Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu (Amsal 22:6)
Dalam perjalanan menuju ke sekolah, Ranny berkata kepada ibunya: “Mama, nanti saya tidak usah dijemput ya?” “Mengapa?” tanya Ibu Lena dengan penuh curiga. “Richard yang akan mengantar pulang,” jawab Ranny dengan suara perlahan. “Kenapa begitu? Ada acara apa?” tanya Ibu yang terlihat semakin gusar sambil memperlambat jalan mobilnya karena terkejut. “Kenapa sih, Mama? Aku kan sudah besar, masa nonton dengan teman saja tidak boleh. Richard hanya teman kok Ma,” jawab Ranny dengan nada marah.
Perjalanan menuju ke sekolah dilanjutkan dengan suasana emosi yang tidak karuan di antara anak dan ibunya. Ingin rasanya Ibu Lena berkata, “Ranny!!! Sejak kecil Mama sudah mengajarkan kamu untuk minta izin setiap kali akan pergi ke mana pun. Kenapa sekarang untuk hal yang begitu penting dengan seenaknya kamu sekadar memberitahu, seolah-olah Mama hanyalah seorang sopir yang mengantar jemput Nona Putri?”
Ibu Lena berusaha menahan rasa amarahnya karena menyadari Ranny sudah remaja dan perkataan-perkataan itu tidak akan berarti apa-apa jika dilontarkan pada jarak waktu yang begitu sempit.
Sesampai di sekolah, sebelum Ranny turun, dengan terpaksa Ibu Lena berkata, “Sori Ranny, kali ini Mama harus jemput kamu. Batalkan rencana dengan Richard, pulang sekolah nanti kita bicara lagi.” Ranny sangat terkejut. Dengan wajah penuh pemberontakan dibantingnya pintu mobil tanpa sepatah kata pun. Hati Lena sangat hancur! Lena menjalankan mobil dengan hati yang sangat sedih.
Di luar gedung sekolah, ia menepi dan menangis sambil berdoa. “Tuhan, salah apakah saya ini? Selama 15 tahun saya sudah sangat berhati-hati mendidik Ranny dalam kebenaran. Saya sudah meninggalkan pekerjaan, menjadi ibu rumah tangga full time hanya supaya saya bisa mendidik Ranny. Berapa banyak buku pendidikan, seminar pendidikan dan segala macam tips pendidikan yang saya sudah pelajari dan jalankan … apa salah saya sehingga Ranny bersikap seperti itu?”
Hampir setiap orangtua pernah menanyakan pertanyaan serupa ketika anak-anak bersikap tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tidak sedikit orangtua bertanya, apakah Amsal 22:6 dapat dipercaya? Apakah benar jika kita mendidik anak dengan baik pada masa kecil, maka seumur hidup ia tidak akan menyimpang daripadanya? Jika saat ini anak saya berjalan di jalan yang salah, apa salah saya?
Amsal 22:6 yang cukup terkenal itu acap kali memberi dua macam perasaan dari pendengar pembaca yang telah berupaya mendidik anak dengan baik sampai mereka menjadi remaja/orang dewasa: merasa bersyukur dan bangga untuk usaha yang telah dilakukan sehingga dapat mendidik anak yang baik, atau merasa frustrasi dan putus asa karena usaha yang telah dilakukan tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Banyak orangtua dan guru Kristen salah mengartikan Amsal 22:6 sehingga pada akhirnya mengalami kekecewaan serta meragukan firman Tuhan. Kekecewaan akan datang ketika kita menganggap ayat ini sebagai “janji”. Kekeliruan terjadi ketika kata ‘maka’ di dalam kalimat “maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” diartikan sebagai sebuah jaminan yang absolut. Jika A, maka yang terjadi adalah B.
Sesungguhnya Amsal bukanlah kitab janji, tetapi kitab hikmat. Hikmat datang melalui pengamatan. Penulis Amsal mengamati “secara umum” sebab-akibat yang terjadi bagi orang dewasa dalam hikmat; jika mengarahkan generasi muda kepada jalan hikmat, maka hikmat itu akan menetap dan menuntun jalan mereka.
