Siapakah yang pernah membayangkan bahwa kehadiran pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ternyata telah mengubah tatanan dunia dalam waktu singkat? Dampak kehadirannya yang berkepanjangan, dan ketidakpastian sampai kapan wabah ini akan berakhir, membuat golongan masyarakat—terutama golongan menengah ke bawah— bingung memikirkan nasib mereka.
Mau atau tidak mau, dampak pandemi COVID-19 telah memaksa masyarakat menyesuaikan diri terhadap berbagai bentuk perubahan sosial yang diakibatkannya. Berbagai masalah yang timbul menuntut terjadinya perubahan-perubahan perilaku di berbagai aspek kehidupan. Segala bentuk aktivitas yang dilakukan di masa prapandemi, kini harus menyesuaikan diri dengan standar protokol kesehatan.
Tentu hal ini bukan persoalan yang sederhana, sebab mau atau tidak masyarakat dihadapkan pada situasi perubahan yang tidak pernah terjadi sebelumnya, seperti munculnya tata aturan baru berupa himbauan dari pemerintah untuk melakukan kegiatan belajar, bekerja, dan beribadah di rumah sejak awal kemunculan virus ini di Indonesia. Juga pembatasan sosial yang terasa aneh bagi masyarakat yang terbiasa berkumpul dan ngobrol bareng.
Keharusan melakukan jarak fisik (physical distancing) telah mengubah perilaku masyarakat yang guyub dan selalu ngumpul bareng, menjadi saling mencurigai dan saling mengawasi. Kebiasaan tatap muka secara langsung di masa prapandemi harus diubah menjadi pola interaksi secara virtual. Kondisi ini sekaligus mempertegas bahwa fungsi teknologi menjadi sangat penting bagi interaksi sosial masyarakat di era pandemi saat ini.
Seorang pemikir dan ahli sejarah, Yuval Noah Harari, dalam artikelnya berjudul “The World After Coronavirus” menyatakan bahwa “Badai pasti berlalu, manusia mampu bertahan, tapi dunia yang kita tempati akan sangat berbeda dengan dunia sebelumnya.”
Menarik memerhatikan munculnya berbagai respons masyarakat di Indonesia. Ada yang bersikap waspada, tetapi masih lebih banyak yang tidak peduli dan terkesan meremehkan. Sebenarnya orang-orang yang bersikap masa bodoh terhadap kemunculan virus ini lebih sedikit jumlahnya daripada mereka yang peduli terhadap pencegahannya. Namun, ketidakpedulian itulah yang kemudian mempercepat penyebaran virus.
Ketidakpastian dalam mengetahui kapan wabah akan berakhir membuat banyak golongan masyarakat— terutama golongan menengah ke bawah—bingung memikirkan nasib mereka. Kehidupan yang berjalan seperti biasa tanpa adanya mata pencaharian membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Kegelisahan, kebingungan, ketakutan yang tersebar di masyarakat, mendorong sebagian orang mengambil keputusan dan tindakan yang keliru dalam rangka bertahan hidup. Fenomena panic buying merupakan salah satu contohnya. Tindakan panic buying dan menimbun barang-barang kebutuhan sehari-hari jelas merupakan bentuk ketidakmampuan dan ketidakpastian masyarakat dalam mengatasi tekanan yang timbul akibat virus ini. Mereka berusaha mengamankan diri sendiri dengan menempuh langkah yang keliru. Penimbunan dilakukan untuk berjaga-jaga, tapi acap kali mereka hanya membeli barang-barang yang tidak diperlukan. Tentu saja hal ini berdampak pada kelompok masyarakat yang tidak mampu membeli dalam jumlah besar akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Pandemi COVID-19 ternyata juga mengubah relasi keseharian di masyarakat, akibat timbulnya rasa curiga dan hilangnya kepercayaan terhadap orang-orang di lingkungan kita. Contoh yang nyata adalah ketika kita mau membeli makanan, baik di resto atau di “warung tegal”. Hal pertama yang perlu kita teliti adalah apakah makanannya bersih atau tidak? Apakah pelayan menggunakan masker dan tidak bersentuhan dengan orang yang terjangkit virus? Apakah pelayan berpakaian bersih, rapi dan selalu mencuci tangannya pada saat mengolah atau memproses makanan yang kita pesan? Semua hal ini dilakukan sebagai upaya kewaspadaan, tapi juga sekaligus kecurigaan. Di lingkungan kantor atau rumah, kita tidak lagi bebas menerima tamu, ngobrol bareng di teras rumah, dan berjabatan tangan. Kita harus selalu menjaga jarak dan mengenakan masker. Ini wajib dilakukan sebagai bagian dari kepedulian agar virus tidak menyebar lebih luas lagi. Virus COVID-19 telah melumpuhkan perekonomian dunia—termasuk Indonesia—sebagaimana terlihat dalam kehidupan sehari-hari di kalangan menengah ke bawah, seperti pedagang kelontong, penjual ikan, pedagang sayur, sopir kendaraan umum, dll.
