Efek Pandemi COVID-19
Tanpa terasa selama masa pandemi ini, kita sudah melalui berbagai bentuk gelombang COVID dalam wajahnya yang berbeda dalam kurun waktu dua tahun (Maret 2020-Februari 2022). Mulai dari Jenis Beta sampai yang terbaru IHU. Ada banyak perubahan terjadi, baik dalam skala internasional, nasional, bahkan lingkup masyarakat terkecil sekalipun, keluarga.
Dari berbagai jurnal, informasi, dan berita kita melihat bahwa pengaruh pandemi ini sangat luas dalam kehidupan kita. Ada banyak kecemasan (meliputi 73% masyarakat dunia) yang timbul semasa pandemi, terutama takut tertular COVID.
Jika varian awal COVID bisa dideteksi melalui gejala yang dirasakan, seperti sakit tenggorokan, demam, diare, batuk, kelelahan, kehilangan rasa atau bau, maka varian barunya lebih sulit dikenali, bahkan tanpa gejala, tiba-tiba sudah tertular. Dengan adanya penggolongan orang tanpa gejala, menjadi lebih sulit untuk mengetahui siapa yang sebenarnya telah terpapar. Jika tidak berhati hati, situasi ini dapat menyeret pada keputusasaan dan jebakan gelombang negatif. Ada banyak potensi yang bisa menyeret ke arah tersebut.
Menurut berita di jurnal kesehatan terdapat sekitar 64% orang yang mengalami depresi karena kesepian, pembatasan, kehilangan, maupun tekanan kendali. Ada banyak rencana yang porak-poranda karena menjadi tidak terlalu diyakini lagi bila dikaitkan dengan ketidakpastian kondisi yang ada. Hampir semua berada di luar kontrol. Demikian juga menghadapi tantangan ekonomi. Ekonomi masyarakat terganggu, ditambah ribuan karyawan harus kena PHK, banyak orang merasa tidak berdaya. Pola tidur dan perilaku berubah. Rasa kehilangan banyak bermunculan. Kecemasan, ketakutan, kehilangan, ketidakpastian, ketidakberdayaan menjadikan orang lebih sensitif dan mudah marah. Stres dalam pekerjaan, stres dalam belajar, bahkan stres karena harus di rumah terus.
Di awal pandemi, semua orang diajak melalui zona-zona ketakutan karena ketidakmengertian, ketidakpahaman, serta ketidakmampuan bersikap, sehingga panik dan marah menjadi respons yang sangat biasa. Namun seiring berjalannya waktu, orang sampai pada zona belajar. Belajar memberi respons yang benar, belajar untuk melihat COVID tidak sekadar sebagai sebuah ancaman yang menghentikan roda kehidupan, belajar bahwa masih ada banyak hal yang bisa dibuat di tengahnya. Yang bisa melalui zona belajar dengan baik akan mampu memasuki zona bertumbuh. Di dalamnya orang tidak saja menjadi sadar dan tahu bagaimana menjaga pola hidup di masa COVID, tetapi bahkan mampu menjaga kesehatan pikiran dan mentalnya, itu adalah hal yang paling penting. Namun demikian, tidaklah mudah untuk terus mampu bertahan dalam zona ini. Selalu ada saja hal-hal dan kecenderungan yang menarik untuk kembali ke zona sebelumnya, atau bahkan ke zona ketakutan, titik awal dari ketiga zona tersebut.
Dua Pilihan Respons
Apa yang membuat demikian? Tentu banyak faktor penyebabnya. Namun dapat dikatakan bahwa dalam setiap peristiwa, selalu ada dua pilihan yang tersaji untuk meresponsnya, secara positif atau secara negatif. Setiap pilihan tentunya memiliki risiko dan salah satunya dapat berakibat fatal.
Cognitive Behavior Teraphy Diagram
Melalui diagram Cognitive Behavior Teraphy yang digagas oleh David Westbrook, Helen Kennerley, dan Joan Kirk, ditunjukkan hubungan yang erat antara pikiran, perasaan, sensasi fisik, dan tindakan yang mengikutinya. Bahwa pikiranlah hulu dari semua respons yang bisa dibedakan oleh seseorang, di mana pikiran akan memengaruhi perasaan yang akan mengakibatkan sensasi/rasa tertentu pada tubuh sehingga memengaruhi tindakan yang akan dilakukan.
