Mungkin kita dibingungkan dengan tidak seragamnya GKI dalam memilih kata yang dipakai, Paska atau Paskah. Penulisan kata tersebut ada kaitannya dengan penerjemahan dan penyerapan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Istilah ”Paska” berasal dari kata Ibrani pesakh, kata kerja yang artinya “melewatkan” dengan makna “menyelamatkan” (Kel 12:13, 27, dst.). Pesakh (Inggris: Passover) adalah sebuah perayaan keagamaan dalam sejarah bangsa Israel di mana mereka mengenang peristiwa lepasnya mereka dari perbudakan (lambangnya ialah penyeberangan Laut Tiberau dan Sungai Yordan). Dalam hari raya tersebut, umat Israel akan melakukan sebuah tradisi yang penuh makna. Salah satunya adalah memakan roti tidak beragi. Larangan ragi mau melambangkan sifat ketergesa-gesaan pada malam keberangkatan mereka keluar dari tanah Mesir. Tradisi lainnya adalah penyembelihan hewan kurban yang mengingatkan mereka bahwa Allah melewati rumah-rumah yang berlaburan darah. Allah “melewati” rumah-rumah orang Israel yang sudah dilaburi darah dan membunuh anak-anak sulung orang-orang Mesir dalam peristiwa tulah terakhir yang Tuhan berikan untuk membuka jalan keluarnya bangsa Israel dari tanah perbudakan di Mesir. Tradisi kurban inilah yang sangat dekat dengan makna kata pesakh.
Perhatikan, bahwa huruf “h” bergandengan erat dengan huruf “k”. Oleh karena itu, terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang lebih tepat adalah paskha. Dalam aturan penyerapan ke dalam Bahasa Indonesia, penulisan kata disesuaikan dengan bunyi kata itu saat dilafalkan, sehingga kata “paskha” menjadi “Paska”, bukan malah menjadi “Paskah”. Lalu, mengapa huruf “h” muncul dalam kata “Paskah”? Barangkali, hal itu disebabkan lidah kita sebagai orang Indonesia yang suka menambahkan huruf “h” pada kata-kata yang diakhiri huruf vokal “a”, misalnya: Eropah, sepedah, sayah, iyah, dsb. Lagi pula, kata-kata seperti “Paska”, “Eropa”, dan “sepeda” jika dilafalkan seolah-olah mengandung huruf “h” pada akhirnya.
Transliterasi kata “Paska” dalam bahasa Indonesia juga lebih cocok dan lebih dekat dengan istilah-istilah dalam bahasa asing lainnya: Pascha (Yunani), Pascua (Spanyol) , Pasqua (Italia) , Pâques (Perancis), Páscoa (Portugis), dan Paaske (Denmark). Karena itu, tidak keliru jika ada gereja atau lembaga yang menggunakan kata Paska sebagai terjemahan dari pesakh, karena justru lebih tepat. Hanya saja, jangan sekadar meributkan istilahnya saja, tetapi kita juga perlu memaknai Paska itu sendiri secara mendalam.
Lalu bagaimana dengan Alkitab kita sekarang? Apakah Alkitab kita salah? GKI memakai istilah Paska atau masih Paskah? Mengenai revisi Alkitab, memang bukan wewenang kita, melainkan Lembaga Alkitab Indonesia. Akan tetapi, pihak-pihak LAI pun sudah menyadari perihal istilah ini. Namun, untuk merevisi serta mencetak kembali Alkitab dengan istilah baru bukanlah hal yang mudah, sebab berkaitan dengan banyak hal (termasuk dana). Jadi, sambil menunggu revisi tersebut, kita pun dalam lingkup jemaat lokal dapat mulai memakai istilah Paska. Kita sudah dapat memakai istilah Paska tersebut sejak saat ini. Hal yang terpenting adalah sosialisasi yang baik atas perubahan istilah tersebut kepada umat, serta konsistensi pemilihan kata. Kalau kita sudah memilih memakai kata Paska, maka jangan berbalik lagi menjadi Paskah. Atau kalau kita masih keukeuh memakai kata Paskah karena menunggu revisi Alkitab, yah silakan saja. Poinnya adalah kita sudah memahami mana yang tepat. Selanjutnya terserah pada kebijakan jemaat setempat serta kesiapan dan sosialisasinya yang sinambung.
Yosafat Simatupang, penatua (calon pendeta) di GKI Sudirman, Bandung.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.