A. Apa Itu Liturgi?
Kata “liturgi” berasal dari kata berbahasa Yunani: leitourgia. Asal katanya adalah laos (artinya rakyat) dan ergon (artinya pekerjaan). Jadi, liturgi adalah pekerjaan publik atau pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat/jemaat secara bersama-sama.
Dalam konteks ibadah Kristen, liturgi adalah kegiatan peribadahan di mana seluruh anggota jemaat terlibat secara aktif dalam pekerjaan bersama untuk menyembah dan memuliakan nama Tuhan.
Dengan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa “liturgi” adalah “ibadah.” Setiap ibadah Kristen (apapun denominasinya) harus bersifat liturgis; artinya melibatkan setiap orang yang hadir di dalamnya. Ibadah di mana jemaat hanya menjadi penonton yang pasif bukanlah ibadah dalam arti yang sesungguhnya.
Oleh karena semua anggota jemaat harus terlibat secara aktif, maka perlu ditentukan kapan giliran mereka berpartisipasi dalam ibadah dan bagaimana bentuk partisipasi itu (apakah menyanyi, berdoa, memberi persembahan, dll). Dari sini muncullah apa yang disebut dengan tata ibadah, yang mengatur kapan giliran setiap orang berpartisipasi dalam ibadah dan bagaimana bentuk partisipasinya. Tata ibadah inilah yang sering kita sebut liturgi dalam arti sempit.
Banyak orang memiliki konsep yang keliru tentang ibadah. Kita cenderung memandang ibadah (kebaktian) seperti pertunjukan teater. Yang menjadi aktor adalah pendeta dan pelayan ibadah lainnya. Penontonnya adalah anggota jemaat yang hadir, sedangkan sutradaranya adalah Tuhan. Konsep ini keliru karena memandang jemaat hanya sebagai penonton! Soren Kierkegaard, seorang teolog Eropa abad ke-19, mengatakan bahwa dalam ibadah Kristen, aktornya adalah jemaat.
Sutradaranya adalah para pemimpin ibadah (pendeta, liturgos, pemusik), sedangkan penontonnya adalah Tuhan! Tata ibadah (“liturgi”) adalah skenario drama yang harus dimainkan oleh anggota jemaat sebagai para pemeran.
B. Apa yang Dimaksud dengan Liturgi yang Hidup?
Secara fenomenologis, sekelompok orang dikatakan “sedang beribadah” ketika mereka berkumpul pada waktu dan tempat tertentu, lalu melakukan ritual religius menurut tata cara yang telah disepakati bersama dengan tujuan bersekutu dengan Tuhan. Ritual tersebut dilakukan berulang-ulang setiap kali bertemu, sehingga menjadi tradisi dari kelompok tersebut.
Sebuah ibadah atau liturgi dikatakan “hidup” jika ibadah itu dapat mencapai tujuannya(1) . Apakah tujuan kita beribadah?
Menurut John Calvin, tujuan ibadah Kristen adalah penyatuan dengan Allah (union with God). Lewat ibadah, jemaat menjadi ‘sehati sepikir’ dengan Allah. Jemaat menjadi sadar apakah kehendak Allah bagi mereka.
Menurut dokumen konsili Vatican II, hasil dari ibadah ada dua: Pemuliaan Tuhan (glorification) dan pengudusan orang percaya (sanctification)(2) . Jadi, liturgi yang hidup adalah ibadah di mana seseorang bisa mengalami perjumpaan dengan Tuhan dalam ibadah bersama (public worship) dan perjumpaan itu mentransformasi hidup mereka yang hadir. Dalam istilah umum, liturgi yang hidup adalah ibadah di mana di dalamnya orang bisa “merasakan Tuhan hadir dan menyapa mereka.”
Pada dasarnya Tuhan hadir di segala saat dan tempat, tidak terbatas hanya di gedung gereja saat Kebaktian Minggu. Namun demikian, tidak dapat disangkali bahwa kerapkali orang lebih bisa merasakan kehadiran Allah dalam ibadah, karena pada saat itu ia benar-benar memfokuskan dirinya kepada Tuhan. Hal ini dapat diumpamakan seperti selembar kertas yang tergeletak di sebuah lapangan pada siang hari yang panas. Cahaya matahari bersinar di segala sudut, namun tidak dapat membakar kertas itu. Hanya jika ada orang yang membawa kaca pembesar lalu memfokuskan cahaya matahari ke atas kertas itu, maka kertas dapat terbakar. Begitu pula dalam ibadah. Jemaat dapat lebih merasakan kehadiran Tuhan yang mentransformasi hidup jika liturgi dapat menolong mereka memfokuskan diri (membuka hati) kepada Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya.
Dalam gereja Reformasi (seperti GKI), liturgi yang kita pakai berbentuk dialog. Hal ini sesuai dengan ajaran Martin Luther yang menjelaskan bahwa dalam ibadah, mula-mula Allah yang berinisiatif untuk berbicara kepada jemaat lewat Firman-Nya (revelation), lalu jemaat memberi respons dalam bentuk doa dan pujian(3). Jadi, liturgi kita berisi dialog antara Tuhan dan jemaat. Liturgi ini bisa dibilang “hidup” jika melaluinya terjadi dialog yang segar antara Tuhan dengan jemaat. Sebelum kita membicarakan lebih jauh seperti apakah liturgi yang hidup itu, kita perlu mengetahui lebih dulu pola dasar liturgi kita. Perlu kita perhatikan bagaimana pola komunikasi yang terjadi di dalam liturgi minggu kita.
