Kemajemukan, dalam sejarahnya, telah menjadi mimpi besar para bapa gereja Gereja Kristen Indonesia (GKI). GKI semula (secara mayoritas) adalah perkumpulan gereja-gereja Tionghoa (Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee). Dalam perjalanannya, gereja-gereja Tionghoa ini menggumulkan posisi mereka di Indonesia ini. Dalam kesepakatan bersama, kemudian mereka mengubah nama menjadi Gereja Kristen Indonesia. Atribut suku bangsa tertentu diubah menjadi atribut keindonesiaan, yang secara perlahan namun pasti membuka diri terhadap masuknya suku bangsa lain dalam kehidupan bergereja.
Dari sedikit kisah manis GKI ini, kita saat ini perlu terus menerus membuka diri terhadap keberagaman, tanpa kehilangan identitas unik ajaran dan tradisi gerejawinya. Lagu ‘Yesus Cinta S’gala Bangsa’ bukan hanya menjadi ‘lagu wajib’ anak-anak Sekolah Minggu, melainkan juga harus menjadi lagu wajib seluruh warga GKI, baik anggota maupun simpatisan. Mengapa? Kemauan menerima orang lain yang berbeda dalam GKI adalah modal utama memelihara GKI tetap mengindonesia. Kemauan ini menolong warga GKI untuk tidak mudah terjebak membangun tirani kelompok-kelompok elite berdasarkan pendidikan, ekonomi, kesamaan suku, dan sebagainya, sekaligus menghindari dominasi kelompok-kelompok yang merasa termarginalisasi di gereja. Bahaya pengelompokan adalah perpecahan. Saat perpecahan mulai mengambil peran, energi komunitas akan terkuras di dalam. Akhirnya, panggilan gereja sebagai ekklesia (dipanggil keluar) tidak optimal dilakukan.
Inilah juga yang kemudian dihidupi dalam model kepemimpinan GKI, kolektif kolegial. Kepemimpinan bersama. Bahkan pemimpin gerejawi yang ada di GKI dipahami sebagai umat dengan fungsi tertentu, bukan hierarkis. Dengan pemahaman ini, GKI mengedepankan komunikasi. Komunikasi yang demikian mengedepankan ‘audi alteram partem’ (dengarkan sisi lain atau semua perlu didengar). Artinya, siapa pun terhisab pada kesatuan dalam Kristus, dalam kesetaraan, serta dalam harkat dan martabat sebagai anak-anak Allah. Tanpa komunikasi yang sehat dan dalam kesetaraan, GKI akan kehilangan makna menjadi gereja yang menerima semuanya (all are welcome). Selamat meng-GKI!
>> Pdt. Bonnie Andreas
1 Comment
Daniel
Oktober 7, 2024 - 4:26 pmSalam sejahtera. Saya tertarik dengan kepemimpinan GKI yang kolektif kolegial ini. Apakah kolektif kolegial ini juga diterapkan secara spesifik di GKI Pondok Indah? Setelah lebih dari 5 tahun menjalani kepemimpinan kolektif kolegial, apakah cocok untuk diterapkan di gereja setempat? Apa saja keunggulan dan kelemahan dari kepemimpinan kolektif kolegial ini?
Terima kasih untuk perhatiannya. Tuhan Yesus memberkati.