Setiap keluarga pasti pernah mengalami krisis, karena krisis itu merupakan bagian yang normal dalam kehidupan. Kita tidak dapat menghindar dari krisis yang melanda kehidupan keluarga, tetapi “badai” itu justru harus dihadapi dan ditangani dengan baik, agar tidak sempat melumpuhkan dan menghancurkan masa depan keluarga kita.
Ada bermacam-macam krisis yang menimpa kehidupan keluarga, seperti kesulitan ekonomi, kehilangan pekerjaan, sakit penyakit berbahaya yang menyerang salah satu anggota keluarga, kecelakaan fatal yang menimpa anak kesayangan ataupun suatu tragedi yang melanda kehidupan suami-isteri. Pada saat mengalami seperti itu, kita merasa seolah-olah hidup sendirian di dunia ini dan tidak ada orang lain yang peduli menolong kita, bahkan ada kalanya kita merasa bahwa Tuhan tidak adil dan meninggalkan kita. Salah satu pertanyaan yang sering terlontar dari mulut kita adalah: “Apakah saya masih memiliki harapan lagi?”
Tentu saja setiap orang masih dapat memiliki harapan, karena firman Tuhan dalam Amsal 23:18 mengatakan: “Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang”. Oleh sebab itu kita perlu menyikapi dan menangani krisis dengan mengubah persepsi yang negatif menjadi positif. Ini sangat penting bagi kita agar dapat memiliki potensi untuk mengembangkan karakter kristiani di dalam diri kita, dan yakin bahwa penderitaan dan rasa sakit itu selalu menghasilkan sesuatu dan bertumbuh.
Rasul Paulus dalam 2 Korintus 1:9 menegaskan bahwa penderitaan membuat kita berpaling kepada Allah. Sikap berpaling kepada Allah bukanlah sekadar menguat-nguatkan hati, dan seolah-olah tidak terjadi apapun. Tidak juga berpura-pura senang dan bergembira saat menghadapi krisis yang membuat hancur hati dan ingin menangis. Tetapi kita benar-benar bersandar dan berserah kepada Tuhan agar dapat mengalami luka-luka dan carut-marut.
Saya sendiri pernah mengalami betapa pedihnya dilanda krisis keluarga setelah saya pensiun dan tidak memiliki penghasilan cukup untuk memenuhi kehidupan keluarga. Namun dalam menyikapi krisis itu kami tetap bertahan dan mulai belajar menerima keadaan, terus bersandar dan berserah penuh kepada-Nya.
Tuhan mengingatkan firman-Nya dalam Yeremia 29:11 yang mengatakan: “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan”.
Janji Tuhan itulah yang saya pegang untuk melangkah dan meniti sisa hidup saya bersama keluarga. Dan melalui krisis itulah saya dan keluarga mulai dipulihkan serta diperbaharui seperti tanah liat yang siap dibentuk.
Beberapa waktu berselang, saya mendengarkan keluhan seorang sahabat yang juga mengalami kebangkrutan usahanya dan keretakan rumah tangganya. Saya merasa sangat terbeban untuk ikut membantu meringankan rasa sakitnya melalui kesaksian yang kami alami. Namun dia selalu menanyakan: “Mengapa ini harus terjadi di dalam kehidupan saya dan apakah masa depan saya masih ada harapan?”
Di tengah-tengah kepanikannya, berulangkali dia mempertanyakan keberadaan Tuhan di saat dia membutuhkan pertolongan-Nya. Saya melihat bahwa penderitaan yang bertubi-tubi atas dirinya itu, akibat penanganan krisis yang keliru, sehingga timbul masalah komunikasi dengan pasangannya, dan relasi mereka menjadi buruk.
Memang pada saat dilanda krisis, kita harus dapat menentukan sikap positif untuk menghadapi krisis tersebut, namun masing-masing orang memiliki pilihan yang berbeda. Apakah kita mau bertahan hidup atau tidak. Kalau kita mau bertahan, maka setelah mengalami kehancuran, kita akan dapat bangkit kembali. Tetapi bagi mereka yang tidak dapat bertahan dan mengeraskan hati untuk tetap tidak mau belajar dari peristiwa itu, mereka akan mengalami kepahitan dan trauma yang dalam sepanjang hidupnya.
Banyak keluarga yang mengalami kepahitan dan trauma yang dalam sepanjang hidupnya. Banyak keluarga yang mengalami krisis, bukannya mencari solusi tetapi mereka larut dan tenggelam di dalam masalahnya dan saling menyalahkan satu dengan yang lain. Hal ini akan dapat memicu konflik yang berkepanjangan.
Sikap hidup saling menyalahkan adalah karakteristik dari individu dan keluarga yang tidak mampu bertahan. Keluarga yang demikian akan mengalami kesulitan untuk menyingkirkan penghalangnya dan ledakan-ledakan konflik demi konflik akan terjadi dengan adanya “bahan bakar” yang baru. Krisis yang satu belum dapat diatasi, namun keluarga itu sudah kehilangan energi untuk menyelesaikan konflik-konflik baru yang timbul.