C. Mengenal Pola Ibadah Gereja Reformasi
GKI sebagai bagian dari gereja Reformasi memiliki pola ibadah yang dikenal dengan The Fourfold Pattern of Worship (Empat Langkah Pola Ibadah). Polanya dapat dilihat dalam gambar di bawah ini. Mari kita bahas lebih rinci empat pola langkah ibadah ini.
Langkah Pertama: Berhimpun
Ibadah dimulai dengan langkah berhimpun, yang bertujuan untuk mempersatukan hati jemaat. Prosesnya dimulai saat jemaat memasuki ruang ibadah. Orang perlu mengambil waktu sejenak untuk berdiam diri agar ia dapat menyadari kehadiran Allah. Kesadaran ini akan membuat hatinya terbuka dan siap untuk berdialog dengan Tuhan dalam ibadah.
Ibadah dimulai dengan Nyanyian Prosesi yang berfungsi menyatukan hati semua yang hadir untuk datang ke hadapan Tuhan (Contoh: KJ 15 – “Berhimpun Semua”). Lalu, sesuai dengan tradisi gereja Reformasi, diadakan seremoni Penyerahan Alkitab (entry of the Bible) dari pemimpin ibadah (dienstoende) kepada Pendeta. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa ibadah kita didasari oleh Firman Tuhan.
Pendeta lalu mengawali ibadah dengan mengucapkan Votum dengan mengutip Mzm 124:8 “Pertolongan kita adalah dalam nama TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.”
Lewat votum, jemaat mengakui bahwa mereka dapat beribadah hanya karena Tuhan memanggil dan menolong mereka: menghimpun mereka menjadi satu(4). Pengakuan itu diaminkan dengan nyanyian “Amin.”
Selanjutnya, Pendeta sebagai hamba Kristus menyampaikan Salam (greeting/saluation) untuk mengingatkan jemaat bahwa Kristus hadir di tengah-tengah mereka.
Lalu, untuk lebih menyatukan jemaat dan memfokuskan perhatian mereka pada ibadah, Pendeta memberikan Kata Pembuka. Wujudnya bisa dalam bentuk membacakan Nats Pengantar yang akan mewarnai topik dialog pada ibadah hari itu, atau dapat juga disampaikan informasi tentang tema, tahun liturgi, atau memperkenalkan pengkhotbah tamu dari jemaat/gereja lain.
Dengan cara ini, pelayan ibadah dari jemaat/gereja lain tidak lagi menjadi orang asing, melainkan dihimpun dan dipersatukan dengan jemaat.
Setelah jemaat dipersatukan, kini mereka dibawa menghadap hadirat Tuhan dalam doa.
Ketika berhadapan dengan-Nya, jemaat menyadari bahwa mereka adalah pendosa yang berhadapan dengan Allah yang suci. Oleh sebab itu jemaat memasuki ritual Pengakuan Dosa. Melaluinya jemaat memohon pengampunan, sebab tanpa pengampunan dosa, mereka tidak akan dapat berdamai dengan Allah dan menerima Firman-Nya.
Setelah doa pengakuan dipanjatkan, Berita Anugerah (assurance of pardon) disampaikan. Pendeta sebagai hamba Allah menyatakan janji pengampunan Tuhan yang obyektif (tertera di dalam Alkitab), bukan subyekif (diampuni karena kuasa gereja). Ketika menerima pengampunan dosa, jemaat diperdamaikan kembali dengan Allah dan sesamanya. Oleh sebab itu, mereka lalu saling bersalaman sambil berkata “Damai besertamu” (Peace be with you) dalam ritus Salam Damai (peace).
Setelah itu, sebuah lagu syukur dinaikkan sebagai tanda terimakasih kepada Tuhan. Sekarang jemaat telah berhimpun dan membereskan dosa-dosanya. Mereka siap menerima Firman Tuhan.
Langkah Kedua: Firman
Sebelum Firman Tuhan dibacakan, jemaat perlu menaikkan Doa Epiklese (prayer of illumination). Mengapa? Karena untuk dapat mengerti Firman Tuhan, diperlukan bantuan Roh Kudus untuk membuka pikiran dan hati mereka (2Kor 3:14-16). Setelah itu barulah diadakan Pembacaan Alkitab.
Di banyak gereja saat ini bacaan Alkitab terdiri dari satu set bacaan yang diambil dari daftar bacaan (leksionari). Tradisi ini sudah muncul sejak orang beribadah di sinagoge. Beberapa bagian kitab dibacakan, diselingi dengan saat hening atau menyanyikan mazmur.