Pikiran, baik yang positif maupun negatif, akan memengaruhi perasaan atau hati dan membawa suasana yang sesuai dengan apa yang dibangun oleh pikiran. Terbentuknya emosi/suasana perasaan itu akan memberikan pengaruh pada sensasi tubuh/ fisik yang jika terus diperkuat oleh suasana hati yang berkelanjutan, akan memberi penguatan pula pada rasa/ sensasi fisik pada tubuh. Hal itu kemudian secara otomatis— meskipun dalam beberapa kasus berjalan perlahan—mendorong dalam penentuan keputusan untuk bertindak. Mendikte tindakan. Tindakan ini akan memicu pemikiran berikutnya dan memulai siklus dari awal lagi.
Dalam upaya belajar untuk berpikir positif sangat penting memahami diagram di atas. Saat menghadapi peristiwa apa saja—entah karena pengaruh pendidikan, pengalaman dalam pergaulan/lingkungan, atau karena telah menjadi sebuah budaya di masyarakat—otak kita terbiasa merespons secara negatif. Meskipun terdengar sederhana, tetapi berpikir negatif sering kali merupakan kebiasaan yang kuat, dan menjadi sesuatu yang dianggap normal atau biasa. Ini bisa merupakan awal dari ‘lingkaran negatif’ yang berputar ke dalam suasana hati yang buruk sampai rasanya tidak ada jalan keluar. Seperti apa lingkaran ini?
Pemikiran Negatif
Ketika berhadapan dengan sebuah peristiwa dan direspons dengan pikiran negatif, hal tersebut tidak berhenti di situ saja. Membuat perasaan sekadar tidak senang, lalu selesai! Oooh Tidak!…. Ternyata respons itu tidak berdiri sendiri, ada reaksi ikutan yang akan meneruskan proses dalam menangkapnya secara emosi, merasakan secara fisik, dan mendorongnya untuk bertindak. Pikiran negatif yang timbul sebagai respons atas suatu peristiwa akan segera diikuti oleh perasaan negatif, sehingga tubuh juga memberikan respons negatif yang mendorong dilakukannya tindakan negatif.
Efek Pemikiran Negatif
Sebagai contoh, seseorang yang terpapar COVID dengan pikiran negatifnya akan menyimpulkan bahwa ia tidak akan sembuh, atau ia sekarat. Untuk selanjutnya akan timbul perasaan (emosi) kecewa, mengapa ia yang sudah rajin berdoa dan beribadah kok tidak dijaga oleh Tuhan. Tuhan membiarkannya terpapar COVID. Alih-alih mengikuti anjuran dokter untuk berobat, menjaga pola makan dan pola istirahat cukup; ia justru mulai berkeluh kesah. Berputar-putar dengan perasaan mengasihani diri, kecewa, sedih, marah, dan hitung hitungan dengan Tuhan. Tidak saja sampai di situ, apa pun yang dilihat membuatnya makin kecewa, makin sedih dan makin putus asa. Perasaan tadi mau tak mau akan memengaruhi sensasi atau yang dirasakan fisiknya, tubuhnya juga akan meresponsnya secara negatif. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja timbul rasa mual, pusing, lemas dan makin lama rasanya makin tidak bertenaga. Dan apa yang dilakukan selanjutnya dengan berbagai ketidaknyamanan yang dirasakan itu? Ia mulai memutuskan untuk ‘menarik diri,’ tidak mau berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Tidak mau meladeni telepon dari siapa pun meskipun dengan tujuan untuk memberikan pertolongan/ pengobatan. Tidak mau makan dan ‘berhenti melakukan yang menyenangkan’. Hal terakhir inilah yang sering menjadi penyebab yang memperparah sakitnya hingga mempercepat maut menjemputnya.
Jika hal itu yang terjadi, dan ia masih selamat, maka prosesnya tidak akan berhenti di situ saja. Ia akan mengulangi lingkaran itu dengan lebih parah dan memprihatinkan. Selanjutnya akan memunculkan pikiran baru yang lebih menyesatkan bahwa tidak ada yang mengasihinya atau memerhatikannya, bahkan keputusasaannya bisa mengantarnya berpikir bahwa semua sia-sia, ajalnya sudah dekat. Yang sudah terlanjur berada dalam kondisi seperti itu dan berpikir seperti itu, masih maukah diajak berpikir: masih ada hari esok?
Seperti yang telah disampaikan di atas, apabila kemampuan pikiran berpikir negatif itu tidak diwaspadai, dijaga, dan direm, maka ia akan mampu menyeret ke dalam jurang kehancuran.
