Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah menyebut nama, mungkin kita sudah bisa menerka, siapa yang mewariskan apa. Ada yang mewariskan sikap gotong royong dan jiwa mandiri sebagai bangsa. Ada yang mewariskan birokrasi yang koruptif, kolutif dan nepotisme. Ada juga yang mewariskan sikap toleransi dan humanis, atau malah mewariskan bangunan mangkrak. Sejarah juga akan mencatat pemimpin yang meninggalkan warisan infrastruktur seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, bendungan dan lain sebagainya.
Sebagai keluarga, apakah yang kita persiapkan untuk kita wariskan kepada anak- cucu kita? Mungkin rumah dan tanah atau warisan asuransi? Mungkin ini baik dari pandangan masyarakat umum, tetapi firman Tuhan mengatakan, kenapa kita terlalu berfokus kepada hal-hal yang bisa habis oleh ngengat? Apakah warisan nama baik? Atau hal-hal lain yang menjadi warisan kepada anak-cucu kita? Iman misalnya. Kita mengenal tokoh muda di Alkitab Perjanjian Baru. Timotius. Ya Timotius, yang muda yang berkarya. Dari siapakah iman Timotius diwariskan? Alkitab mencatat dari neneknya Lois dan ibunya Eunike (2 Timotius 1:1-14). Dasar iman yang kuat telah diwariskan, sehingga menjadi fondasi yang kuat untuk menopang pelayanannya menjadi mitra kerja Paulus.
Warisan iman tidak akan jauh dari pohon keluarga. Pohon yang baik pada umumnya akan mengeluarkan buah yang baik pula. Oleh karena itu izinkan saya untuk bercerita tentang pohon keluarga saya. Saya dilahirkan di keluarga non-Kristen dan tinggal di pedesaan di tepi hutan jati, di lereng pegunungan Kendeng di Jawa Tengah bagian utara. Warisan yang diturunkan adalah etos kerja keras. Dari SMP saya sudah diajarkan untuk mencari uang sendiri kalau menginginkan sesuatu. Hal ini baik karena meninggalkan sikap ulet, tidak pantang menyerah dan kreatif. Namun apakah itu saja cukup untuk menghadapi gelombang kehidupan yang keras? Saya jawab: Tidak!
Jawaban ini saya peroleh dari apa yang saya alami. Kami sekeluarga menjadi Kristen karena kecelakaan. Setahun setelah peristiwa G30S/PKI, kami menjadi Kristen karena takut dituduh PKI. Kebetulan di sebelah rumah diadakan kebaktian setiap Minggu, belum menjadi gereja, masih “pos pepanthan” atau pos PI. Saya hanya mendengarkan cerita Alkitab seminggu sekali di kelas Sekolah Minggu. Menginjak SMP, saya pindah menumpang hidup di rumah nenek di kota kecamatan yang ada sekolah SMP-nya. Menjelang SMA, orangtua saya bangkrut, sehingga memaksa Papi dan Mami pisah sementara untuk mencari penghidupan sendiri-sendiri. Saya ikut Mami di Kudus dan sekolah SMA di sana. Menjelang ujian SMA menjadi titik terendah kehidupan iman saya. Saya putus asa dan mengalami depresi karena kuliah adalah barang mewah yang tidak terjangkau oleh keadaan ekonomi keluarga. Saya mencoba bunuh diri dengan meminum pil setengah botol (entah obat apa, saya sendiri tidak tahu). Percobaan bunuh diri itu gagal. Bukannya mati, tetapi saya tidak bisa tidur selama seminggu. Ternyata mental yang ditempa etos kerja keras tidak sanggup bertahan oleh terpaan keadaan dan akhirnya tumbang karena tidak ditopang oleh spiritual yang tangguh.
Namun dunia belum berakhir. Atas perantaraan paman saya yang menjadi dosen, akhirnya saya bisa kuliah di Salatiga dengan kemurahan hati seorang dosen dari Belanda. Tahun kedua dan ketiga saya mendapat beasiswa dari Sinode GKI-GKJ. Saya aktif di Perkantas dan persekutuan kampus, dan saya yang terhilang ditemukan oleh Yesus Kristus untuk menjadi murid-Nya dan partner kerja-Nya dengan dianugerahi talenta menulis. Lewat tulisan saya di renungan harian ataupun buku yang saya tulis, saya berharap tulisan saya dapat menyapa pembaca, syukur dapat menjadi berkat.
Oleh karena pengalaman pahit itu saya mencoba mewariskan sikap dan kebiasaan yang baik bagi anak anak saya, agar pengalaman itu tidak terulang. Anak sulung saya sejak kecil rajin bersaat teduh setiap hari dan kebiasaan ini berlanjut sampai kuliah, walau jauh dari orangtuanya. Kerusuhan Mei 1998 mengurungkan niatnya untuk kuliah di Universitas Trisakti. Puji Tuhan, dia mendapat program ‘loan’ dari pemerintah Singapura untuk kuliah di Nanyang Technology University. Sejak itulah dia tinggal di Singapura sampai saat ini, bekerja dan berkeluarga di sana, dan sudah dikarunia dua putri yang cantik dan lucu sehingga menyenangkan bagi ‘Yeye’ dan ‘Nai-nai’. Kebiasaan sejak kecil bersaat teduh pun diwariskannya ke anak-anaknya. Puji Tuhan! Warisan yang sangat indah, yang tidak akan lekang oleh zaman dan habis diembat oleh ngengat. Saya hanya bisa berdoa agar mereka hidup dengan takut akan Tuhan.
Kondisi pandemi yang rasanya tak berujung kali ini, bisa membuat ekonomi keluarga oleng dan jiwa yang penat. Spiritual yang dibangun sejak kecil akan menjadi fondasi yang kokoh untuk menyikapinya. Kalau kita tidak bisa menenangkan badai, menenangkan diri lebih baik. Badai pasti berlalu.
The greatest legacy one can pass on to one’s children and grandchildren is not money or other material things accumulated in one’s life, but rather a legacy of character and faith (Billy Graham).
| EDDY NUGROHO
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.