MENCINTA DENGAN SEDERHANA

Belum ada komentar 612 Views

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

– Sapardi Djoko Damono

Puisi ini adalah salah satu karya yang ainat terkenal dari seorang penyair, Sapardi Djoko Damono pada tahun 1989. Bukan saja pada kalangan pecinta sastra, tetapi juga pada kalangan urnum. Terlebih, ketika Ari dan Reda membuat musikalisasi puisi ini dengan begitu indahnya. Cobalah lihat di YouTube dengan kata kunci “Ari Reda – Aku Ingin”, saya punya keyakinan, bahwa Saudara tidak akan merasa cukup men- dengarkannya satu kali saja, sungguh indah. Konsep cinta yang dibawakan dalam puisi ini terkesan sungguh menda- lam, pun penyair menggunakan kata “sederhana”.

Dalam sebuah wawancara dengan Najwa Shihab, Sapardi duduk bersama Joko Pinurbo yang juga merupakan seorang penyair terkenal di negeri ini. Najwa bertanya, “Seperti apa mencinta dengan sederhana?” Dengan lugas, Joko menga- takan, “Itu puisi yang paling tidak sederhana. Mencintai dengan sederhana itu, mencinta yang paling tidak sederhana, paling sulit.” Bahkan Joko menyambung, “Sesuatu yang ditulis Pak Sapardi itu, sesuatu yang mustahil. Sulit mencintai dengan apa adanya.”

Tentu, puisi hadir dan memberi kebebasan kepada siapapun untuk memaknainya. Dari satu puisi sederhana ini, mungkin ada 101, bahkan 1001 pemaknaan terha- dapnya. Salah satu pemaknaan yang dapat kita rasakan melalui puisi ini adalah makna kesederhanaan dan ketulusan cinta yang apa adanya.

Mari kita lihat bait yang pertama:

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Penyair ingin menyampaikan ketulusan cintanya, dengan menggunakan metafora keseharian, kayu-api-abu. Kayu yang berelasi dengan api, mengubahnya men- jadi abu. Bayangkan latar waktu pada saat itu, kala memasak dengan kayu bakar adalah bagian dalam keseharian masyarakat kita. Kayu itu memberi manfaat ketika ia dan api begitu intim berelasi. Belum sempat sang kayu mengungkapkan kata pada api, dan ia sudah menjadi abu. Cinta sederhana yang ingin disampaikan penyair adalah cinta yang tulus, apa adanya, mendalam.

Bait kedua seolah mengalami eskalasi makna. Jika di bait pertama penyair menggunakan istilah “kata yang tak sempat diucapkan,” di bait kedua ia menggunakan istilah “isyarat yang tak sempat disampaikan”. Kedipan mata adalah isyarat, jentik jari adalah isyarat, pelukan adalah isyarat, dan bahkan isyarat itu belum sempat tersampaikan oleh awan kepada hujan, yang kemudian menjadi- kannya tiada. Bahkan isyarat pun, belum sempat disampaikan. Lebih dari itu, jika di bait pertama masih ada “abu” yang tersisa, di bait kedua, tak lagi ada sisa, tiada. Sungguh menggambarkan cinta yang tulus nan sederhana. Namun sung- guh, cinta yang seperti ini tak sesederhana pelafalannya. Siapa yang mampu mencin- ta dengan tulus dan apa adanya?

Sulit bagi manusia untuk dapat mencinta dengan tulus dan apa adanya. Jangankan mencinta, melakukan kebaikan saja, terkadang ada motivasi di baliknya.

Sebetulnya, sebagai orang Kristen, kita sungguh telah menyaksikan dan mera- sakan cinta yang sederhana, yang tulus, dan apa adanya. Allah menunjukkan itu kepada kita. Mengapa Yesus turun dari sorga, masuk ke dunia yang gelap penuh dosa dan cela? Karena kasih-Nya. Mengapa Yesus mau hadir dalam sosok bayi ringkih yang harus menunggu 9 bulan dalam kandungan Maria, harus lahir dengan cara yang biasa, harus tumbuh seperti anak pada umumnya, dan memulai karya-Nya di usia 30 tahun? Karena kasih-Nya. IA bisa saja hadir dalam sosok megah, kuat, perkasa, berkuasa, agar IA mudah memerintah sesuai dengan keinginan-Nya. Tetapi bukan itu yang dilakukan-Nya. IA mau hadir dan merasa apa yang manusia rasa. Mengapa IA mau melakukannya? Karena kasih-Nya yang sederhana, tulus, apa adanya.

Mengapa Sang Maha itu mau berdoa dan bergumul dalam taman kala maut menghampiri-Nya? Mengapa IA mau menerima cawan pahit di hadapan-Nya? Sederhana, karena kasih-Nya. Mengapa IA mau menderita, didera, dipermalukan, dimahkotai duri, mati dengan cara yang hina? Sederhana, karena kasih-Nya.

Lebih dari itu, mengapa IA mau melakukan itu semua, bagi umat-Nya yang jelas-jelas menyakiti hati-Nya? Mengapa IA mau mencari satu domba yang tersesat dan sejenak meninggalkan sembilan puluh sembilan lainnya? Sederhana, karena kasih-Nya. Mengapa IA tetap mau memberi kekuatan kepada umat-Nya yang kadang sok merasa kuat dan melupa- kan-Nya? Karena kasih-Nya. Mengapa IA mau mengampuni dosa umat-Nya, yang jelas-jelas sering melakukan dosa yang sama? Sekali lagi, sederhana, karena kasih-Nya.

Allah tulus mengasihi umat-Nya, meski umat-Nya kerap kali tak tulus meng- asihi-Nya. Cinta-Nya sederhana, bukan? Ya; tulus, sederhana, apa adanya. Namun cinta yang sederhana itu, kerap kali tak kita hiraukan. Sering, kita mencintai dia dengan maksud di baliknya. Mencintai Allah agar hidup diberkati. Mencintai Allah agar kesehatan diberi. Mencintai Allah agar rejeki dimudahkan. Mencintai Allah agar pekerjaan dilancarkan. Men- cintai Allah, dengan 1001 harapan mendapat balasan lainnya.

Entahlah, seolah itu sudah menjadi natur dan tabiat manusia. Tak mudah bagi kita untuk mencintai Dia tanpa harap di baliknya. Jika Saudara tak percaya, renungkanlah beberapa pertanyaan ini:

Masihkah Saudara mencintai Dia jika seluruh keluarga Saudara dipanggil-Nya?

Masihkah Saudara mencintai Dia jika seluruh harta Saudara lenyap?

Masihkah Saudara mencintai Dia jika penyakit Saudara tak kunjung sembuh?

Masihkah Saudara mencintai Dia jika tak ada lagi atap bagi Saudara berlindung di siang hari, dan berteduh di kala hujan?

Tidakkah kita lahir di tengah dunia ini tanpa apapun yang melekat pada diri kita? Bukankah semua ini pemberian dan rahmat dari-Nya? Lalu mengapa kita mengklaim bahwa kita layak menerima segala yang kita miliki saat ini, dan kecewa jika IA kembali mengambilnya?

Jika kita kehilangan cinta pada-Nya kala IA mengambil segala yang berharga dalam hidup kita, mungkin kita belum benar-benar mencintai-Nya dengan sederhana, tulus, dan apa adanya.

Tuhan memampukan kita memeriksa hati dan ketulusan kita dalam mencintai-Nya.*

Pdt. Alex Sardo Cesario Saragih

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...
  • Persahabatan
    Setiap kali saya membaca kata “persahabatan”, kata itu memberikan rasa hangat di hati saya. Kata itu membawa ingatan saya...