Saya mendapat dua ucapan dalam satu hari dari seseorang yang pesannya adalah mengajak saya untuk rendah hati. Kalau di Alkitab, sebuah kata yang diulang dua kali atau lebih, mengandung pesan penting. Itu sebabnya saya merasa perlu belajar lagi tentang kerendahan hati. Sebuah lagu country jadul (zaman dulu) berkata, “It’s hard to be humble, when you’re perfect in every way.” Masalahnya, banyak orang tidak sempurna, kok tetap susah ya menjadi orang yang rendah hati?
Rupanya menurut Benjamin Franklin, pada kenyataannya setiap orang memiliki passion atau keinginan besar dalam dirinya untuk tidak mau ditaklukan atau dikuasai orang lain. Jangankan mengajarkan anak-anak kita untuk rendah hati, kita sendiri pun harus berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mengikuti kelas dengan Tuhan sendiri sebagai gurunya, agar semakin rendah hati.
KERENDAHAN HATI SEORANG MARIA
Saya belajar kerendahan hati melalui seorang Maria (baca: wanita). Sesungguhnya ada 3 Maria dalam hidup saya. Pertama, Maria itu adalah guru saya. Wanita berkerudung itu sangat sederhana. Pakaian dan asesorisnya sungguh menunjukkan bahwa dia seorang guru yang tidak mementingkan fashion yang sedang trend di kalangan wanita di zamannya. Namun ia tetap berpenampilan rapi dan bersih. Mulanya saya tidak yakin apakah ia fasih dalam mengajar sebab ia terlihat irit dalam berkata-kata. Saya berdoa kepada Tuhan, “Tuhan jika memang dia guru yang tepat bagi saya, berikanlah keluasan hati kepada saya untuk menerimanya.” Satu jam belum berlalu, Maria telah memunculkan kelebihan yang ada pada dirinya. Ternyata ia sangat fasih dan kompeten di bidangnya. Kertas dan buku lusuh yang dibawanya seakan-akan mengecoh murid mengenai kualitas yang sesungguhnya ada pada dirinya. “Terima kasih Bu Maria!” seru saya setiap kali selesai diajarnya.
Tokoh Maria yang paling penting untuk diceritakan sesungguhnya adalah Maria yang dipilih oleh Allah untuk menjadi ibu dari Tuhan kita. Maria hidup di tengah masyarakat yang menganjurkan pembedaan penghargaan antara pria dan wanita. Maria hidup di tengah adanya hirarki jabatan rohani yang meninggikan para pejabat Bait Allah sehingga orang Yahudi biasa, apalagi wanita dan anak-anak, dianggap tidak penting di kacamata zamannya. Tentu saja individualisme sangatlah menonjol, diiringi dengan penghakiman yang sering kali tidak adil bagi mereka yang mengalami kesulitan seperti Maria. Bayangkan saja, Maria harus berhadapan dengan ancaman lemparan batu sampai mati, jika ia ketahuan sudah mengandung seorang bayi. Bagaimana mungkin ia menjelaskan kepada seluruh masyarakat Yahudi bahwa bayi dalam rahimnya berasal dari Roh Kudus? Ia dapat ditertawakan secara sinis oleh semua orang.
Sebetulnya, apa yang dimaksud dengan rendah hati? Sesungguhnya seorang yang rendah hati akan menunjukkannya melalui 3 hal, yaitu:
1. Behaviour (reaksi Maria)
Reaksi Maria saat malaikat Tuhan menghampirinya adalah takut. Ia takut karena yang Maha Kudus datang menjumpainya. Namun setelah itu Maria mengatakan sebuah respons yang menunjukkan kualitas pendirian atas imannya. Ia segera bertanya, “Bagaimana hal itu terjadi sedangkan aku belum bersuami?” Terjemahan lainnya,
- a. Alkitab NIV menerjemahkan, “… I’m a virgin!” (Saya masih perawan). Secara logika, tentu saja hal itu tidak mungkin. Tetapi ia masih tetap menunggu penjelasan malaikat dan tidak segera memberi penilaian bahkan penghakiman terhadap berita yang tampaknya buruk itu.
