“Kematian bukannya lawan kehidupan. Ia adalah mitra makna kehidupan. Hanya dengan menyelami kematian, manusia bisa hidup dengan indah sekaligus mati dengan indah.” (Gede Prama, Penulis buku dan 4 audio books tentang spiritualitas)
Kata MATI mempunyai kesan negatif, tidak sopan, kasar, karena itu “mati” biasanya tidak digunakan untuk manusia, kecuali sebagai kata makian. Tidak sopan dan sangat kasar kalau kita mengatakan, “ibu teman saya mati,” lebih sopan kalau kita mengatakan, “ibu teman saya meninggal,” atau “ibu teman saya wafat.” Kita tidak pernah mengatakan “anjing teman saya meninggal atau wafat,”, tetapi “anjing teman saya mati.” Padahal, tidak pernah ada ketentuan bahwa penggunaan kata “mati” ini tidak boleh untuk manusia.
Kita mengenal istilah bahwa Lahir, Jodoh dan Mati ada di tangan Tuhan. Terutama Mati, karena sama sekali tidak ada yang tahu kapan kita akan mati. Mati, benar-benar berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan belum berkendak, mengalami kecelakaan separah apa pun atau sakit separah apa pun, tidak akan mati.
Menjelang kelahiran anak, apalagi kalau anak pertama, kita sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Membeli perlengkapan bayi, memilih nama, bahkan mempersiapkan kamar untuk si bayi yang akan lahir. Kalau harus melahirkan melalui operasi, malah banyak orang yang memilih tanggal cantik atau tanggal bersejarah, misalnya tanggal 17 Agustus atau tanggal-tanggal bersejarah lainnya. Jarang atau tidak pernah ada yang memilih tanggal 29 Februari, karena ulang tahunnya bakal empat tahun sekali.
Demikan pula dengan pernikahan, ini yang pasti lebih heboh dalam membuat rencana dan persiapannya. Kalau saya tuliskan di sini, bisa panjang sekali ceritanya. Mulai dari menentukan tanggal, membuat undangan, sampai rencana bulan madu harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Dari urusan gedung, dekorasi sampai makanan, jangan sampai memalukan. Dari Wedding Organizer sampai MC dan band harus yang paling kekinian. Ini semua dilakukan dengan dalih bahwa menikah itu sekali seumur hidup.
Ada juga peristiwa yang terjadi sekali seumur hidup, tetapi kita hampir tidak pernah mempersiapkannya, yaitu kematian. Di sini kita tidak bisa menggunakan istilah kemeninggalan atau kewafatan, tetap harus memakai istilah kematian. Yang dipersiapkan biasanya sangat minimal, yaitu asuransi, entah asuransi jiwa atau asuransi kecelakaan. Kalau kita mati, maka uang pertanggungan akan diterima oleh ahli waris, tidak bisa “dinikmati” oleh orang yang mati. Sebetulnya dalam hal ini kita mempersiapkan uang untuk ahli waris, bukan mempersiapkan kematian kita.
Mempersiapkan kematian dalam hal ini bukanlah semata-mata menjawab pertanyaan mau dikubur atau dikremasi, dikubur di mana atau dikremasi di mana. Pertanyaan pertanyaan tadi juga penting agar keluarga mengetahui apa yang kita inginkan untuk mengurus jasad kita. Mempersiapkan kematian yang dimaksud adalah mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu kita dipanggil Tuhan, apa yang telah kita lakukan.
Banyak orang takut untuk membicarakan tentang kematian, apalagi mempersiapkannya. Tabu atau pamali kata orang Sunda, padahal penyebab utamanya adalah lebih memilih untuk tidak memikirkannya dan berusaha untuk menghindarinya, karena kematian adalah suatu hal yang pasti. Sebetulnya ketakutan kita dalam menghadapi kematian adalah karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di alam baka, karena tidak ada seorang pun yang pernah mengalaminya. Kalau kita mau pergi ke suatu tempat, biasanya kita belajar dari pengalaman orang lain yang pernah pergi ke tempat itu atau dari artikel mengenai tempat itu, sehingga kita bisa melakukan persiapan dan antisipasi yang diperlukan pada waktu kita hendak mengunjungi tempat itu. Ini yang tidak bisa kita ketahui dalam hal kematian. Tidak ada pengalaman orang lain atau artikel mengenai tempat itu, sehingga kita cenderung menghindar untuk mempersiapkannya.
Professor Komaruddin Hidayat, Guru Besar Filsafat Agama dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam salah satu bukunya yang berjudul Psikologi Kematian, mengatakan bahwa “Siapa pun orangnya, entah presiden, jenderal perang, dokter, ilmuwan, bintang film dan selebritis, tiba-tiba tidak berdaya ketika maut menyentuhnya. Semua itu kita saksikan secara langsung setiap hari sehingga rasa takut akan kematian dan kehilangan makin kuat tertanam dalam diri kita dan makin kuat pula mekanisme psikologis untuk menolaknya. Contoh yang paling mudah dilihat adalah setiap orang akan berusaha berobat ketika sakit. Berapa pun biayanya akan diusahakan demi mengusir sakit, karena sakit adalah pintu masuk terdekat bagi kematian.”
Kalau kematian adalah suatu keniscayaan, mengapa kita tidak menyambutnya sebagaimana layaknya kita menyambut sebuah kelahiran, mempersiapkan sebuah acara ulang tahun, pernikahan atau menyambut Natal. Kita bisa membuat rencana, melakukan persiapan, membeli keperluan yang dibutuhkan, dan sebagainya. Apa salahnya kalau kita juga melakukan hal yang sama untuk menyambut sebuah kematian? Yesus datang ke dunia dalam rupa manusia untuk menebus dosa dosa manusia dengan cara mati di kayu salib. Selamat menyongsong kelahiran bayi Yesus, sekaligus sambil mempersiapkan kematian kita serta merenungkan kata-kata dari Gede Prama di atas, sehingga kita bisa mati dengan indah. Salam damai.•
| Sindhu Sumargo
1 Comment
Joel banamtuan
November 13, 2022 - 6:31 pmKata kata yg indah dan bermana luar biasa