Sejak diberlakukannya peraturan yang tidak memperbolehkan kumpulan keramaian di masjid, gereja atau tempat ibadah lainnya, maka tempat tempat beribadah menjadi kosong, dan digantikan dengan di rumah masing-masing. Situasi seperti ini tentu berdampak pada relasi seorang dengan yang lain, khususnya terkait dengan pelaksanaan kegiataan keagamaan.
Di dunia pendidikan, untuk menghindari penyebaran virus ini, pemerintah secara mendadak memutuskan untuk memindah proses belajar dari sekolah ke rumah siswa dengan pembelajaran secara daring (online). Keterbatasan sarana dan prasarana tentunya banyak terjadi, karena tidak semua orangtua siswa mampu memberikan fasilitas teknologi kepada anak-anak mereka, apalagi mengingat minimnya mata pencarian saat ini. Pembelajaran daring tidak terlepas dari jaringan internet. Tidak semua sekolah sudah terkoneksi dengan internet, apalagi murid yang bertempat tinggal di pelosok. Akibatnya, guru dan orangtua siswa kesulitan menyelenggarakan pembelajaran daring.
Siapakah Sesamaku ? Sebuah Refleksi Terhadap Situasi Aktual
Permasalahan-permasalahan yang muncul dari dampak penyebaran virus COVID-19, tentu memengaruhi relasi di antara sesama manusia. Situasi pandemi seharusnya mengangkat kesadaran manusia untuk hidup saling bergantung satu sama lain. Namun, mengapa tidak banyak yang mau peduli dengan keadaan orang lain? Dalam situasi seperti ini, menarik untuk kembali merenungkan kisah orang Samaria yang murah hati dalam Injil Lukas 10:25-37.
Perumpamaan orang Samaria yang baik hati ini sangat populer dan menarik. Kisah ini dimulai dari gambaran seorang ahli Taurat yang berpikiran negatif terhadap Yesus. Ia datang kepada Yesus dengan mengajukan satu pertanyaan untuk mencobai. Pertanyaannya bukan pertanyaan biasa. Pertanyaannya bermuatan teologis yang penting, yaitu tentang “hidup yang kekal”. Sayangnya, Alkitab mencatat bahwa pertanyaan yang menarik dan bagus itu dinodai oleh motivasi yang keliru.
Ada orang yang bertanya karena memang betul-betul membutuhkan jawaban, tapi ada juga yang hanya mau sekadar show off, memamerkan betapa dia menguasai bahan. Seperti yang dilakukan oleh ahli Taurat ini, yang hanya bertanya untuk menguji atau mencobai Yesus. Mungkin tujuannya juga untuk mempermalukan-Nya di depan khalayak ramai.