- b. Alkitab CEV menerjemahkan, “…I’m not married!” (Saya belum menikah). Secara tradisi, Maria tahu bahwa pernikahan merupakan pintu gerbang utama yang tidak boleh dilangkahi saat seorang memiliki anak. Tetapi toh Maria tetap menanyakan kemungkinannya dengan pertanyaan, “Bagaimana mungkin…?”
- c. Alkitab LAI menerjemahkan, “…aku belum bersuami!” Secara status, walaupun Maria sudah dianggap sebagai istri Yusuf–sehingga Yusuf memiliki rencana untuk menceraikan istrinya itu setelah mengetahui berita ini–tentu saja hal itu tidak mungkin. Tidak mungkin dapat juga berarti sebuah pertimbangan, apakah ia dapat melahirkan seorang anak Allah tanpa mengalami penghakiman massa?
Dari ketiga terjemahan di atas, Maria sesungguhnya hendak menunjukkan bahwa ia memiliki keterbatasan dan ia tidak mau menutupi keterbatasannya itu. Ia tidak kuasa menghadapi logikanya yang terbatas, tradisinya yang sangat kuat, apalagi menemukan jalan keluar untuk ketidakmungkinan itu.
Itulah ciri seorang yang rendah hati. Seorang yang rendah hati tidak menutupi keterbatasannya, tetapi juga tidak merendahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya. Ia menunjukkan reaksi dengan membuka pintu bagi sebuah penjelasan dan pembelajaran.
2. Spirit (jiwa atau semangat Maria)
Maria memiliki semangat atau kesungguhan dalam keadaan sulit, untuk bergantung kepada Tuhan saja. Pikiran dan perasaannya ditaklukkan di bawah kuasa Tuhan yang melampaui akal pikirannya. Tidak heran jika Maria dapat mengatakan, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan!” ketika Tuhan memercayakan panggilan mulia itu kepadanya.
Ada banyak orang percaya, yang melihat sebuah penugasan atau pelayanan hanya dari sisi perintah atau kewajiban. Itu sebabnya respons yang diberikannya bukanlah sikap yang rendah hati. Ada yang mengatakan, “Saya tidak punya waktu!” atau “Saya tidak bisa!” Tampaknya respons itu merupakan sikap yang rendah hati, tetapi sebenarnya semangat atau kesungguhan apa yang dimilikinya? Kesungguhan untuk menghamba kepada Tuhan atau kesungguhan untuk menghamba kepada yang lain?
Maria memiliki kesungguhan untuk mengikut Tuhan, sehingga ketika ada penugasan baru yang lebih serius, lebih menantang atau bahkan lebih berbahaya bagi dirinya, ia segera menundukkan hatinya dengan keyakinan bahwa Tuhanlah yang memberi dan akan menolongnya dalam menjalankan panggilan itu.
3. Attitude (pendirian atau sikap Maria)
Tidak semua orang yang menyebut dirinya Kristen memiliki pendirian yang teguh atas imannya. Pendirian yang teguh hanyalah dimiliki oleh orang-orang yang telah memiliki pengenalan akan Tuhan. Pengenalan akan Tuhan hanya dapat dialami oleh mereka yang telah mengalami perjumpaan dengan-Nya.
Maria telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan (malaikat Tuhan). Perjumpaan itu tidak sama seperti seorang bertemu pendetanya di mal atau saat ia mengobrol santai di gereja dengan seorang Kristen. Perjumpaan itu adalah sebuah pertemuan antara hati dan pikiran yang terpukau akan kuasa dan damai sejahtera ilahi. Sebuah pengalaman iman yang mengagumkan dari seorang yang merasa tidak layak mengalaminya karena terlalu ajaib dan indah. Sebuah pertemuan yang direncanakan karena adanya hal baik yang akan diberikan dan diberitakan.