Seharusnya mereka menyatukan hati dan pikiran mereka dengan menggunakan pikiran Kristus dalam mencari solusi, bukan dengan kebenaran diri sendiri. Filipi 2:5 mengatakan: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus”.
Apabila dalam suat keluarga yang sedang dilanda krisis tidak membangun kesatuan keluarga, (terutama kesatuan suami-isteri), maka akan terjadi perubahan situasi yang semakin keruh. Ditambah pula dengan opini negatif dari masing-masing anggota keluarga, akan menimbulkan masalah baru yang lebih gawat.
Tetapi bagi mereka yang melakukan firman Tuhan dalma Filipi 2.5 maka mereka akan bertahan menghadapi krisis yang menimpa diri mereka. Karena mereka tidak melarikan diri dari kenyataan, tidak menghindar dan tidak pula menyangkal, namun sebaliknya mereka menerima krisis itu dengan penuh hikmat.
Mereka menyadari berbagai dampak yang akan terjadi dalam kehidupan mereka dan merespons dengan sikap positif. Oleh karena itu mereka memilih cara efektif untuk menangani kesulitan yang besar, dan dengan penuh hikmat mereka berupaya memecah-mecah kesulitan yang besar itu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan membereskannya satu persatu.
Dengan demikian mereka tidak membesar-besarkan masalah yang mereka hadapi dan tidak saling menyalahkan satu dengan yang lain, tetapi tetap dalam kesatuan keluarga yang utuh yang saling membangun dan berorientasi pada solusi.
H. Norman Wright dalam bukunya yang berjudul “Apakah hidupku akan sama seperti dulu lagi?” menyatakan bahwa mereka yang tidak sanggup bertahan menghadapi krisis, tidak lagi berorientasi pada solusi dan sering menggunakan “frasa-frasa korban” yang mencerminkan untuk menyerah kalah. Setiap kali berpikir terlebih mengucapkan satu di antara frasa-frasa itu, maka secara tidak sadar mereka mulai mempercayai dan menggenapinya. Pada akhirnya mereka membujuk diri sendiri untuk percaya bahwa frasa-frasa itu mewakili kebenaran dan akhirnya menjadi korban keyakinan mereka yang keliru. H. Norman Wright mengemukakan tujuh frasa yang selalu dipergunakan oleh mereka, sebagai berikut:
- Pertama: “Saya tidak biasa…….” Kata-kata ini biasanya dipacu oleh tiga sikap yang sering menjadi hambatan untuk maju terus dalam kehidupan mereka, yaitu: sikap tidak percaya, takut dan kurang memiliki harapan.
- Kedua: “Itulah masalahnya…..” Kata-kata ini tercetus dari mereka yang memandang kesulitan-kesulitan hidup sebagai masalah atau beban dalam rasa takut dan ketidak-berdayaan mereka. Dalam menghadapi krisis, kita dapat belajar untuk berubah dan bertumbuh dengan mempertahankan sikap hidup yang benar. Kalau kita menghadapi masalah pelik, anggaplah itu merupakan tantangan dengan mengatakan: “Itu adalah kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru”.
- Ketiga: “Saya tidak akan pernah….” Ini mencerminkan kemandegan pribadi yang selalu menyerah tanpa syarat, seolah-olah tidak percaya akan kasih karunia Tuhan yang dapat memberi kemampuan dan kesempatan untuk mengatasi krisis kita perlu sikap hidup yang penuh iman dan optimis dengan mengatakan: “Saya belum pernah melakukan, tetapi saya bersedia mencobanya”.
- Keempat: “Ini sangat mengerikan….” Kadang-kadang frasa ini tercetus tanpa disadari dalam situasi yang mengejutkan, namun bila diucapkan berulang-ulang, maka akan memberi dampak yang kurang baik dalam kehidupan. Kita harus dapat belajar menyikapi krisis dengan berkata: “Saya ingin belajar apa yang dapat saya lakukan dalam situasi seperti ini”.
- Kelima: ”Mengapa hidup jadi seperti ini…..? “ Sebenarnya ini suatu respons yang normal dan alami terhadap penderitaan yang mendalam dan guncangan yang mendadak dalam hidup ini, namun bila kita ucapkan terus menerus akan mengalami kesulitan dan tetap berkutat dalam kelumpuhan tanpa ingin pulih kembali.
- Keenam: “Seandainya saja…..” Frasa ini membuat kita menjadi orang-orang yang terpenjara dalam mimpi-mimpi yang telah hilang dan membuat diri kita terjebak dalam angan-angan kosong dengan berandai-andai.
- Ketujuh: “Apa yang akan saya lakukan…?” Pertanyaan ini merupakan jeritan keputusan-keputusan yang disertai rasa takut akan masa depan yang suram. Hal ini dapat terjadi pada mereka yang memiliki sikap hidup pesimistik.