Setelah itu, Khotbah disampaikan. Gereja Reformasi berpandangan bahwa Allah menyatakan diri-Nya dalam ibadah lewat Alkitab yang dibacakan dan dikhotbahkan(5). Saat Firman dibacakan dan dikhotbahkan, Yesus Kristus sendiri hadir di tengah jemaat dan menyapa jemaat(6). Tugas pengkhotbah adalah “menghidupkan” kata-kata dalam Alkitab hingga menjadi relevan bagi pendengar masa kini sehingga orang merasa disapa oleh Tuhan lewat kata-kata di dalam Alkitab.
Setelah mendengarkan Firman, jemaat memberi tiga jenis respons:
- Respon pribadi dalam bentuk Saat Teduh. Jemaat masuk dalam keheningan untuk merenungkan apa makna firman yang baru disampaikan bagi mereka.
- Respon bersama dalam bentuk Pengakuan Iman (Affirmation of Faith). Pengakuan Iman berisi rangkuman seluruh isi Injil. Ketika mengucapkannya, jemaat menegaskan kembali bahwa mereka yakin (“Aku percaya”) akan Firman Tuhan yang telah diberitakan. Pengakuan Iman juga mempersatukan jemaat sebagai bagian dari gereja segala abad dan tempat.
- Respon bersama sebagai Imamat Rajani di dunia ini, dengan menaikkan Doa Syafaat (Prayers of the People). Sebagai Imam bagi dunia, jemaat perlu menaikkan doa untuk seluruh umat manusia di muka bumi. Lewat doa syafaat jemaat “menjangkau dunia.” Oleh sebab itu doa syafaat hendaknya tidak hanya bersifat lokal, melainkan “seluas kasih Tuhan dan sama spesifiknya seperti belas kasih-Nya pada orang yang terlemah di antara kita.”(7) Doa syafaat biasa ditutup dengan Doa Bapa Kami, yang merupakan induk dari segala doa.
Langkah Ketiga: Pengucapan Syukur
Setelah menerima Firman, jemaat perlu mengucap syukur. Langkah ini diawali dengan memberi Persembahan.
Di jemaat mula-mula, orang Kristen membawa roti dan air anggur sebagai persembahan, yang ditaruh di dekat pintu masuk. Ketika ibadah berlangsung, para diaken menyisihkan sebagian dari persembahan itu untuk dipakai pada Perjamuan Kudus. Setelah pemberitaan firman selesai, roti dan air anggur dibawa masuk menuju meja altar dan Perjamuan Kudus pun dimulai.
Roti dan anggur adalah makanan dan minuman sehari-hari masyarakat Timur Tengah. Mempersembahkan makanan dan minuman ke meja altar merupakan lambang persembahan hidup jemaat untuk melayani Kristus (Rom 12:1). Melaluinya jemaat mengakui: “Dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu.” (1Taw 29:14).
Selain roti dan air anggur, jemaat mula-mula juga mengumpulkan persembahan uang untuk orang miskin sesudah kebaktian selesai (di kotak persembahan)(8) . Uang itu, beserta roti dan air anggur yang tidak dipakai, dibagi-bagikan kepada orang miskin.
Langkah Keempat: Diutus Ke Dalam Dunia
Langkah terakhir dalam liturgi adalah mempersiapkan jemaat kembali berkiprah dalam dunia sehari-hari. Ibarat mobil yang sudah diservis, jemaat sudah diberi makanan rohani dan berdialog dengan Tuhan. Kini mereka harus diutus ke dalam dunia.
Ibadah di gedung gereja harus dilanjutkan dengan ibadah dalam hidup sehari-hari. Untuk menyiapkannya, dinyanyi-kan Nyanyian Pengutusan yang berfungsi menegaskan kembali pesan Firman Tuhan hari itu lewat nyanyian, sekaligus mengekspresikan tekad jemaat untuk siap diutus ke dalam dunia.
Lalu Pendeta memberikan kalimat Pengutusan (charge) yang biasanya berupa perintah/komando untuk melakukan Firman Tuhan. Agar sanggup melakukan tugas pengutusannya, jemaat membutuhkan berkat Tuhan. Itulah sebabnya Pengutusan disusul dengan pengucapan Berkat (blessing/ benediction)(9), yang biasanya diambil dari Ul 6:24-26 atau Rom 15:13.
Berkat disambut dengan aklamasi “Haleluya!” (atau “Hosiana!”/“Maranatha!” sesuai tahun liturgi). Pada akhir ibadah, diadakan Penyerahan kembali Alkitab yang menandai kebaktian telah dijalankan berlandaskan Firman Tuhan.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Liturgi yang Hidup
Kunci dari ibadah yang hidup adalah terjadinya partisipasi yang penuh (participatory worship)(10) selama ibadah, di mana anggota jemaat benar-benar terlibat secara aktif, sadar, dan berbuah. Ibadah bisa menjadi mati jika jemaat kurang dapat berpartisipasi secara sungguh-sungguh.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi hidup-tidaknya sebuah ibadah:
- Faktor Pribadi
- Faktor Liturgi
- Faktor Gereja
Jika dalam suatu ibadah, ketiga faktor di atas tidak dapat berkerjasama dengan baik atau terjadi disintegrasi di antaranya, maka muncullah ritualisme. Misalnya:
- Sebuah keluarga baru saja bertengkar, lalu mengikuti ibadah dengan suasana hati “panas.” Saat beribadah, pikiran mereka masih dipenuhi rasa jengkel dan marah sehingga tidak dapat berkonsentrasi. Akibatnya ibadah mereka menjadi ritualisme belaka karena hati mereka tidak sungguh-sungguh sedang beribadah. Di sini terjadi ritualisme karena faktor pribadi.