Pengenalan Maria akan Tuhan dan perjumpaannya yang menakjubkan itu, menguatkan dan mengokohkannya pendiriannya. Sekalipun Yusuf memutuskan suatu hal yang akan merugikannya, sekalipun masyarakat akan menghakiminya, sekalipun orangtuanya tidak dapat memercayai kisah perjumpaan ini, ia tetap akan menjalani panggilan-Nya. Betapa bahagianya menjadi Maria! Diberkatilah Maria!
Maria yang ketiga adalah ibu saya sendiri. Beliau menjadi sosok yang mengingatkan saya untuk selalu rendah hati. Dan itu lebih dari cukup.
MENGAJARKAN KERENDAHAN HATI KEPADA ANAK
Cara yang sangat efektif untuk mengajarkan sesuatu menurut Alkitab adalah dengan “berulang-ulang.” Mari para orangtua, ajarkanlah anak-anak kita untuk memiliki sikap rendah hati, respons yang rendah hati, dan pendirian dalam kerendahan hati. Itu berarti ada 3 hal yang dapat kita ajarkan berulang-ulang:
1. Respons Rendah Hati
Respons sangat berkaitan dengan perkataan, tetapi juga tindakan. Salah satu perkataan yang sering kali mengganggu para orangtua zaman ini adalah ketika anak kita memanggil orang yang lebih tua dari mereka dengan kata “kalian.” Sebagian anak juga tidak mengerti apa yang harus dikatakan saat orang lain menyapa mereka. Mereka malah memberi respons diam seribu bahasa. Dan dengan diamnya itu, mereka dianggap tidak menghargai orang lain.
Respons rendah hati yang dapat kita ajarkan kepada anak dapat kita latih dengan cara:
- Mengajarkan anak untuk tersenyum saat seorang menyapanya dan menjawab saat ditanya oleh orang-orang yang menyapanya.
- Membiasakan mereka mengatakan three magic words: “Terima kasih“, “Maaf” dan “Tolong.”
2. Kesungguhan dan Semangat Rendah Hati
Ini bicara tentang motivasi. Kalau seorang anak sudah termotivasi untuk rendah hati, barulah ia dapat dibentuk dan diajar untuk menjadi anak yang rendah hati. Itu berarti, anak-anak kita perlu tahu betapa berharganya sebuah kerendahan hati. Misalnya,
- Kerendahan hati adalah jendela untuk menyaksikan kebesaran Tuhan dalam hidup. Ketika saya melewati jalan sekitar Cinere–Lebak Bulus, saya melihat beberapa orang yang tidak bisa melihat, menjual kerupuk yang rasanya enak sekali. Yang membuat saya tidak habis berpikir, bagaimana mungkin mereka dapat membedakan uang yang diberikan ke tangan mereka. Bagaimana mereka tahu bahwa si pembeli menyerahkan uang Rp 2000,- Rp 5000,- atau Rp 20.000,-? Di situ saya kira, kerendahan hati mereka untuk belajar dari keterbatasan mereka, membuat mereka dapat melakukan sesuatu yang melampaui akal manusia.
- Kerendahan hati adalah juga kunci kebahagiaan. Dalam Injil dikatakan, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Allah.” Miskin di sini tidak melulu harus ditafsirkan sebagai orang yang tidak memiliki materi, tetapi juga orang yang merasa dirinya memiliki keterbatasan. Sebab dengan menyadari keterbatasan kita, bukan berarti kita tidak dapat bermimpi atau memiliki cita-cita. Nick Fujicic mengalami keterbatasan karena tidak memiliki dua tangan dan dua kaki. Saat ia mengakuinya dan mulai bangkit dari kesedihan serta penyesalannya, ia dapat melakukan hal-hal menakjubkan. Bahkan dalam bukunya ia mengatakan, “Tanpa lengan dan tungkai aku bisa menaklukan dunia.” Ia bukan hendak menguasai dunia tetapi ia belajar untuk menikmati dunia sebagai ciptaan Tuhan yang indah, dalam keterbatasannya. Anak-anak kita juga perlu belajar sejak kecil bahwa dalam keterbatasan mereka, mereka dapat melihat Tuhan bekerja di dalam hidup mereka. Dan saat Tuhan bekerja itulah, bahagia sejati dapat mereka alami.