Positive Thinking
Di kutub sebaliknya adalah positif thinking atau berpikir positif. Setiap pemikiran positif akan mendatangkan respons positif emosi, reaksi tubuh dan tindakan yang berkali lipat. Contoh pada peristiwa yang sama dengan di atas, saat terpapar COVID, hal terbaik yang terpikir saat itu adalah keyakinan bahwa cara pengobatan saat ini telah membuktikan bahwa mereka yang terinfeksi bisa disehatkan kembali, melalui upaya mengonsumsi secara teratur obat-obat yang disediakan, menjaga pola makan, mengatur pola tidur yang baik, dan beraktivitas yang menyehatkan. Hal itu akan menimbulkan semangat untuk bisa mengupayakan kesembuhan. Terlebih WA/telepon dari kerabat yang memberikan perhatian akan membuat diri makin termotivasi.
Peristiwanya dilihat sebagai satu hal baik yang harus dijalani, sehingga bisa ditemukan banyak alasan untuk bersyukur ketika bisa mendapatkan pengobatan, perhatian banyak orang yang mengasihi, pengalaman iman, dan penyertaan Tuhan. Dengan demikian emosi, reaksi tubuh maupun tindakan akan bekerja sama secara positif dan meningkatkan proses kesembuhan yang lebih cepat. Tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan setelah sembuh juga mampu bersaksi bagaimana baiknya Tuhan yang senantiasa memberikan penyertaan, penghiburan, dan pemeliharaan sepanjang diri terpapar COVID.
Kedua respons yang berbeda tadi secara nyata menghasilkan output yang berbeda pula. Positif thinking menghasilkan banyak sekali positive output, seperti: hal-hal baik, kesehatan, power, kebahagiaan, optimisme, keberhasilan, munculnya ide-ide, perubahan positif, keyakinan, dan pengalaman iman.
Jim Mackay – the though minded
Jim Mackey, remaja berusia empat belas tahun, adalah seorang anak laki laki yang menyenangkan dan pria sejati, salah satu dari orang-orang yang benar-benar berpikiran positif (though minded) di dunia ini. Dia adalah salah satu atlet terbaik dengan bakat alami. Namun di awal SMA, ia mulai pincang, karena diagnosis dokter yang mengatakan bahwa ia menderita kanker, sehingga ia harus menjalani operasi, dan kakinya diamputasi. Segera setelah keluar dari rumah sakit, ia pergi ke sekolah menengahnya dengan tongkat. Ia berbicara dengan riang dan penuh kelakar tentang bagaimana ia akan segera memiliki kaki kayu.
Saat musim sepak bola dimulai, Jim menghadap pelatih dan mengajukan permohonan untuk bisa menjadi salah satu asisten tim manajer. Selama berminggu-minggu ia muncul secara teratur untuk mengawal latihan, membawa peralatan dan memotivasi tim dengan keberaniannya yang menular dan berapi-api.
Suatu sore dia melewatkan latihan. Sang pelatih yang khawatir bahwa Jim kesulitan dana, melakukan pengecekan, dan ternyata Jim sedang berada di rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan lagi. Penjelasan hasil pemeriksaan mengatakan bahwa Jim menderita kanker paru-paru. “Jim akan mati, dalam waktu enam minggu,“ kata dokter. Orang tua Jim memutuskan untuk tidak memberi tahu anak itu tentang hal tersebut; mereka ingin ia hidup seperti biasa selama beberapa minggu terakhir.
Segera setelah itu Jim kembali berlatih lagi, dengan senyum lebarnya dan menawarkan antusiasme dan keberaniannya. Dengan inspirasinya, tim berlomba sepanjang musim tanpa terkalahkan, dan untuk merayakannya mereka memutuskan untuk mengadakan jamuan makan. Jim akan menerima tanda tangan kemenangan sepak bola dari setiap anggota tim. Namun, perayaan itu tidak sukses seperti yang seharusnya. Jim tidak ada di sana. Dia terlalu lemah untuk hadir.
Beberapa minggu kemudian, Jim kembali lagi, kali ini di pertandingan bola basket. Dia pucat, sangat pucat, tapi selain itu ia adalah Jim yang sama, tersenyum, tertawa, dan membuat lelucon. Setelah pertandingan, Jim pergi ke kantor pelatih. Seluruh tim sepak bola ada di sana. Pelatih memarahinya dengan lembut karena melewatkan jamuan makan. ‘Aku sedang diet, Pelatih,’ kata Jim dengan seringai yang menutupi rasa sakitnya. Salah satu anggota tim menghadiahkannya kemenangan sepak bola. “Kami memenangkannya karena kamu, Jim,” katanya. Jim mengucapkan terima kasih dengan tenang dan dengan air mata berlinang.