- Dalam sebuah kebaktian, dipakai liturgi yang penuh dengan kalimat berbunga-bunga yang susah dimengerti artinya. Jemaat dapat mengucapkannya dengan baik namun tidak dapat menghayatinya. Mereka terjebak dalam ritualisme yang terjadi karena faktor liturgi.
- Petugas sound system salah mengatur perangkat suara sehingga suara pendeta di mimbar tidak jelas terdengar. Akibatnya jemaat menjadi tidak dapat berkonsentrasi mendengarkan khotbah. Mereka terjebak dalam ritualisme karena faktor gereja.
Jika ketiga faktor di atas tidak berfungsi dengan baik, terjadilah ritualisme. Sebaliknya, jika ketiga faktor ini bisa menyatu dan berkerjasama dengan baik, yang terjadi adalah ritual yang sinergistik. Ibadah menjadi hidup.
Douglas Erickson menjelaskan bahwa skala partisipasi seseorang dalam sebuah ibadah berubah-ubah di antara nilai 0 sampai dengan 10. Ia membuat garis skala partisipasi liturgi seperti tertera di gambar. Ibadah yang hidup terjadi jika skala pratisipasi bergerak ke arah nilai 10 (terjadi ritual sinergis murni). Dalam prakteknya, skala partisipasi tiap orang berubah-ubah di sepanjang kebaktian!
E. Menghidupkan Liturgi
Setelah mengetahui adanya 3 faktor yang menentukan hidup-tidaknya sebuah ibadah, sekarang kita dapat memperhatikan bagaimana kita dapat menghidupkan sebuah liturgi.
Faktor Pertama: Pribadi
Setiap pribadi yang hadir dalam ibadah sangat menentukan tercapai atau tidaknya ibadah yang hidup. Seseorang yang beribadah harus berpartisipasi secara penuh. Ada banyak hambatan yang bisa menghalangi terjadinya partisipasi seperti itu:
- Masalah pribadi. Pergumulan hidup, kesehatan yang terganggu, rasa bersalah, krisis iman, semuanya dapat membuat seseorang tidak dapat berkonsentrasi dalam ibadah dan berpartisipasi sepenuhnya.
- Pola ibadah konsumtif. Banyak orang datang ke gereja dengan pemikiran “saya harus mendapat sesuatu,” bukannya “saya harus menyumbangkan sesuatu” dalam ibadah. Seringkali jemaat menuntut adanya ibadah yang hidup, namun tidak sadar bahwa mereka sendiri berperan besar untuk menciptakan ibadah yang hidup itu. Hal ini ibarat orang yang marah-marah ketika terjadi kemacetan total di jalan raya, namun tidak sadar bahwa ia sendiri serobot sana-sini sehingga ikut menyumbang terjadinya kemacetan itu.
- Motif yang keliru. Seseorang bisa datang beribadah hanya untuk memenuhi kewajiban, karena ada tugas, atau karena ingin menjumpai kekasihnya. Ketika orang datang dengan agenda lain, ia menjadi tidak sungguh-sungguh beribadah.
- Tidak memahami tata ibadah/liturginya. Agar dapat berpartisipasi secara sadar, jemaat perlu memahami apa yang terjadi di dalam ibadah. Misalnya: mengapa kita perlu mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli? Apa maknanya? Bagaimana mengucapkannya dengan benar? Di sini diperlukan penerangan pikiran (illumination of the mind)(11) . Orang harus diberitahu “mengapa kita melakukan ritual ini dan bagaimana melakukannya dengan benar.” Selain itu diperlukan juga penerangan hati (illumination of the heart). Yang dimaksud adalah adanya iman (Kis 26:18, Rom 8:5, Why 21:5, Yoh 9:39). Orang hanya bisa mengalami perjumpaan dengan Allah jika hatinya telah “diterangi” (2Kor 13:14-16). Hanya jika kita punya hubungan batin mendalam dengan orang lain (misalnya: suami-istri), kita dapat saling berkomunikasi secara mendalam.
Untuk mengatasi hambatan ini, apa yang dapat kita lakukan?
- Berikanlah pendidikan/formasi liturgi kepada jemaat. Setiap ritus, simbol, dan istilah yang dipakai dalam ibadah perlu dijelaskan maknanya. Patrik R.Keifert mengamati bahwa dalam masyarakat tradisional, setiap orang memiliki “kompetensi ritual” yang tinggi(12). Secara turun-temurun, orangtua mengajarkan kepada anak mereka segala ritual religius (baik cara maupun maknanya) sebagai bagian dari proses sosialisasi ketika anak menginjak usia dewasa. Sayangnya, dalam masyarakat modern, orangtua tidak lagi memberi pendidikan ritual kepada anaknya. Akibatnya, kompentensi ritual orang kota menjadi rendah, termasuk juga anggota jemaat di gereja.