Kita terkejut melihat sikap Yesus yang menjawab pertanyaan ahli Taurat itu dengan sabar tapi sangat tajam. “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” (ayat 26). Yesus—yang sudah mengetahui bahwa si penanya ini seorang ahli Taurat— mengarahkan jawaban-Nya tentang pengenalan si ahli Taurat pada kitab Taurat itu sendiri.
Dan jawab orang itu,“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (ay.27)
Prinsip dalam dunia Perjanjian Lama—khususnya berkaitan dengan kitab Taurat—adalah bahwa jika orang membaca kitab Taurat dan melakukan perintah-perintah Allah yang tertulis di dalamnya, maka ia akan hidup. Maka ketika Yesus di sini menunjuk kepada Taurat, jawaban itu tulus. Seseorang yang percaya kepada Tuhan dan mengikut Dia, seharusnya menjalankan Taurat di dalam kehidupannya.
Tidak cukup seseorang hanya mengetahui Hukum Taurat atau kitab para nabi, juga tidak cukup hanya memahaminya secara mendalam, dan bahkan tidak cukup hanya dapat menghafalnya luar kepala. Pengetahuan dan pemahaman doktrinal yang sempurna tentang hal ini juga tidak cukup. Ada satu tambahan lagi yang ditekankan oleh Yesus, “Jawabmu itu benar. Perbuatlah demikian maka engkau akan hidup.” (ayat 28)
Jawaban Yesus sangat sederhana: Jika kamu sudah mengetahui apa yang benar dari pengajaran Hukum Taurat, lakukanlah hal itu sekarang. Banyak orang hanya sebatas mengetahui apa yang benar, tetapi tidak mampu atau tidak mau melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Yesus tidak tertarik membangun jemaat Kristen yang selalu hanya mengetahui jawaban yang benar, tetapi tidak tertarik melakukannya. Mungkin kita juga pernah berjumpa dengan ahli agama atau orang yang rajin menggali teks-teks firman Tuhan. Ia berhasil menerbitkan karya yang sangat bagus dan menarik, bahkan mungkin merupakan suatu teori atau penemuan baru. Namun harap jangan berdecak kagum dulu sebelum kita mengetahui bagaimana praktik atau pelaksanaan dari teori tersebut. Apakah membawa dampak yang baik bagi jemaat, atau bagi pendengar atau pembacanya, atau malah membingungkan.
Penggalian dan pendalaman teks-teks firman Tuhan hanya akan berpengaruh dalam kehidupan seseorang ketika ada praktik nyata dari hal tersebut. Oleh sebab itu jangan terlalu gembira dan takjub ketika mendengar ada teori baru di bidang teologi, misalnya. Saat ini ada banyak gagasan yang aneh-aneh, yang bikin orang sering pusing karena terlalu rumit untuk dipahami, tapi tampaknya makin rumit teori itu, orang yang tidak tahu pun ikut berdecak kagum. Tentu teori baru apa pun itu sah-sah saja. Namun teori apa pun itu, sebelum dilakukan, dipraktikkan, dan terlihat hasil atau buahnya, jangan terburu-buru diakui kehebatannya. Jangan terlena atau terbuai dengan penemuan-penemuan baru yang belum dapat dibuktikan hasilnya, yang belum tahu apakah bisa dilakukan secara nyata dalam kehidupan ini. Coba perhatikan berapa banyak teori pemikiran teologis yang digumuli secara mendalam, tapi akhirnya tinggal wacana, karena tidak lama kemudian akan ada wacana pemikiran teologi yang baru.
Ada jurang pemisah yang besar antara mengetahui jawaban yang benar dan ketertarikan untuk melakukannya dalam kehidupan ini. Jawaban Yesus tepat sekali, karena Ia mengetahui isi hati manusia yang terdalam. Tampaknya ada banyak orang yang cukup memahami isi Alkitab, mengetahui teks firman Tuhan, karena itu mestinya tidak perlu lagi mengikuti seminar, pendalaman Alkitab, dan pendalaman dogmatika dan lain lainnya. Cukup melakukan dulu apa yang sudah diketahui. Jika yang sudah diketahui itu dapat dikerjakan atau dilakukan, maka kita akan dapat melihat hasilnya dan silakan lanjut menggali lebih dalam lagi.