Pelatih, Jim, dan anak-anak lain berbicara tentang rencana untuk musim depan, dan kemudian tiba saatnya untuk pergi. Jim berbalik, dan di pintu ia menatap pelatih dengan tatapan datar dan mantap, lalu berkata, “Selamat tinggal, Pelatih.” Pelatih tergagap dan menyahut: “Engkau tidak bermaksud mengatakan ‘selamanya’ kan, Jim?” tanya pelatih. Mata Jim berbinar dan tatapannya yang mantap berubah menjadi melo, “Jangan khawatir, Pelatih… Aku sudah siap kok.“ Dan dengan itu ia pergi.
Dua hari kemudian, Jim meninggal. Jim sudah tahu selama ini tentang vonis kematiannya. Namun ia bisa menerimanya, karena ia seorang pemikir positif. Ia menjadikan fakta yang menyedihkan dan tragis ini sebagai pengalaman kreatif. Jim tahu bagaimana meraih iman dan menciptakan sesuatu yang hangat dan meneguhkan dari situasi yang paling buruk. Ia tidak membenamkan kepalanya di pasir; ia tahu betul apa yang akan terjadi padanya, tetapi ia memilih untuk tidak dikalahkan! Jim tidak pernah dikalahkan. Ia mengendalikan hidupnya dan menggunakannya untuk menanamkan keberanian, iman dan tawa, secara permanen ke dalam kehidupan dan pikiran orang-orang yang mengenalnya.
Bisakah Anda, dengan cara apa pun, mengatakan bahwa seseorang yang berhasil melakukan hal itu dengan ‘hidupnya telah gagal’? Itulah yang dimaksud dengan berpikir positif, pikiran yang teguh. Ia menolak untuk dikalahkan. Itu membuat sebagian besar dari apa yang harus ditangani dalam hidup terlaksana, dan sukses!
Tips Berpikir Positif
Pemikir positif tidak menolak atau menyangkal hal negatif, tetapi menolak untuk memikirkannya. Berpikir positif adalah bentuk pemikiran yang terbiasa mencari hasil terbaik dari kondisi terburuk (yang terlihat buruk). Emosi negatif menyeret kita ke bawah. Karenanya: challenge your negatif thinking!!! Jika ingin menerapkan pemikiran positif, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyingkirkan perasaan negatif, mengganti pikiran, sengaja mengisi pikiran dengan afirmasi positif dan mengenyahkan pikiran negatif. Mulailah berdoa dengan mengatakan kepada Tuhan, ”Saya percaya Engkau memiliki rencana untuk hidup saya, jadi pasti ada tujuan tertentu dalam peristiwa ini”. Alih-alih mencela nasib buruk saat itu, mintalah (dengan rendah hati) kepada Tuhan agar berkenan menunjukkan tujuan dari apa yang telah terjadi.
Pusatkan pikiran pada masa depan yang cerah. Selalu bertindak. Memilih menjadi orang positif thinking artinya memilih untuk memiliki kekuatan dan ketangguhan dan mengizinkan Allah membangun dirinya.
Bagaimana cara untuk tetap bisa dan mampu berpikiran positif? Latihan!!! Sama halnya dengan kebiasaan berpikir, pikiran harus dilatih untuk senantiasa berpikir positif. Perlu dicatat bahwa berpikir positif tidak akan berhasil kecuali jika kita percaya bahwa hal itu akan bekerja.
Berpikir dan Bertindak Kreatif
Dibutuhkan kreativitas untuk dapat memproduksi ide-ide dan aktivitas yang positif, bermanfaat, yang menghasilkan sukacita, kegembiraan, serta kebahagiaan buat diri sendiri dan juga setiap anggota keluarga. Creative thinking=thinking out of the box. Pola pikir positif memberi kemampuan untuk berpikir secara out of the box, sedangkan pola pikir negatif cepat atau lambat melumpuhkan seluruh area.
Creative thinking dibutuhkan pada masa pandemi, ketika ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kegalauan dapat menghancurkan harapan. Juga ketika pemikiran negatif bisa menimpa siapa pun dalam usia berapa pun, termasuk anak-anak kita. Sayangnya mereka belum memiliki coping style, model untuk keluar dari masalah, dan hal ini tentunya tidak seimbang dengan permasalahan yang mereka hadapi. Bergulat dengan ketidaknyamanan cara pembelajaran, tekanan tuntutan guru, dan tekanan tuntutan kita—orangtua—dapat makin lama merembet menghancurkan individu, seperti apatisme terhadap lingkungan, pertemanan, sekolah, masa depan, relasi dengan orangtua, disintegrasi diri, bahkan keyakinan terhadap Tuhan.