- Jangan terlalu sering mengubah tata ibadah. Para pembuat liturgi seringkali tergoda untuk mengganti-ganti liturgi dengan tujuan supaya ada surprise dan jemaat tidak menjadi bosan. Mereka memandang ibadah seperti tayangan televisi. Bukankah stasiun televisi harus terus-menerus mengganti tayangan film yang diputar, sebab orang tidak suka menonton film re-run yang telah diputar puluhan kali? Mereka lupa bahwa ibadah bukan tontonan dan anggota jemaat bukanlah penonton, melainkan pemain! Untuk bisa beribadah dengan baik, jemaat harus familiar dengan tata ibadah yang dipakai. Jika belum terbiasa atau belum menguasai liturginya, mereka akan merasa menjadi orang asing (outsider) dan tidak bisa menikmati ibadah itu.(13). Menguasai liturgi sama halnya seperti orang belajar menyetir mobil atau bermain piano. Pertama-tama rasanya kaku. Kita sangat terikat dengan aturan teknis permainannya sehingga tidak bisa menikmati indahnya. Namun setelah diulang puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali, kita menjadi makin mahir. Pengulangan justru membuat kita makin menguasai tekniknya, menjadi bebas dan menyatu dengan mobil/piano itu. Ketika seseorang menguasai sebuah liturgi, maka liturgi itu akan menyatu dengan mereka dan menjadi bagian dari gaya mereka beribadah! Jika liturgi terlalu sering diubah, jemaat akan menjadi bingung dan merasa selalu menjadi outsider yang belum mengerti “aturan permainan.” Ini bukan berarti sebuah liturgi tidak boleh diubah sama sekali. Perubahan liturgi penting dan perlu, tetapi jangan terlalu radikal atau terlalu sering. Jemaat membutuhkan kontinuitas(14). Variasi boleh diadakan, namun kita harus bisa membedakan mana elemen yang bersifat baku (ordinarium) dan yang bersifat variabel (proprium)(15). Elemen yang baku harus dipertahankan, tetapi yang variabel (pemilihan lagu, doa, khotbah) bisa diganti setiap minggu.
- Berikan jemaat waktu untuk merenung. Kita perlu menciptakan suasana hening di dalam ibadah. Ada banyak cara untuk melakukannya. Misalnya, dengan membiasakan hening selama 5-6 hitungan sebelum seseorang memimpin doa atau selesai pembacaan Alkitab. Jemaat juga perlu diberi kesempatan untuk menaikkan doa pribadi, misalnya sebelum doa pengakuan dosa bersama. Jika di dalam liturgi ada ungkapan puitis, bacakanlah dalam tempo lambat dan berilah jeda pada tiap kalimat, agar jemaat punya waktu untuk merenungkan makna puisi itu. Ingatlah bahwa ungkapan puitis membutuhkan waktu proses yang lebih lama untuk dicerna dalam otak kita.
Faktor Kedua: Liturgi/Tata Ibadah
Faktor liturgi (dalam arti sempit: tata ibadah) juga mempengaruhi kemungkinan terciptanya ibadah yang hidup. Sebuah liturgi dapat menolong atau menghalangi terjadinya ibadah yang hidup. Misalnya:
- Jika sebuah liturgi penuh dengan kalimat yang sulit dicerna, jemaat akan mengucapkannya tanpa menghayati maknanya (jatuh ke dalam verbalisme).
- Jika liturgi tidak dapat mengekspresikan dengan tepat apa yang menjadi pergumulan jemaatnya, jemaat tidak akan merasa terlibat di dalamnya.
- Jika sebuah liturgi sarat dengan kata-kata dan aksi, namun tidak memberi kesempatan sedikit pun bagi jemaat untuk merenung (hening), jemaat tidak dapat berefleksi dan menyadari siapa dirinya di hadapan Allah.
Untuk mengatasi hambatan ini, apa yang dapat kita lakukan?
1. Carilah kata-kata yang tepat; yang dapat mengungkapkan pergumulan iman jemaat dengan tepat.
Ketika menyembah Tuhan, jemaat memerlukan kata yang tepat untuk mengekspresikan pergumulan imannya. Liturgi berperan menyediakan kata-kata; menyediakan bahasa untuk ibadah(16). Bagaimana mencari kata-kata yang tepat?
a. Dari Alkitab
Banyak teks liturgis berasal dari Alkitab. Contoh: Berkat Harun (Bil 6:24-26), Mazmur, Doa Bapa Kami, dll. Kata-kata ini dipakai dan diwariskan dari generasi ke generasi karena sudah terbukti mampu untuk menjalin komunikasi antara jemaat dengan Tuhan.
b. Dari ungkapan yang telah teruji oleh waktu
Sebagian kata-kata di liturgi berasal dari ungkapan yang telah dipakai ratusan tahun lamanya dan nilainya telah teruji oleh waktu(17). Contoh:
-
- Janji pernikahan. “Aku mengambil… Sebagai istri/suamiku… aku berjanji untuk setia padanya dalam susah maupun senang, sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan kita berdua.” Teks ini sudah dipakai sejak abad ke-12 dalam liturgi pernikahan. Sampai sekarang tidak mengalami banyak perubahan dan diterima oleh pelbagai denominasi gereja(18). Mengapa? Karena sulit untuk menemukan ungkapan yang lebih agung. Ungkapan ini berisi performative language: ketika diucapkan, kata-katanya mempunyai dampak luas dan mengubah status atas kondisi orang yang mengucapkannya.