Namun namanya manusia, kita tidak senang kalau ada orang yang berusaha membongkar keberadaan kita. Kita lebih senang mendengarkan sanjungan tentang penemuan-penemuan baru dari sudut pandang yang baru. Demikian juga tidak sedikit orang yang terjebak mengagumi sesuatu yang baru yang belum dipahaminya dan belum dipraktikkan. Padahal menurut apa yang Yesus katakan kepada ahli Taurat dalam bacaan kita ini, “Jika kamu sudah tahu hal itu benar, perbuatlah demikian.”
Pertanyaan “Dan siapakah sesamaku manusia ?” (ay.29) yang dilontarkan oleh ahli Taurat ini mengarah pada pembenaran diri sendiri. Di balik pertanyaan itu ada kesombongan tersembunyi, seolah-olah mau mengatakan, “Kalau saya pribadi, saya pasti akan menolong orang yang memang membutuhkan. Persoalannya, orang yang mau saya tolong itu tidak bicara apa-apa. Ia tidak mau mengomunikasikan apa yang diperlukannya, jadi ketika saya mau menolong, ternyata tidak muncul permintaan yang membutuhkan pertolongan.” Perhatikan di sini hubungan subjek dan objek. Subjek adalah orang yang memberi, dan objek adalah orang yang diberi.
Yesus melihat kebebalan yang ada pada diri si ahli Taurat. Ia seolah olah menutup diri pada sesuatu yang sederhana. Ahli Taurat itu sebenarnya sudah mempunyai pengetahuan mendalam tentang berbagai doktrin, tapi tidak mau memahami hal yang sangat sederhana yaitu, “perbuatlah demikian maka engkau akan hidup”. Akhirnya Yesus harus menjelaskannya dengan perantaraan perumpamaan, Yesus harus menceritakan lagi hal yang sederhana tadi dengan perumpamaan, seperti cerita untuk anak Sekolah Minggu.
Ada orang dari Yerusalem pergi ke Yerikho, kemudian dirampok dan jatuh ke tangan penyamun. Ia bukan hanya dirampok, melainkan juga dipukuli sampai sekarat. Kemudian ada 3 tokoh lain—selain yang dirampok—yang paralel lewat di jalan yang sama: yang pertama seorang imam, lalu orang Lewi, dan yang ketiga orang Samaria.
Yang menarik dalam perumpamaan ini: Yesus menampilkan suatu kontras yang ekstrim. Biasanya orang Samaria kontras dengan orang Yahudi, tapi kali ini bukan orang Yahudi biasa melainkan seorang Imam dan seorang Lewi yang mempunyai kedekatan hubungan dengan Tuhan dan melayani di Bait Suci. Namun mereka menghindar, sementara orang Samaria yang sering mendapatkan label kurang beragama, yang dianggap tidak terlalu mengerti Firman Tuhan, tidak paham pengajaran dokmatik, justru adalah pribadi yang dijunjung oleh Yesus.
Ada suatu ironi dalam kehidupan manusia. Orang sering kali hidup dengan label-label seperti: Aku orang yang memahami firman Tuhan; Aku seorang hamba Tuhan; atau Aku orang Israel sejati. Mungkinkah kita juga terjebak dengan label-label seperti itu? Saya pemuka agama; saya orang penting di Gereja. Manusia melihat label-label seperti itu, tapi Tuhan melihat ke dalam hati manusia.