Di sinilah peran kita sebagai orangtua menjadi pemimpin yang mengembangkan positive thinking, menampilkan ide-ide kreatif, meyakinkan anak-anak kita bahwa di dalam Tuhan ada harapan. Pandemi menjadi journey of faith bagi tiap kita, tiap anggota keluarga kita.
Praktik Creative Thinking
Selama pandemi, sebuah keluarga—dengan anak-anak usia 5, 9 dan 12 tahun,—harus berdiam di rumah selama dua tahun ini.
Di awal kejadian, kedua orangtua sangat bingung menghadapi kondisi yang ada. Bagaimana menjelaskan pada anak-anak untuk tetap tinggal di rumah dan membuat mereka tetap betah belajar online dan tidak berulah?
Lima bulan pertama merupakan tantangan terbesar bagi keduanya untuk mengatasi perilaku anak-anak. Teriakan serta pertengkaran menjadi menu sehari-hari. Bahkan tidak jarang saling memukul.
Namun dari pengalaman, akhirnya keduanya belajar menjadi orangtua yang bertumbuh. Mengatur jadwal dan menetapkan cara belajar mereka, mengenali setiap anak dengan keunikannya, dan mendisiplin mereka.
Hari ini mereka sangat bersyukur karena dapat menikmati kedekatan dengan anak-anak. Mereka bersyukur bahwa pandemi ini membuat mereka bertumbuh menjadi orangtua yang terus belajar setiap hari.
Mengenal Diri dan Potensi
Bagaimana mengaplikasikannya dalam konteks keluarga? Tidak bisa dimungkiri bahwa saat ini seluruh dunia sedang berjuang menghadapi dan mengatasi tekanan pandemi. Dengan demikian perlu sekali untuk memahami diri sendiri dalam skala kecil. Apakah kita merupakan tipe orang yang berpikiran sering was-was, negatif, atau berpikir sempit? Banyak yang menghadapi kenyataan bahwa diri mereka punya kecenderungan-kecenderungan seperti itu. Namun demikian, mereka tidak berhenti di situ dan menyesalinya. Panggilan sebagai kepala keluarga adalah harus tetap mau dan mampu membawa keluarga keluar dari ketakutan dan tekanan yang diciptakan oleh diri sendiri dan dunia luas.
Mulai melihat bahwa punya keluarga adalah sebuah kekuatan. Melalui keluarga, kita bisa membangun lingkungan positif untuk menumbuhkan semangat, kekuatan, dan harapan.
Selanjutnya, semua yang sudah menyadari siapa dirinya diajak untuk mengevaluasi kekuatan dan sumber daya yang dimiliki: punya Tuhan, punya anggota keluarga (perlu tahu apa saja bakat dan talenta tiap anggota keluarga), punya support sistem yakni teman, sahabat, serta orang-orang gereja yang peduli.
Untuk selanjutnya bisa ditanyakan: apa yang bisa saya lakukan dengan semua ini: adaptability atau kemampuan untuk beradaptasi, mulai berpikir kreatif sebagai tanda bertumbuh dan bertindak dengan langkah-langkah pembaruan, mempersiapkan yang terbaik. Berubah dari pola lama dan berani untuk mengambil tindakan.
Esensi Keluarga
Keluarga merupakan laboratorium kehidupan bagi setiap individu di dalamnya. Tiap anggota melakukan observasi dari peran apa yang dilakukan, tiap anggota belajar apa saja dalam keluarga. Dengan pembelajaran tersebut, anggota bertumbuh menjadi dirinya sendiri tetapi juga memiliki kebergantungan satu sama lain, untuk saling membangun/mendukung di antara mereka.
Merespons Pandemi Menurut Alkitab
Dalam bukunya ‘The Power of Positive Thinking’ Norman Vincent Pale memberikan kesimpulannya bahwa iman, berpikir positif, dan doa adalah tiga serangkai sederhana yang dapat digunakan orang untuk menangani secara efektif apa yang menyakitkan mereka.
Bagaimana merespons kondisi yang menekan ini dengan pemikiran positif yang menimbulkan gagasan serta tindakan-tindakan kreatif? Melalui pesannya di Filipi 4: 8, Rasul Paulus menyampaikan tuntunan sebagai bekal agar bisa melakukan dan mengalami itu semua, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”
Percayalah, seperti yang juga dikatakannya dalam Roma 8:28 bahwa: “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi DIA, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.“ Amin. •
|PASUTRI SUJARWO-LINDA
#diadaptasi dan dituliskan kembali dari materi yang disampaikan pada Webinar Keluarga yang diselenggarakan oleh Komisi Dewasa GKI Klasis Jakarta Utara pada Jumat, 19 Februari 2022 dengan judul yang sama.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.