- Ungkapan “Dalam nama Tuhan Yesus Kristus” di akhir setiap doa. Sejak kapan orang mengakhiri doa dengan kalimat ini? Para pakar liturgi menemukan bahwa kalimat ini mula-mula muncul dalam buku-buku liturgi doa tertulis di abad keduabelas. Di sana setiap doa selalu diakhiri dengan kalimat “per Jesum Christum Dominum nostrum” (through Jesus Christ our Lord). Lama-kelamaan kebiasaan ini dipakai orang dalam doa-doa pribadi sampai hari ini.
c. Dari kata-kata yang dipilih secara cermat.
Ada banyak buku yang berisi doa-doa tertulis (written prayer), puisi atau litani. Di dalam buku-buku tersebut, semua kata sudah dipilih dengan cermat. Kita dapat memanfaatkannya. Kelebihan doa tertulis adalah pilihan katanya lebih kaya dan dalam. Sebaliknya kata-kata doa spontan cenderung lebih dangkal atau mengulang-ulang, karena ketika berdoa, orang sulit menemukan kata-kata yang tepat dalam waktu singkat(19).
d. Dari rangkaian kalimat yang kita buat dan pilih dengan cermat.
Kadang kalimat dari buku-buku liturgi tidak dapat mengungkapkan pergumulan khusus yang dihadapi jemaat (misalnya: kenaikan BBM, persoalan gereja-gereja yang ditutup, bencana Tsunami, dll). Kita dapat membuat sendiri litani, lagu, atau doa tertulis. Membuatnya tidak mudah, karena memerlukan perenungan yang dalam, pemilihan kata yang cermat, dan kemampuan mengartikulasikan dengan jelas pergumulan jemaat.
-
- Pakailah kata yang tepat. Kata-kata yang dipakai akan mempengaruhi persepsi orang terhadap suatu pengalaman. David Buttrick berkata “dengan kata-kata, kita menamai dunia” (with words, we name the world)(20). Kata-kata memberi label pada pengalaman kita.
- Pakailah kata-kata yang jelas. Kata-kata dalam liturgi harus dapat dipahami maksudnya oleh jemaat. Hindari kalimat berbunga-bunga.
- Pakailah kata-kata yang baku. Kebaktian adalah ibadah publik, maka kita harus memakai bahasa yang pantas. Dalam ilmu liturgi bahasa semacam ini disebut dengan “liturgical syntax.”(21)
2. Libatkan partisipasi multi-indera (Multisensate Participation).
Salah satu karya Allah yang terbesar adalah mengirimkan Kristus menjadi manusia. Dalam Kristus, Allah mewujud dalam rupa insan sehingga kita bisa berkomu-nikasi kepada Allah lewat segenap panca indera. Bukan hanya komunikasi verbal (lewat kata-kata), tetapi juga komunikasi non-verbal (lewat tindakan, raut wajah, gerak tubuh, dll).
Dalam ibadah pun perlu ada partisipasi multi-indera. Sikap tubuh seperti berdiri, berlutut, menengadah, mengangkat tangan (orans), berpegangan tangan, memegang roti/cawan, berjalan, dll, menolong meningkatkan partisipasi jemaat. Mereka bisa mengekspresikan imannya bukan hanya dengan segenap hati, tetapi juga dengan gerakan tubuh. Namun semuanya perlu disesuaikan dengan konsensus yang berlaku dalam jemaat.
3. Libatkan Anggota Jemaat dalam liturgi.
Karena gereja adalah Imamat Rajani, anggota jemat harus diberi peran dalam ibadah, sesuai karunia masing-masing.
a. Paduan Suara (choristers)
Peran paduan suara yang utama bukanlah unjuk kebolehan, melainkan menolong jemaat bernyanyi. Jika paduan suara duduk di depan dan terlihat oleh jemaat, mereka dapat memberi contoh (teladan) bagaimana melakukan ritus-ritus ibadah dengan benar.
d. Cantor
Cantor adalah pemimpin nyanyian. Ia dapat dipilih dari orang yang memiliki talenta musik sekaligus mampu mendidik. Selain memimpin jemaat bernyanyi dalam ibadah, cantor memperkenalkan lagu baru kepada jemaat dan mengoreksi kesalahan menyanyi.
e. Lektor
Sejak ibadah di sinagoge sudah ada ketentuan bahwa jika lebih dari 10 orang anggota jemaat hadir, Kitab Taurat akan dibacakan oleh salah satu lelaki dewasa yang hadir (bdk. Luk 4:16-17). Tradisi pembacaan Alkitab oleh anggota jemaat diteruskan di gereja. Paulus menasehatkan jemaat untuk hadir dalam ibadah membawa “pengajaran” (1Kor 14:26; kata aslinya “didache” yang berarti pengajaran Yesus atau Para rasul yang tertulis dalam kitab-kitab; bdk.1Tim 4:13; Kol 4:16). Kita dapat menunjuk anggota jemaat untuk membaca Alkitab. Pilihlah orang yang mampu membaca dengan hidup, tidak monoton, dan sesuai dengan karakter teks yang dibaca. Di sini diperlukan latihan, pendampingan, dan latihan.
