Manusia Multi-Dimensi

Manusia Multi-Dimensi

Belum ada komentar 90 Views

Mari kita panjatkan dalam doa-doa kita suatu ungkapan puji dan syukur kepada Tuhan kala kita dapat menikmati dan melangkahkan kaki memasuki usia 62 tahun kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini. Semua ini semata-mata adalah anugerah yang sungguh luarbiasa dalam kehidupan kita sebagai warga Negara Indonesia.


Selanjutnya saya mengajak kita untuk merenung dan merefleksi sejenak suasana dan situasi yang bagaimana yang sedang terjadi dalam kurun waktu 62 tahun kemerdekaan. Untuk itu saya berangkat dari pemikiran filsuf Herbert Marcuse yang menuangkan gagasannya yang sangat berpengaruh dalam buku “Manusia Satu-Dimensi”.


Ia berpendapat bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang represif tanpa ampun, meskipun sebagian besar orang menganggapnya sebagai masyarakat yang paling liberal. Dalam pandangannya masyarakat modern tampak semata-mata sebagai seperangkat alat yang terkandung dalam ilmu, kemajuan teknologi atau hal lain yang terlahir dari lubuk “keimanan” masa Pencerahan atau Nalar, Pengetahuan, dan Kemajuan.


Penerimaan dan konformisme atas status quo secara perlahan-lahan, yang dipaksakan oleh masyarakat modern, adalah suatu totalitarianisme. Karena itu sangatlah sulit bagi individu untuk mengambil jarak secara kritis terhadap masalah ini. Akhirnya manusia modern harus menerima kenyataan bahwa mereka telah menjadi manusia Satu-Dimensi, artinya mereka tidak punya kebebasan untuk bergerak secara individu dengan berbagai alternatif yang baru.


Gambaran manusia Satu-Dimensi yang hidup dalam masyarakat modern saat ini, seolah memang tidak mempunyai alternatif untuk melakukan hal yang lain dari yang ditawarkan dan ditetapkan secara totalitarianis (baca: menyeluruh). Akibatnya munculah generasi muda yang hanya ikut-ikutan, yang malas berpikir untuk hal-hal yang baru, yang acuh tak acuh, tidak mau tahu dengan keadaan yang lainnya dan cenderung untuk tidak peduli sama sekali dengan pergumulan yang sedang terjadi dalam masyarakatnya. Dalam situasi seperti ini, kata ‘pokoke’ (baca: yang penting) menjadi sangat digandrungi – pokoke saya aman, tentram, tidak kekurangan apa pun, pokoke saya tidak dirugikan, pokoke saya bisa sekolah, kuliah dan bahkan bisa berkarier setinggi mungkin dan pokoke–pokoke yang lain lagi.


Pernahkah Anda mendengar kata “comprachicos”, sebuah kata berbahasa Spanyol yang sangat ditakuti. Konon pengarang Prancis Victor Hugo, tulis Gunawan Mohammad dalam salah satu catatan pinggirnya, pernah bercerita tentang hal ini. Comprachicos adalah “Para pembeli anak-anak”, mereka membeli bocah-bocah kecil dengan harga tertentu lalu dijual lagi setelah tubuh mereka dibikin ganjil.


Hugo berkisah, ada comprachicos yang membeli seorang anak kecil lalu menaruhnya dalam sebuah vas porselen yang berbentuk aneh. Di waktu malam vas itu dibaringkan, agar si anak bisa tidur. Di pagi hari vas itu ditegakkan kembali. Bertahun-tahun lamanya hal itu mereka lakukan, dan dalam proses itu, daging serta tulang si anak tumbuh sesuai dengan bentuk vas. Setelah dianggap cukup, vas itu pun dipecahkan. Anak itu keluar dari sana, dan lihatlah: tubuhnya berbentuk jambang! Tindakan semacam ini dianggap Hugo menghambat pertumbuhan dan menyelewengkan corak perwujudan. Dengan kata lain, mereka membikin bonsai – keahlian orang Jepang di bidang pembentukan tanaman itu–dengan jasad manusia.


Ketika membaca tentang kisah comprachicos ini, mulailah pikiran menerawang membayangkan situasi generasi muda kita saat ini.


Puji Tuhan, “seni” semacam ini memang sudah tidak ada lagi. Namun jika kita memperhatikan sejenak pertumbuhan generasi muda kita saat ini, satu sisi pertumbuhan fisik mereka bertumbuh tanpa hambatan, tapi pada sisi yang lain pertumbuhan jiwa mereka ternyata mengalami tekanan-tekanan yang sangat berat. Tekanan karena kurang mendapatkan perhatian yang layak, kurang mendapatkan kepercayaan, kurang mendapatkan kesempatan untuk mampu bersaing, kurang mendapatkan fasilitas yang memadai untuk menata kehidupan masa depan. Hidup dalam lingkaran penderitaan yang tak jelas ujungnya. Ketakutan untuk melakukan sesuatu yang baru, jangankan untuk menuangkan pemikirannya secara bebas, untuk tersenyum pun tidak pernah bisa terlepas.