3. Pendirian dan Sikap Rendah Hati
Ada tiga pendirian yang dapat kita ajarkan kepada anak-anak kita sehingga mereka diarahkan untuk memiliki sikap rendah hati:
- Setiap talenta yang anak kita miliki berasal dari Tuhan. Ada lagu anak yang mengajarkan sikap yang benar saat dipuji. Katanya, “Kamu pandai, ah masa ya. Kamu, cerdas, ya dari Tuhan!” Jika setiap anak sejak kecil setiap kali dipuji menjawab dengan mengatakan, “Terima kasih, itu dari Tuhan!” Maka dapat dibayangkan jika mereka menjadi dewasa, tidak ada seorangpun yang merendahkan orang lain karena ia memiliki kelebihan yang berbeda dari lainnya.
- Semakin rendah hati semakin kaya dalam relasi. Seorang yang tidak rendah hati memiliki ketidakamanan di dalam dirinya (insecure – takut. Ia takut kalau-kalau orang tidak menghargainya, takut kalau-kalau ia direndahkan orang lain atau dijatuhkan orang lain, takut kalau-kalau ia dicela di depan orang). Itu sebabnya langkah pertama adalah membuat anak-anak kita secure (aman dan nyaman) dengan orangtua mereka. Andi dicela oleh temannya, yang mengatakan bahwa ia buruk. Tapi ia menyanggah, “Kata Mama dan Papaku, aku tidak buruk!” dan kembali bermain dengan teman-temannya. Sementara di tempat yang lain, Angie justru mogok sekolah karena tidak diajak bermain oleh seorang teman yang cukup populer di kalangan anak-anak seangkatannya. Rasa tidak nyaman di sekolah rupanya membuat Angie tidak mau lagi berada di sana. Bagaimana kerendahan hati dapat diajarkan melalui hal ini? Hal kunci adalah anak-anak kita yang mengalami hal serupa perlu mencapai suatu kepuasan dalam mendiskusikan masalah-masalah tersebut sehingga mereka mau memegang sikap atau pendirian orangtua mereka. Sehingga saat kembali ke masyarakat (maksudnya kembali ke teman-teman mereka), mereka siap menghadapi teman-teman mereka dengan dasar nilai yang ditanam oleh orangtua mereka.
- Menghargai orang lain adalah sikap rendah hati. Seperti halnya kita mengapresiasi talenta yang Tuhan berikan kepada kita, kitapun perlu mengapresiasi talenta yang dimiliki oleh orang lain di sekitar kita. Saat kita dapat membandingkan bahwa pemberian Tuhan kepada orang lain sama berkualitasnya dengan apa yang Tuhan berikan kepada kita, maka kita sedang belajar untuk rendah hati. Rendah hati berarti mengakui bahwa semua orang diberi anugerah oleh Tuhan dengan talenta yang berbeda-beda dan sama berkualitasnya dengan kita.
- Mengakui keterbatasan kita tanpa melecehkannya. Ada orang-orang yang sangat benci dengan keterbatasan mereka dan mencoba menutupinya dengan berbagai cara. Keterbatasan tentunya bukanlah sebuah tanda bahwa kita harus berdiam diri menanti nasib yang akan terjadi, tetapi bukan juga sebuah titik untuk memacu kita mengejar ambisi. Keterbatasan mengingatkan kita untuk mau belajar, belajar dan belajar sampai Tuhan memanggil kita.
- e. Kerendahan hati adalah melihat Tuhan yang besar dan kita yang kecil. Tuhan yang tuan kita yang hamba. Tuhan yang empunya, kita yang dititipkan dan dipercaya. Sehingga sebanyak apapun piala anak-anak kita, setinggi apapun nilai mereka dan seluas apapun ketenaran mereka, mereka tetap melihat bahwa pengalaman itu adalah cara yang Tuhan beri untuk menyaksikan Tuhan yang besar, Tuhan yang adalah tuannya dan Tuhan yang empunya segalanya.
Tuhan memberkati kita!
Pdt. Riani Josaphine
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.