan manusia (dalam hal ini aturan dokter atau aturan pemerintah). Dan walaupun di dalam Alkitab tidak ada larangan makan kalau sudah lapar, atau makan banyak-banyak, apalagi yang berminyak-minyak atau goreng-gorengan bagi yang kadar kolesterolnya tinggi (ikan kembung pun kadang-kadang direbus istri saya sehingga saya kurang berselera makan), tapi demi menjaga kesehatan dan keharmonisan keluarga, maka saya berusaha taat, meskipun tidak enak.
Menumbuhkan kebiasaan baik memang perlu pengetahuan, tekad dan kemauan agar tidak bertentangan dengan ajaran Tuhan dan ajaran manusia. Keduanya harus dilakukan dengan bijaksana dan tidak menimbulkan dosa. “Marah boleh tetapi janganlah amarahmu itu terus sampai matahari terbenam” (Ef. 4:26), maksudnya jangan sampai menjadi kebiasaan yang terus-menerus. Jangan makan terus, tetapi kalau tidak makan sama sekali tentu akan kurus kering dan maag bisa kumat. Jangan suka membaca kalau mata lagi sakit, tetapi kalau tidak membaca apalagi sudah pensiun dan tidak ada aktivitas lain, kita akan melamun sehingga lama-lama kepala pusing. Selain itu, kita perlu terus berdoa untuk mohon kekuatan agar tahan uji, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Miranda Gultom (mantan deputi Gubernur Senior Bank Indonesia) setelah keluar dari penjara: “Rasanya saya baru lulus dari Universitas Penjara setelah menjalaninya sesuai iman!” Maksudnya, menjalani ujian ini dengan tekad untuk selalu taat memahami dan menjalani kehidupan, sesuai rencana-Nya.
Tuhan memberkati dan memberi kekuatan kepada kita untuk selalu berbuat baik.
» R. SIHITE
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.