Setelah 62 tahun memasuki kemerdekaan, bukankah sudah selayaknya generasi muda kita dapat bertumbuh dengan leluasa baik fisik maupun jiwanya? Jika selalu terjadi ‘pembonsaian’ dalam kehidupan mereka, maka sudah dapat kita bayangkan bahwa bangsa ini akan dipimpin oleh orang-orang yang ‘kerdil’ jiwanya dan sama sekali tidak punya kemampuan daya saing terhadap negara-negara yang lain.


Sungguh situasi yang sangat memprihatinkan, ketika orang tua tidak lagi punya waktu untuk keluarga, untuk memperhatikan perkembangan jiwa anaknya karena berlomba-lomba mencapai kesuksesan, kekayaan, kekuasaan maka kondisi “pembonsaian” disadari atau tidak akan sering dihadirkan. Saat ini memang makin banyak orang yang menikmati pendidikan, namun anehnya jurang perbedaan bukan mengecil namun malah makin melebar. Di tingkat bawah, siapa tak mendapat pendidikan yang memadai, sukar pula memperoleh pekerjaan yang lumayan. Dan di tingkat yang lebih tinggi, jurang pun makin melebar di antara mereka yang menikmati pendidikan universitas dan yang tidak. Dan kini jurang itu makin menjadi-jadi. Ambilah contoh jumlah spesialis terdidik yang hebat dan canggih dalam hal komputer ternyata hanya sedikit saja. Maklum bila gaji mereka membubung tinggi melebihi pekerja lainnya. Jadi dalam pasaran kerja di tingkat yang lebih tinggi terjadi: makin maju pendidikan, jurang pun makin menganga. Kalau demikian, ternyata di bidang pendidikan juga terjadi ‘pembonsaian’.


Jika hal seperti ini terus menerus terjadi dan tidak segera diantisipasi maka kita akan melihat suatu generasi bangsa yang mempunyai pertumbuhan tubuh yang normal namun jiwa yang aneh, yang acuh tak acuh, yang tidak bergiming sedikit pun ketika mendapatkan tekanan atau diinjak-injak.


Dalam situasi yang membingungkan ini, Tuhan Yesus menegur para murid dan berkata:”Biarkan anak-anak itu datang kepadaKu, Jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Mark.10:14).


Masyarakat modern penuh dengan syarat, tuntutan, kewajiban atau keharusan. Manusia yang hidup di dalamnya seolah tidak punya alternatif lain, oleh karena itu ia hanya mampu untuk hidup dalam satu dimensi saja. Perintah Tuhan Yesus kepada para murid adalah perintah untuk Gereja Tuhan di dunia ini. Gereja harus memberikan perhatian yang serius untuk generasi muda sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk melihat alternatif-alternatif yang lain, sehingga mereka berani melangkahkan kaki di tempat-tempat yang asing bahkan yang belum ada kepastian. Karena memang itulah yang dari awal diajarkan oleh Abraham bapak orang beriman. Bersama dengan Tuhan sebagai Raja dalam kehidupannya, ia punya keberanian untuk menerobos situasi-situasi yang baru bahkan masuk dalam ketidakpastian.


Adalah tanggung jawab gereja terhadap bangsa dan negara Indonesia untuk mempersiapkan generasi muda yang bertumbuh baik secara fisik maupun jiwa-jiwa yang berani menghadapi tantangan ke depan.


Tuhan tidak hanya memerintahkan kepada Gereja Tuhan di dunia untuk mempersiapkan masa depan anak-anak. Namun juga Tuhan memberikan janjiNya “Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya: mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.” (Yesaya 40:31)


Puji Tuhan, sekarang kita tahu bahwa ada janji Tuhan yang mengatasi kecemasan Herbert Marcuse. Memang kita hidup dalam masyarakat modern yang sangat sulit dan pelik, yang seolah tidak menawarkan alternatif apa pun. Namun sebagai orang beriman yang mewarisi janji Allah, kita tidak perlu takut hidup dalam masyarakat modern, sebab ketika kita selalu menanti-nantikan Tuhan dalam kehidupan ini maka kita pun diberi kemampuan multidimensi, seperti seekor burung rajawali yang naik terbang ke atas sehingga melihat segala-sesuatu yang tidak dilihat oleh manusia Satu-Dimensi.


Marilah kita bersama-sama memasuki suasana kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 62 ini dengan tekad yang baru untuk mempersiapkan generasi muda yang sebaik mungkin, generasi yang mampu melihat alternatif-alternatif baru, generasi yang berani memasuki suasana dan lingkungan ketidakpastian, generasi yang dapat menjadi panutan dan tempat berteduh bagi bangsa yang sedang mengalami kelelahan karena bingung harus berbuat apa lagi. Tapi juga generasi muda yang selalu berharap dan menanti-nantikan Tuhan sehingga menjadi manusia Multi-Dimensi.


”Biarkan anak-anak itu datang kepadaKu, Jangan menghalang-halangi mereka” Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tanganNya atas mereka Ia memberkati mereka.



Pdt.Tumpal Tobing

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...