Setiap bulan Agustus, pada hari-hari di sekitar perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, negara kita, saya menjadi melankolis. Delapan windu usia kemerdekaan bangsa dan negara kita, namun apa yang sudah kita capai hingga saat ini, terutama bila dibandingkan dengan negara yang sebanding dengan kita, masih belum memadai.
Salah siapakah? Untuk itu banyak hal, pihak dan orang bisa kita jadikan kambing hitam. Tetapi bagaimanakah dengan diri kita sendiri? Jangan-jangan masalahnya ada pada diri kita sendiri. Rasanya kita kurang mencintai bangsa dan negara kita sendiri. Bahkan tampaknya kita kurang sayang pada keindonesiaan kita! Ah! Separah itukah? Anda tidak percaya? Tidak perlu jauh-jauh mencari buktinya. Simaklah bagaimana kita, orang Indonesia, berbahasa Indonesia! Atau bagaimana kita di GKI Pondok Indah, berbahasa Indonesia.
Kita gemar sekali memakai kata-kata asing walau padan katanya dalam bahasa Indonesia tersedia. Bahkan disingkat pula sesuka hati. Beberapa kali saya menerima sms semacam ini:
“Pak, saya otw, mct skl…” (Pak, saya on the way, macet sekali).
Atau pada “iklan” Komisi Anak di warta gereja, yang mengundang warga jemaat menjadi guru Sekolah Minggu: “We need you…!!” Barangkali memang ada alasan yang sahih di sini. Judul itu adalah judul “iklan” jadi harus menarik dan memerangkap mata. Tetapi bagaimana dengan tema kebaktian remaja di desa Kemang ini: “I Love My Church”. Begitu kurang jelas dan kurang menarikkah bahasa Indonesia sehingga harus digunakan bahasa Inggris di situ?
Tetapi yang lebih parah lagi menurut hemat saya adalah berbagai kesalahan tata bahasa yang beramai-ramai dilakukan orang Indonesia, termasuk kita. Misalnya awalan “di” yang dikacaukan dengan kata depan “di”, sehingga banyak orang tak tahu kapan “di” dipisahkan atau digabungkan dengan kata yang mengikutinya, misalnya “di masa tua” atau “dimasa tua”, seperti yang saya baca pada spanduk ritret Komisi Senior. Atau pemakaian kata “daripada” yang dirancukan dengan kata “dari”. Dalam banyak sambutan bahkan khotbah misalnya, para pembicara dan pendeta gemar sekali mengatakan ini:
“Mari dengan sabar kita nantikan pertolongan daripada Tuhan…”
Dan masih banyak sekali kesalahan serupa. Kesalahan yang menurut banyak orang, kecil saja. Tetapi nyatanya kesalahan itu dilakukan karena yang bersangkutan tidak tahu bagaimana yang seharusnya. Padahal, bahasa Indonesia adalah bahasanya sendiri, bahkan bahasa ibunya! Lalu mengapakah bisa terjadi bahwa banyak orang Indonesia tidak menguasai kaidah-kaidah bahasa Indonesia, bahasanya sendiri?
Jangan-jangan masalahnya terletak pada langkanya penghargaan dan kecintaan pada bahasa sendiri. Bila orang melakukan kesalahan dalam berbahasa asing, orang kerap malu, apalagi sebagai orang Indonesia. Tetapi melakukan kesalahan dalam berbahasa Indonesia dianggap sebagai hal yang kecil bahkan sepele. Tidakkah seharusnya kita malu ketika ternyata kita tidak menguasai bahasa kita sendiri?
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.