Ada beberapa hal yang perlu diper-timbangkan ketika membandingkan antara Amsal 22:6 ini dengan kenyataan adanya anak-anak dari keluarga Kristen yang baik namun tidak menjalani kehidupan sesuai dengan didikan masa kecil:
- Dalam setiap pengamatan, selalu ada pengecualian (sesuatu yang tidak pada umumnya). Manusia adalah makhluk yang kompleks. Manusia tidak bisa diukur dengan hukum matematika 1+2=3. Banyak faktor yang tidak terlihat kasat mata yang dapat mengakibatkan hasil yang tidak berakhir sesuai dengan harapan. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa apa yang terjadi pada anak kita saat ini seratus persen adalah akibat dari keberhasilan/kegagalan pendidikan kita.
- Pengamatan manusia terbatas pada ruang, waktu dan tempat. Ketika kita melihat kenyataan anak kita tidak menjalankan apa yang kita didik dan ajarkan, kita hanya melihat pada ruang, waktu dan tempat yang terbatas. Tuhan yang memiliki kehidupan anak-anak masih mempunyai agenda yang tidak dibatasi pengamatan kita saja. Banyak kesaksian dari anak-anak yang memberontak di masa muda mereka, namun ketika mereka dewasa mereka mengingat apa yang orangtua tanamkan di masa kecil. Tidak jarang orang melihat detik-detik terakhir kehidupan yang dilalui dengan pemberontakan, diakhiri dengan penyesalan karena kebenaran yang ditekankan sekian lama keluar dalam ingatan masa lalu.
Dengan kata lain, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa pengamatan penulis Amsal salah, karena kita mengukur dengan pengamatan kita sekarang. Kitab Amsal adalah kitab yang ditulis dalam inspirasi Roh Kudus, untuk mengajar, menegur, memperbaiki dan mendidik orang [termasuk orangtua dan pendidik Kristen] pada kebenaran (2 Timotius 3:16). Dengan demikian, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa ayat ini salah karena kegagalan kita, melainkan menjadikan ayat ini sebagai pegangan agar kita bisa bertumbuh dalam pengenalan yang lebih dalam tentang kebenaran pendidikan anak.
Hal yang perlu dievaluasi orangtua dalam mendidik anak:
1. Didiklah
Apakah kita sudah ‘mendidik’ bukan sekadar memenuhi otaknya dengan pengetahuan melainkan melatihnya menjalankan apa yang mereka ketahui. Apakah kita melatihnya (train up), mengerjakan bersama-sama dengan kita? Apakah kita memberi petunjuk yang jelas? Memberikan koreksi sepantasnya? Memberikan peneguhan ketika mereka melakukan hal yang benar? Apakah kita melatihnya dengan suatu target supaya mereka bisa menjalani kehidupan yang dewasa dalam masyarakat?
2. Orang Muda
Kata ‘anak’ di dalam ayat ini sesungguhnya ditujukan bukan untuk anak kecil tetapi ‘orang muda’ yang belum berhikmat atau berpengalaman. Masa yang paling penting di dalam mempersiapkan anak masuk dalam kehidupan masyarakat adalah masa-masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa (13-19 tahun). Di masa-masa inilah orangtua sering kali justru mengabaikan tugas pendidikan, entah karena kesibukan pekerjaan, merasa anak sudah besar, merasa sudah menjalankan tanggung jawab ketika anak-anak kecil, atau karena kewalahan menghadapi perilaku atau ulah yang sulit untuk diterima. Apakah kita berhenti mendidik anak pada usia tertentu karena merasa sudah cukup?
3. Menurut Jalan yang Patut Baginya
Amsal banyak membandingkan antara “jalan orang benar’ dan “jalan orang fasik”, “jalan hikmat” dan “jalan kebodohan”. Apakah kita mendidik anak-anak yang masih muda untuk dapat memilih keputusan yang bijaksana? Apakah kita membiarkan dunia dan kebodohan mengarahkan keputusan anak-anak kita?