f. Kordinator
Dalam ibadah, koordinator sangat dibutuhkan untuk memadukan pekerjaan dari pelbagai pemimpin liturgi. Sama seperti manajer panggung (stage manager), tugasnya mengatur agar ibadah berjalan sesuai dengan rencana. Ia harus memastikan bahwa lampu ruangan diredupkan pada saat yang tepat (seperti tertera di kertas liturgi), bahwa para petugas telah hadir dan memahami bagiannya masing-masing, dan segala sesuatu berjalan lancar. Seorang koordinator harus memiliki karunia ketelitian dan ketenangan. Ia harus dapat mengamati/mencium adanya tanda-tanda sesuatu yang tidak beres dan segera mengambil keputusan/ tindakan untuk ‘menyelamatkan situasi’ tanpa menarik perhatian jemaat.
Faktor Ketiga: Gereja
Faktor ketiga yang menentukan hidupnya sebuah ibadah adalah gereja. Yang dimaksud di sini adalah sarana-prasarananya (gedung, perlengkapan, peraturan gereja, maupun iklim jemaatnya) dan sumber daya manusianya (pengkhotbah, liturgos, pemandu pujian, pemusik, paduan suara, tim penyambutan, petugas sound, dll). Semuanya dapat menolong jemaat beribadah lebih khusuk atau sebaliknya mengganggu jalannya ibadah.
- Pengkhotbah yang dapat menyampaikan Firman Tuhan dengan komunikatif akan menolong jemaat bergumul dengan Firman. Sebaliknya, pengkhotbah yang tidak siap akan membuat jemaat jenuh dan malas mengikuti khotbah.
- Pemusik dapat menolong jemaat mengekspresikan imannya dalam pujian, namun jika ia memainkan lagu dengan tempo yang keliru atau gaya yang tidak sesuai, ia bisa menghalangi jemaat menyanyi dengan sepenuh hati.
- Petugas sound dapat menolong jemaat mendengarkan khotbah dengan jelas dan menciptakan keseimbangan yang harmonis antara suara musik dengan suaa jemaat saat menyanyi. Sebaliknya, pengaturan yang keliru (munculnya feedback, microphone lupa dinyalakan, volume sound system memekakkan telinga) dapat merusak suasana ibadah.
- Ruang ibadah juga menentukan tingkat partisipasi jemaat. Ruangan yang akustiknya buruk membuat jemaat malas bernyanyi karena suara mereka hilang tertelan. Ruangan ibadah dapat menciptakan suasana teduh dan reflektif, sebaliknya dapat juga membuat jemaat sukar berkonsentrasi.
- Iklim jemaat juga sangat berpengaruh. Sebuah gereja yang sedang dilanda perpecahan, dimana anggotanya saling membenci, sulit untuk dapat menikmati ibadah yang hidup. Bukan tidak mungkin, mimbar pun dapat dijadikan ajang perseteruan dengan dimasukkannya “agenda terselubung” di dalam khotbah!
Untuk mengatasi hambatan ini, apa yang dapat kita lakukan?
- Dekorlah ruang ibadah agar dapat menciptakan suasana ibadah yang khusuk. Tata cahaya, rangkaian bunga, tanaman, lilin, kaca patri berwarna, bendera dengan warna-warna liturgis, semuanya dapat menciptakan suasana religius. Ruang ibadah adalah “jendela sorga”; dari dalamnya kita bisa mendapatkan visi tentang sorga. Dalam bahasa Inggris, ruang ibadah sering disebut dengan sanctuary: tempat berlindung yang teduh bagi jiwa yang penat. Oleh sebab itu hindarilah kabel-kabel yang berserakan dan membuat ruang ibadah menjadi seperti studio TV atau panggung teater. Ciptakanlah “suasana gereja.”
- Persiapkan segala peralatan yang akan dipakai sebelum ibadah. Semua peralatan ibadah harus telah disiapkan sebelum jemaat datang. Jika sebuah gereja sangat mengandalkan alat elektronik (microphone, LCD proyektor, alat musik elektronik), ibadahnya disebut dengan ‘high-tech worship’ yang sangat bergantung pada aliran listrik dan berfungsinya alat elektronik. Sisi negatif dari high-tech worship adalah ibadah bisa menjadi kacau jika perangkat elektronik tidak bekerja dengan baik!
- Setiap pelayan ibadah harus berdedikasi. Syarat utama para pelayan ibadah (pengkhotbah, pemusik, cantor, dll) adalah berdedikasi. Dedikasi (to dedicate) artinya melakukan sesuatu dengan penuh kerelaan berkorban (baik waktu, tenaga, pikiran dan perasaan) karena yakin bahwa apa yang kita lakukan sangat penting. Seorang yang berdedikasi akan datang tepat waktu dan dengan persiapan matang. Ia akan tetap bertugas sekalipun ada tawaran acara lain yang lebih menarik. Jika terpaksa tidak bisa datang, ia sudah mempersiapkan pengganti dan memastikan bahwa sang pengganti bisa bekerja dengan baik. Ia tidak akan mogok atau merajuk saat ada persoalan muncul antar sesama pelayan. Tanpa dedikasi, seorang pelayan tanpa sadar dapat menjadi pengganggu ibadah. Ketidakseriusannya berdampak besar pada ibadah jemaat.
