Sudah 64 tahun kami tercatat sebagai warga DKI Jakarta dan selalu bertempat tinggal di Jakarta Selatan. Sejak lebih dari 30 tahun kami menjadi warga Kelurahan Cilandak Barat. Sebelumnya kami tercatat sebagai warga Kebayoran Baru dan Tebet. Masing-masing Kelurahan memiliki demografi berbeda, dan berbeda juga budaya dan tradisi warganya. Saat di Kebayoran Baru, mayoritas warga memiliki tingkat kehidupan menengah ke atas, meskipun terdapat beberapa “kantong warga” dengan tingkat menengah ke bawah. Sebaliknya di Tebet, umumnya tingkat kehidupannya menengah ke bawah, meskipun terdapat pula yang menengah ke atas. Yang mencolok, kehidupan bernapaskan agama—terutama umat muslim Muhammadiyah—sangat kental terasa. Kehidupan bertoleransi cukup baik, tercermin dari arisan keluarga dan acara halalbihalal rukun tetangga yang bergulir secara teratur dan diminati warga. Hal ini sedikit berbeda dengan kehidupan di Kebayoran Baru. Meskipun tetangga saling kenal, tetapi tidak terlalu akrab dan arisan rukun tetangga ada, tetapi terasa kurang “sreg”. Yang masih dikenang, para kepala keluarga atau wakil mereka diharuskan siskamling bergiliran sekali seminggu, yang diatur oleh Ketua RT.
Kami kontrak paviliun tiga tahun, karena permohonan izin kami untuk tinggal di luar ksatrian dikabulkan oleh MBAL. Suatu malam, pada tahun 1968, kepala keluarga dari rumah induk yang kami kontrak, terciduk operasi Kodim dalam pembersihan sisa-sisa gerakan G-30-S. Beliau kebetulan Ketua RW di lingkungan tempat kami tinggal. Setelah suami terciduk dan masuk golongan B, sehingga dibuang ke Pulau Buru, istri dan anaknya sering bertandang dan mengobrol berkeluh kesah di paviliun yang kami sewa. Agar tidak terjadi sesuatu, kami disarankan oleh tetangga yang dituakan dan kebetulan bertugas di Mahkamah Agung, untuk pindah rumah. Hal ini dengan pertimbangan, karena dikhawatirkan bahwa sebagai anggota ALRI, kami diadu domba dengan sesama ABRI dari lain angkatan.
Dengan uang terbatas, kami berhasil membeli rumah sederhana OKP di gang Tebet Timur. Saat itu, salah satu tetangga kami adalah seorang janda dengan keluarga besar. Beberapa tahun kemudian, ternyata salah satu putranya menjadi artis terkenal dengan nama baru dan memimpin grup musik Soneta. Dari Tebet Timur, kami pindah ke rumah, naik kelas OKW di Tebet Barat. Setelah 17 tahun bermukim di Tebet, di seberang rumah kami menjadi kantor pengerahan tenaga kerja TKI ke Timur Tengah yang hiruk pikuk.
Akhirnya pada tahun 1988, kami pindah lagi ke rumah kelas vila di Kelurahan Cilandak Barat dengan memperoleh kemudahan membeli secara mencicil dari seorang mantan Menteri yang baik hati. Saat awal pindah ke daerah ini, lingkungan masih ramai dengan suara anak-anak tetangga yang sama-sama bersekolah di Tarakanita dan Canisius College. Demografi di wilayah ini didominasi oleh ASN, perwira TNI/Kepolisian, dan pegawai swasta. Rumah kami dikelilingi oleh kompleks perumahan Deplu, P dan K, Sekretariat MPR, Sekretariat Negara, Bank-Bank BUMN, Krakatau Steel, serta kaveling-kaveling besar ribuan meter persegi milik orang-orang kaya, pejabat dan perwira tinggi. Kami sendiri menempati kaveling yang relatif kecil, dikenal dengan kompleks Philips. Ketika kami baru pindah, jalan-jalan dan lingkungan masih relatif sepi, bahkan masih ada Metro Mini no.76 yang melayani Blok M ke Kompleks MPR p-p tepat di jalan rumah kami.
Hingga tahun 1998, daerah kami menjadi salah satu favorit ekspatriat mengontrak rumah. Namun suatu malam di bulan Mei 1998, salah satu staf kedutaan Amerika yang mengontrak salah satu rumah kami, menelepon untuk mengabarkan bahwa mereka semua malam itu juga harus segera dievakuasi ke Hotel Kristal Terogong untuk bersama-sama langsung dibawa ke Lanud Halim Perdanakusuma dan diterbangkan keluarga Indonesia dengan pesawat angkut US Air Force. Sejak itu, rumah-rumah yang dikontrakkan kosong dan bisnis kontrak rumah ke orang asing lumpuh. Pendapatan pasif warga senior yang semula setiap bulan mencapai US.$3500 dan dibayar untuk 3 tahun sekaligus, menjadi hilang. Sudah beberapa tahun ini rumah-rumah banyak yang kosong dan masuk daftar rumah dijual, tetapi masih sepi dari sentuhan pembeli.