Kalau pun kita sudah melakukan ketiga hal di atas, pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah kita sadar sepenuhnya bahwa anak-anak kita adalah milik Tuhan dan seluruh kehidupan mereka berada di bawah kendali Tuhan? Memang betul pada akhirnya anak-anak akan mengambil keputusn dan jalan mereka sendiri. Memang betul bahwa keputusan iman berada di luar kuasa dan kontrol orangtua, namun pertanyaannya: Apakah orangtua sudah menjalankan mandat Allah dengan bertanggung jawab? Orangtua Kristen bukan dipanggil untuk “memproduksi anak-anak benar” tetapi terpanggil untuk menjalankan ketaatan sebagai orangtua yang telah dibenarkan oleh penebusan Kristus.
Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu (Ulangan 6:6-9).
Dalam penelitian penulis, banyak anak yang pada masa remaja memberontak namun pada akhirnya kembali pada jalan yang benar. Pada umumnya mereka berkata, “Teladan orangtualah yang membuat saya kembali kepada jalan Tuhan.” “Pada saat-saat saya merasa kosong dan hilang arah, terbersit kembali dalam benak saya gambaran orangtua saya yang mendoakan saya, terngiang kembali nasihat-nasihat mereka, teringat kembali saat kami ibadah keluarga.” Anak lain berkata, “Saya memang sangat memberontak karena saya belum benar-benar menerima Kristus saat itu, namun saya percaya Mama mendoakan saya. Papa adalah orang yang sangat setia dan mencintai Tuhan. Saya sangat menyesal dan saya tahu bahwa saya harus kembali.”
Franklin Grahan (anak dari Billy Graham) berkata, “Orangtua saya memberikan kebebasan cukup banyak dan tidak menentukan jam berapa saya harus pulang. Mama saya, seperti mama-mama yang lain, mempunyai caranya sendiri untuk mendidik anaknya. Dia selalu duduk dan menunggu saya pulang?tidak peduli jam berapakah itu. Hal itu sangat mengganggu saya, karena saya jadi merasa bersalah. Saya tidak tahu berapa banyak saya berusaha untuk menyelinap pulang larut malam. Namun setiap kali saya pulang, di sanalah Mama menunggu dengan memakai jubah tidurnya, duduk di kursi goyang, dan buku atau Alkitab terbuka pada pangkuannya.
“Terima kasih pada Tuhan, kamu baik-baik saja,” itulah yang beliau katakan. Itu saja! Ia tidak pernah menguliahi atau mengancam saya. “Mama tidak usah menunggu saya,” pinta saya. Mama hanya tersenyum, mengucapkan selamat malam, dan masuk ke dalam kamarnya. Tidak peduli bagaimana saya memohon agar beliau tidak menunggu, ia selalu menunggu saya dengan lampu yang selalu menyala setiap kali saya pulang. Sebagai anak muda yang ingin menunjukkan independency untuk bisa pulang jam berapa saja saya mau, pada akhirnya saya menyerah.
Saya mulai merasa malu melihat Mama kehilangan waktu tidur karena menunggui saya pulang. Saya kenal betul siapa Mama. Ia tidak pernah akan mengubah apa yang dilakukannya, jadi sayalah yang harus mengubah cara saya. Akhirnya saya menyerah dan pulang lebih awal. Pada akhirnya sayalah yang menentukan sendiri batas waktu pulang.”
Ayah-ibu, janganlah putus asa dan berhenti mengasihi anak-anak Anda. Janganlah menyerah untuk memohon hikmat mendidik anak-anak Anda, umur berapa pun mereka saat ini. Tetaplah teguh memegang kebenaran dan dalam hikmat Allah didiklah mereka dengan teladan hidup yang penuh ketaatan kepada Tuhan.
Ev. Anne Kartawijaya, M.Div
(Dikutip dari Buletin Eunike Edisi 24-1/2012)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.