Imam dan orang Lewi adalah gambaran dari pemimpin agama dan orang yang mengenal Allah. Mereka melihat orang yang dirampok itu, tapi kemudian menepi, seolah-olah tidak melihat korban yang teraniaya. Mungkin mereka tidak mau jadi saksi, mungkin tidak ada waktu, atau tidak mau repot, mungkin tidak mau mengeluarkan uang, takut terbebani. Ada berbagai alasan yang menjadi tanda tanya dan Yesus mempersilakan pendengar atau pembaca untuk menerkanya sendiri.
Justru orang-orang beragama sering kali menghindari tanggung jawab sosial: Maaf, saya tidak ada waktu untuk kamu karena saya harus berdoa; saya harus melakukan kegiatan gereja. Imam dan orang Lewi mungkin mempunyai alasan yang sama. Kita tidak tahu dari mana mereka berjalan. Kalau dari Yerusalem ke Yerikho, berarti sudah selesai dengan urusan ibadah, tapi kalau dari Yerikho ke Yerusalem, mereka memang masih punya alasan untuk segera memimpin suatu ritus di Yerusalem. “Saya tidak ada waktu untukmu, karena harus mempersiapkan ritus keagamaan.”
Gambaran beragama yang sesungguhnya adalah apa yang dimiliki oleh orang Samaria ini. Ada kemungkinan bahwa ia datang dari Yerusalem, artinya ia juga baru saja selesai melakukan ibadah dan sedang dalam perjalanan ke Yerikho. Jadi kemungkinan orang Samaria yang ditinggikan oleh Yesus ini adalah orang yang taat beribadah, juga orang yang mengenal Tuhan dengan baik.
Apa yang tidak ada pada orang Lewi dan si Imam? Alkitab mengatakan hal yang sangat sederhana, yaitu mereka tidak mempunyai belas kasihan. Agama seharusnya menggerakkan orang untuk lebih punya belas kasihan. Itulah hal yang paling mendasar di dalam agama. Kalau agama menjadikan orang makin lama makin tidak peduli dan tidak mau tahu dengan kesulitan orang lain, apakah ini agama yang diajarkan oleh Yesus Kristus? Atau ini justru agama yang palsu, agama ciptaan manusia, agama yang berusaha membenarkan dirinya sendiri?
Orang Samaria ini tergerak oleh belas kasihan waktu menyaksikan penderitaan sesamanya. Dia bukan hanya tergerak, melainkan juga melakukan tindakan konkret. Ia membalut luka-luka si korban dan menanggung beban itu. Ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kalimat minyak dan anggur dalam PL itu adalah lambang sukacita yang biasa digunakan ketika orang melakukan perayaan. Dalam kaitan dengan teks ini, bagi orang Samaria, hal melakukan pekerjaan merawat dan menggendong merupakan suatu perayaan. Ia melakukannya dengan kerelaan, bahkan dengan sukacita. Kelimpahan sukacita itu tercermin dari kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia tidak berhenti merawat si korban dan membawanya ke penginapan saja, tapi kalau masih ada kekurangan biaya yang harus ditanggungnya setelah menitipkan korban itu di penginapan, ia bersedia menutup seluruh biaya perawatan tersebut.
Yesus menggambarkan gaya hidup orang Samaria dalam perumpaan ini sebagai gambaran orang yang dilimpahi sukacita dalam pelayanan. Dalam menanggung beban, ia tidak merasa menanggung beban berat, tapi beban yang menggembirakan. Sebab itu orang Samaria ini tidak hitung-hitungan. Ia memberikan hal terbaik yang bisa diberikannya untuk menolong sesamanya. Ia bukan orang yang selalu berada di Bait Suci. Ia bukan orang Yerusalem, juga bukan orang Yahudi, tapi justru dialah yang mengerti apa artinya hidup di dalam Kerajaan Allah.
Setelah menceritakan bagian ini, Yesus menantang para ahli Taurat, “Siapa di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun?” Coba kita perhatikan bagian ini. Ada pembalikan dari pertanyaan Yesus.