Setelah 15 tahun, keramaian orang dan kendaraan berpindah ke jalan-jalan dan lingkungan, sedangkan di rumah-rumah hanya terdengar gonggongan anjing, kokok ayam dan suara burung di pagi hari. Anak-anak yang dahulu meramaikan rumah, saat ini sudah berkeluarga semua dan pindah ke berbagai pelosok Nusantara dan dunia. Yang tersisa hanya pasangan senior yang dahulu masih sering kami jumpai saat olah raga pagi ataupun saat mencoblos setiap Pemilu. Sepuluh tahun terakhir, di lingkungan makin sering terdengar bunyi sirene ambulans atau mobil jenazah. Catatan penghuni muda dari rumah-rumah yang orang tuanya telah wafat, makin panjang. Sebagian rumah berubah fungsi menjadi hotel transit, meskipun julukannya apartemen/tempat kos. Seharusnya, sesuai dengan Tata Ruang Pemda, bangunan komersial tidak diperkenankan berada di daerah pemukiman. Apa hendak dikata dan apa daya, warga penghuni daerah pemukiman hanya bisa menderita, karena aparat dan Pemerintah juga tidak berdaya dan tutup mata. Deposit air tanah berkurang dan parkir mobil tamu hotel transit mengusik kenyamanan warga.
Lingkungan saat ini dipenuhi oleh kendaraan dan pedagang PKL yang menetap atau lalu-lalang dengan gerobak dorong, sepeda motor, sepeda dan jalan kaki. Teriakan penjual bubur ayam sudah terdengar sejak matahari mulai terbit, demikian pula jingle dari gerobak-gerobak yang menjajakan roti, getuk tiwul, dan teriakan tukang loak. Menjelang jam sekolah, sepeda motor dan ojol berseliweran mengantar anak sekolah. Angkot OC/OK, mobil taksi resmi, dan Grab memangkal di beberapa titik, sehingga kemacetan terjadi hingga ke luar lingkungan pemukiman kami. Olahraga aerobik di pagi hari harus dilakukan sebelum jam sibuk, agar terhindar dari polusi dan risiko tersodok kendaraan. Untuk keamanan, kami sering masuk ke kompleks Mandiri, BRI, MPR untuk olahraga pagi, tapi untuk mencapainya, kami harus masuk gang-gang di perumahan/kampung setempat. Banyak bedeng di kampung ini yang menjadi lahan bisnis, dan pada umumnya harga kontraknya sudah di atas Rp 750.000/bulan. Saat ini yang olahraga pagi sudah banyak berkurang. Ada yang wafat terserempet motor di trotoar, ada yang wafat karena stres kesepian dan/atau stres karena dana tabungan menyusut cepat, sedangkan penghasilan nihil. Namun banyak pula yang wafat karena mengidap penyakit tersembunyi, seperti kanker getah bening, terkena serangan jantung dan stroke berat. Saat menyusuri gang-gang di perkampungan, kami banyak menemukan ibu-ibu penjaja sayuran di pojok gang yang menerima titipan jajanan gorengan. Tukang tempe dan tahu serta garam/bawang merah ikut ramai menyuplai ibu-ibu penjual itu dan warung-warung kecil. Ada seorang bapak yang pekerjaannya menangkar burung kenari dan love bird, dengan cara membeli bakal burung di pasar burung Tanjung Priok. Setiap pagi ia memandikan dan mengajari burung-burung itu bernyanyi dengan menggunakan USB yang dicantolkan ke ponselnya. Untuk kebutuhan dapur, ia menyewakan halaman depan rumahnya sebagai lapak seorang ibu penjaja sayur.
Bisnis minuman kopi bukan hanya marak di kafe-kafe gedung, melainkan juga dijajakan dengan gerobak dorong, dengan bersepeda atau berjalan kaki. Modalnya pun sederhana, cukup berbekal kompor dan ceret memasak air, termos air panas dan deretan sachet kopi dari berbagai merek. Jika di kafe, segelas kopi 100-150 cc dijual Rp 18.000—Rp 25.000, maka cukup dengan Rp 1.500 – Rp 2.000, segelas kopi dapat dinikmati di jalan-jalan. Untuk sarapan pagi, tersedia nasi uduk, bubur ayam, ketoprak, kupat sayur dengan harga Rp 10.000—Rp 12.000 dan camilan berbagai gorengan, getuk tiwul dengan harga Rp 500-an, ataupun gipang dan kue bantal/cakue Rp1.000-an. Ada pula seorang laki-laki sepuh berusia 85 tahunan yang masih berkeliling mendorong gerobaknya untuk menjajakan alat-alat kebersihan dari berbagai jenis dan ukuran, seperti sapu, pengki dan alat-alat rumah tangga lainnya. Di pojok jalan sering pula nongkrong seorang bapak tua berbekal pacul dan pengki, menunggu tawaran pekerjaan galian dan/atau mengurus kebun halaman rumah. Dari Karawang, banyak gerobak penjaja tape. Tukang sol sepatu dan tukang las jalanan umumnya berasal dari Garut/Sumedang. Setiap pagi kami bertemu dengan banyak “pejuang” pencari nafkah ini. Kami bertukar senyum dan sekali-kali mengobrol dengan mereka. Saat mereka sepi pembeli, kami membeli dagangan mereka, menjahitkan sepatu atau mengelas pagar sambil bercakap-cakap dengan mereka, juga menyajikan minuman kopi jika mereka bekerja di rumah kami.
Kami bersyukur, bahwa berbekal pendidikan saat muda, kami dibekali dengan berbagai sertifikat pengetahuan yang ternyata dapat kami manfaatkan saat sepuh untuk mencari nafkah tambahan dengan melakukan aktivitas investasi saham dan produk turunannya. Apakah sentuhan kami dengan penduduk sekitar pemukiman ini dapat diartikan juga telah menjalankan VISI GKIPI: “Jemaat yang hidup, terbuka, partisipatif dan peduli”?
>> Harry Tanugraha
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.