- Pelayan Ibadah perlu ikut beribadah. Pemimpin ibadah harus menenggelamkan dirinya sendiri dalam ibadah itu. Selain harus berkonsentrasi pada tugasnya, ia tidak boleh bersikap seperti wasit yang hanya mengamati orang bermain bola tanpa ikut terlibat bermain!
Demikianlah telah kita bahas pelbagai faktor yang dapat kita perbaiki untuk menciptakan liturgi yang hidup. Menghidupkan ibadah ternyata tidak perlu dilakukan dengan membuat liturgi yang aneh-aneh atau spektakuler. Pakailah liturgi yang ada dan upayakan semua elemen yang terlibat dalam ibadah berkerjasama secara harmonis!
catatan kaki:
- Sebenarnya dalam arti luas, “ibadah yang hidup” adalah mempersembahkan seluruh hidup bagi Tuhan, dalam artian kita memiliki kesaksian hidup yang baik dan melakukan firmanNya dalam hidup sehari-hari (Rom 12:1-2). Pengertian ibadah tidak hanya terbatas pada kebaktian minggu. Namun dalam makalah ini, pengertian “ibadah” dibatasi hanya pada arti sempit: ibadah/kebaktian minggu.
- Vatican Council II, The Constitution on the Sacred Liturgy, art. 2
- James F.White, Introduction to Christian Worship: Third Edition (Nashville: Abingdon, 2000), 22
- Howard L.Rice & James C.Huffstutler, Reformed Worship (Louisville: Geneva Press, 2001), 83
- J.G.Davies & A.Raymond George, Eds., The Worship of The Reformed Church (Richmond: John Knox Press, 1966), 60-61
- Peter C. Bower, Ed., The Companion to The Book of Common Worship (Louisville: Geneva Press, 2003), 23
- Peter C. Bower, Ed., The Companion to The Book of Common Worship (Louisville: Geneva Press, 2003), 33
- Itulah sebabnya di banyak gereja masih dapat kita temukan kotak persembahan yang biasanya ditaruh di depan pintu masuk ruang ibadah, sebagai batas antara “gereja” dan “dunia.” Hal ini muncul dari pemahaman teologis bahwa pertemuan jemaat dengan Kristus di meja perjamuan harus dilanjutkan di dalam dunia, di mana Kristus sudah menanti jemaat dalam sosok “mereka yang paling hina di antaramu.” Dengan memasukkan uang ke kotak persembahan sambil berjalan keluar ruang ibadah, jemaat diingatkan untuk peduli pada orang miskin.
- Istilah yang dipakai beragam antara “blessing” dan “benediction
- Craig Douglas Erickson, Participating in Worship: History, Theory, and Practice (Louisville: Westminster/John Knox, 1998), 3
- Craig Douglas Erickson, Participating in Worship: History, Theory, and Practice (Louisville: Westminster/John Knox, 1998), 5
- Patrick R.Keifert, Welcoming The Stranger: A Public Theology of Worship and Evangelism (Mineapolis: Fortress Press, 1992), 117
- William H. Willemon, The Service of God: How Worship and Ethics Are Related (Nashville: Abingdon, 1990), 69
- Elaine Ramshaw, Ritual and Pastoral Care (Philadelphia: Fortress, 1987), p. 25
- J-.J von Allmen, Worship: Its Theology and Practice (London: Lutterworth, 1965), p. 307
- Ruth C.Duck, Finding Words For Worship: A Guide for Leaders (Louisville: Westminster John Knox, 1995), 1-9
- Jeremy Fletcher & Christopher Cocksworth, The Spirit and Liturgy (Cambridge: Grove Books, 1998), p. 6
- Jeremy Fletcher & Christopher Cocksworth, The Spirit and Liturgy (Cambridge: Grove Books, 1998), p. 6
- John Leech, Living Liturgy ( Eastbourne: Kingsway Publications, 1997), p. 63
- David Buttrick, Homiletics (Philadelphia: Fortress Press, 1987), 7
- David Buttrick, Homiletics (Philadelphia: Fortress Press, 1987), 34
3 Comments
won_bin
Mei 7, 2010 - 2:11 pmsaya sangat senang membaca arti liturgi tersebut sebab, menambah wawasan saya tentag liturgi, maknanya dan aplikasinya. wawasan itu membantu saya dalam menjawab soal-soal dalam mata kuliah LITURGIKA, di STT-GKE Banjarmasin.
Sandro Panca Pardede
Juni 5, 2011 - 6:48 pmSaya sangat terkesan karena smua yang tertulis di sini sangat membantu seseorang yang akan masuk atau menjadi seorang pendeta/penginjil.
Herman Sbastian
Februari 21, 2015 - 5:58 amTerimakasih atas sharing pengetahuannya, memberikan pencerahan disaat banyak pengaruh yang berlomba lomba membuat ibadah sebagai tempat hiburan..
Tuhan memberkati web ini.