Kita kembali ke pertanyaan ahli Taurat tadi, “Siapakah sesamaku manusia?” Ia menempatkan dirinya sebagai subjek dan orang yang membutuhkan pertolongan sebagai objek. Tipe orang yang seperti ini akan selalu bertanya, “Sekarang giliran siapa yang akan kita bantu? Atau sekarang siapakah objek yang membutuhkan bantuan?” Namun Yesus mengingatkan lagi bahwa sesama manusia itu bukan objek. Ia mau menunjukkan bahwa sesama itu bukan orang yang dirampok dan membutuhkan pertolongan orang lain. Namun pertanyaan Yesus adalah, “Siapakah di antara ketiga orang itu adalah sesama bagi orang yang dirampok itu?”
Pertanyaannya bukan siapa sesama yang bisa menjadi objek cinta kasih saya, melainkan apakah saya sudah menjadi sesama bagi sesama saya? Apakah saya ini adalah sesama bagi orang yang menderita? Orang yang menempatkan orang lain sebagai objek cenderung sombong karena merasa dirinya dibutuhkan. Biasanya orang-orang dari kalangan atas membantu atau memberi, tapi dengan spirit merasa lebih mampu, lebih diberkati. Mereka cenderung menawarkan sesuatu karena melihat orang lain rendah dan perlu mendapatkan belas kasihan.
Mengasihani atau Tergerak oleh Belas Kasihan
Menarik bahwa di dalam teks kita, orang Samaria ini tidak sedang berbelas kasihan atau mengasihani, tapi tergerak oleh belas kasihan. Apa bedanya orang yang tergerak oleh belas kasihan dan orang yang mengasihani? Teks kita menggunakan istilah ‘tergerak oleh belas kasihan’, karena istilah berbelas kasihan punya objek, sedangkan kata tergerak oleh belas kasih itu tidak mempunyai objek. Tergerak oleh apa? Tergerak oleh penderitaan orang yang begitu berat, ketika ia dirampok dan dipukuli sampai hampir mati. Maka bertanyalah Yesus, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (ayat 36)
Penderitaan selalu ada di sekitar kita. Karena itu kita tidak perlu bertanya, siapakah orang menderita yang ingin saya tolong? Atau pelayanan apakah yang bisa saya lakukan? Ini semua pertanyaan omong kosong, semua ini hanya membuktikan bahwa saya tidak mempunyai kepekaan terhadap kebutuhan yang ada di luar.
Yang jadi masalah dalam kehidupan kita, kita sama sekali tidak peka. Bukan cuma tidak peka, melainkan kalau bisa kita menghindar karena takut terganggu. Kita lewat jalan lain saja, supaya tidak melihat kejadian itu. Itulah persoalan dalam kehidupan kita, di mana kita tidak bersedia menjadi sesama yang tergerak oleh belas kasihan.
Kita dipanggil ke jalan salib sama seperti yang telah Yesus lakukan. Yesus menggendong Anda dan saya seperti orang yang dirampok ini. Kita seperti orang yang ada dalam keadaan sekarat dan mati karena dosa-dosa yang menguasai kehidupan kita. Lalu Yesus menjunjung, menggendong dan membalut kita, memberikan minyak dan anggur kepada kita, dan membayar semua utang kita. Bahkan Dia sudah membayar utang dosa yang belum kita lakukan. Dan sekarang kita dipanggil ke jalan salib yang sama.
Siapa di antara ketiga orang ini yang adalah sesama? Dialah orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepada si korban. Secara teologis jawaban itu sudah benar, dan Yesus mengulanginya lagi dengan berkata, “Pergilah dan perbuatlah demikian.” Inilah suatu pengutusan dan sudah tidak perlu diskusi teologis lagi, juga tidak perlu mempertanyakan lagi karena kita sudah mengetahuinya, Sayang, pengetahuan itu sering kali hanya ada di pikiran. Yang menjadi masalah adalah: kita tidak rela diutus pergi dan tidak rela melakukannya.