Sebenarnya frasa-frasa ini tidak perlu diucapkan secara berlebihan tetapi digantikan dengan kata-kata positif dan dengan sikap hidup yang optimistik agar tetap bertahan dan tidak mengalami kepahitan dalam hidup kita. Kepahitan adalah dampak negatif setelah mengalami krisis, karena mereka memfokuskan diri pada ketidak-adilan apapun yang terjadi.
Banyak orang di sekitar kita yang terpaku pada kesedihan akibat adanya kebencian yang mendalam kepada keadaan atau orang lain yang dianggap menjadi penyebab krisis yang mereka alami, dapat juga membenci diri sendiri bahkan kepada Tuhan. Mereka membangun bendungan di sekeliling perasaan pahit itu, bukannya mengusir kepahitan itu pergi tetapi malah membiarkannya mengendap dalam hati mereka.
Bagi mereka yang dapat bertahan pada hakekatnya mereka memiliki semangat belajar yang luar biasa dan keinginan bertumbuh. Suatu karakteristik mau belajar dari apa yang telah menimpa mereka dan belajar memandang masa depan sebagai suatu kesempatan serta membuang segala bentuk-bentuk penyesalan masa lalu. Mereka hidup masa kini dan memiliki sudut pandang ke masa depan.
Keluarga yang sehat dapat mengatasi rasa takut dan menemukan cara yang efektif untuk membuat segalanya jadi berbeda.
Para anggota keluarga belajar untuk menyelesaikan masalah dan bersedia saling mendengarkan dan mengampuni satu dengan yang lain. Pendekatan ini merupakan sumberdaya untuk mendorong semangat dan harapan di tengah-tengah hati yang sedang terluka.
Mereka mampu bertahan melewati krisis karena mereka memiliki pola yang permanen untuk menikmati hidup. Mereka masih dapat tertawa sekalipun dalam masa-masa sulit. Hal itu merupakan cara yang terbaik untuk sejenak beristirahat dari beratnya beban krisis.
Dengan demikian mereka tidak kehabisan energi yang terbuang percuma, karena pada dasarnya mereka memiliki sikap fleksibel, tahan uji dan mudah menyesuaikan diri dengan perubahan.
Saya pun melakukan hal serupa dalam menyikapi krisis yang melanda kehidupan keluarga. Setelah mengalami krisis ini mata hati saya dicelikkan dan saya menyesal dengan cara hidup saya dulu, namun saya tetap bersyukur walaupun pada usia lanjut saya masih diberikan kesempatan untuk bertumbuh.
Saya menyadari bahwa tinggal sedikit waktu yang tersisa untuk mengubah hidup saya bersama keluarga dalam menjalani hidup yang bermakna. Dan pada saat itulah saya menemukan hikmat dari Allah Bersama Tuhan saya dapat belajar melihat visi masa depan keluarga yang akan menuntun apa yang saya lakukan saat sekarang ini.
Kemudian saya melakukan perenungan lebih dalam, dan menemukan latar belakang sebagai berikut: Karena saya merasa bangga dengan karier yang sukses (bukan diukur dari materi), maka terbentuklah karakter yang terlalu percaya pada kemampuan diri sendiri dan jarang menyertakan Tuhan dalam setiap bidang kehidupan.
Saya bagaikan Petrus yang sombong yang dilucuti Tuhan Yesus, namun dibentuk dan dibangun kembali karakternya agar mendatangkan berkat bagi dirinya dan bagi orang lain (Lukas 5:1-11).
Perenungan yang saya lakukan dalam kondisi mencapai titik nol itu dan dengan campur tangan Roh Kudus, saya menetapkan visi dan misi saya dalam menjalani sisa kehidupan yang bermakna bersama keluarga, sebagai berikut:
- Prioritas Pertama: Memfokuskan kehidupan kepada Tuhan Pencipta alam semesta dan menyediakan waktu khusus secara teratur untuk memuji dan memuliakan Tuhan, berdialog, serta belajar ketaatan, kepatuhan dan kesetiaan pada firman-Nya.
- Prioritas kedua: Memenuhi otoritas dari Tuhan untuk menjadi “Imam dalam keluarga” yang mencerminkan keteladanan dan membawa keluarga (isteri, anak, menantu dan cucu) dalam terang sinar Tuhan Yesus dengan mengasihi Tuhan dan sesama.
- Pritoritas ketiga: Menjadi “soko guru” bagi keluarga dan membangun tembok-tembok yang telah runtuh serta mengelola kehidupan masa depan keluarga yang damai sejahtera dalam Tuhan.
- Prioritas keempat: Peduli dan membantu kehidupan orang lain, terutama orang-orang miskin, yatim piatu dan para manula.
Dengan membangun visi dan misi serta meletakkan skala-prioritas, maka perjalanan hidup kita akan lebih tertata dan berjalan seiring dengan tuntunan Roh Kudus dalam meniti kehidupan masa depan yang damai sejahtera dalam Tuhan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan kepada pasangan muda agar sesegera mungkin mencermati prioritas-prioritas dan nilai-nilai kehidupan keluarga anda untuk menetapkan arah dan tujuan hidup yang lebih baik bagi kehidupan masa depan bersama Tuhan.
Tjuk Sumarsono
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.