Nilai ideal yang sering kali didengungkan di era pascamodern saat ini cenderung menekankan kebebasan (liberty) dan kesetaraan (egality), yang jika diperhatikan ternyata terlalu berpusat pada diri sendiri. Imam dan orang Lewi dalam bacaan kita ini tidak bersalah secara hukum, tapi tidak mempunyai rasa persaudaraan dengan yang lain. Sementara dalam diri orang Samaria, kita mendapat gambaran dari seseorang yang murah hati, sebagai orang yang memusatkan diri pada persaudaraan (fraternity).
Tanpa persaudaraan, kebebasan, dan kesetaraan, tidak akan ada jaminan perlindungan terhadap martabat pribadi seseorang. Hukum yang adil juga ternyata belum cukup, karena masih dibutuhkan kasih persaudaraan, karakter “murah hati” itu yang melampaui tuntutan hukum. Seperti contoh yang digambarkan Yesus dalam perumpaan ini, tindakan si Imam dan orang Lewi itu secara hukum sama sekali tidak dapat disalahkan. Mereka bebas mengambil sikap dan tindakan terhadap suatu peristiwa dalam kehidupan, tapi tanpa ada sikap persaudaraan—’welas asih’—maka kebebasan dan kesetaraan tidak akan tumbuh dengan baik, apalagi membuahkan sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan ini.
Orang Samaria yang baik hati itu memberikan gambaran tentang kesanggupan untuk melakukan sesuatu, semata-mata atau melulu karena hal tersebut baik dalam dirinya sendiri, tanpa memedulikan keuntungan pribadi atau balas jasa.
Ketika masyarakat makin global, mereka membuat kita menjadi tetangga, tetapi tidak membuat kita menjadi saudara satu sama lain.
Ketika pandemi COVID-19 mengepung kehidupan sesama dengan memunculkan berbagai masalah ekonomi, politik, pendidikan, budaya, yang muaranya pada situasi kemiskinan, kecemasan, ketidakpedulian, kesendirian, kecurigaan, keterpisahan, keegoisan, pertanyaan bagi kita semua adalah, “Bersediakah kita—dalam situasi seperti ini—menjadi sesama bagi orang-orang di sekitar kita?”
Inilah tugas pengutusan yang penting bagi gereja Tuhan di tengah dunia, yang diutus untuk menjadi sesama bagi sesamanya.
Tidak akan ada perdamaian kecuali kita mengulurkan tangan kepada sesama. Tidak akan ada kedamaian selama kita melihat orang lain sebagai mereka, dan bukan kita.
Apakah Tuhan adalah Tuhan Kehidupan? Jika memang benar demikian, maka kita tidak dibenarkan membunuh saudara kita atas nama-Nya. Jika Tuhan adalah Tuhan Perdamaian, maka kita tidak dibenarkan berperang atas nama-Nya. Jika Tuhan adalah Tuhan Pengasih, maka kita tidak dibenarkan membenci saudari-saudara kita.
Mementingkan diri sendiri dan keinginan untuk selalu bersaing, berlawanan dengan semangat kebersamaan. Karena itu usahakanlah untuk selalu menjadikan orang lain sebagai saudara, sebagai keluarga, karena sesungguhnya kita memang satu keluarga.
Maukah kita menjadi sesama bagi sesama kita?
Ada kalimat dalam bahasa Jerman yang selalu saya ingat ketika berhadapan dengan sesama saya.“Wenn ich in deine Stelle wuerde, wuerde ich…?” (jika aku di posisimu, maka aku akan melakukan…?) – kalimat ini mengajak kita untuk merenung, apa yang akan kita lakukan jika kita dalam situasi dan posisi seperti dia? Tergerakkah kita untuk melakukan sesuatu? Semoga… ***
|PDT. EM. TUMPAL TOBING
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.