Kuat Dalam Kalut

Belum ada komentar 210 Views

Hampir semua orang yang mengenal kisah Natal (baca: kelahiran Kristus) pernah mendengar nama Raja Herodes. Ia raja yang haus kekuasaan. Tidak ada yang boleh merebut takhtanya, bahkan anaknya pun akan dibunuhnya jika melakukan hal itu. Suatu hari ia mendengar bahwa orang-orang Majusi dari Timur datang ke Yerusalem dan bertanya-tanya, “Di manakah Dia, Raja orang Yahudi yang baru lahir itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan datang untuk menyembah-Nya.” Mendengar tentang kelahiran Raja orang Yahudi, Herodes mulai merasa disaingi sehingga ia membuat strategi untuk membunuh-Nya. Ketika ia mencari tahu dari orang-orang Majusi yang datang menghadapnya sebagai tamu, tanpa curiga mereka menjawab: “Di Bethlehem di tanah Yudea, karena demikianlah tertulis di dalam kitab nabi: Tetapi engkau, hai Bethlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel…” Mendengar penjelasan itu, Raja Herodes pun berpesan agar mereka segera memberitahukan kepadanya bila menemukan Raja itu, sehingga ia pun dapat datang untuk menghormatinya.

Penantian Raja Herodes sia-sia, karena ternyata orang-orang Majusi mengambil jalan pulang yang berbeda dari saat mereka datang. Ia menjadi sangat geram dan memerintahkan semua anak laki-laki yang berumur 2 tahun ke bawah segera disingkirkan.

Pengumuman ini tentu saja mengubah suasana yang tadinya penuh dengan sukacita menjadi suasana berdarah yang penuh ratapan dan kesedihan. Keriuhan, bahkan kehebohan dalam mempersiapkan kehadiran sang Mesias, Raja Damai yang dinanti-nantikan itu, seolah-olah sirna ditelan kepedihan yang berkepanjangan.

Apakah hal ini kebetulan? Kala umat Kristen mempersiapkan diri menyambut Natal dalam kehangatan kegembiraan bersama keluarga dan handai tolan, sekonyong-konyong mereka dikejutkan oleh peristiwa 13 November 2015 di Paris–Perancis. Suatu peristiwa yang disebut dengan “Horror Friday the 13th”. Setidaknya 153 jiwa meninggal akibat aksi brutal ini dan ratusan lain luka-luka. Delapan pelaku yang menyebut diri sebagai pejihad ISIS beraksi di 6 lokasi berbeda di Paris dan mereka menembaki orang-orang, bahkan melakukan bom bunuh diri. Suasana kalut itu berlangsung selama sekitar 4 jam, ketika berlangsung pertandingan persahabatan antara Prancis dan Jerman yang ditonton sekitar 80 ribu orang. Seorang warga tewas dan 3 pelaku yang menggunakan jaket bom juga tewas. Kemudian beberapa menit setelah peristiwa yang mengerikan itu, terjadi lagi penembakan di sebuah restoran Kamboja yang terkenal, dan menewaskan 14 orang pengunjung restoran. Kemudian disusul dengan penembakan di Rue de Charonne, yang menewaskan 18 orang. Dan yang paling akhir adalah sejumlah tembakan di Bataclan, di mana sebuah konser dari band AS “Eagles of Death Metal” tengah manggung.

Kehebohan yang terjadi menjelang minggu Adven yang pertama itu ternyata punya latar belakang yang tidak jauh berbeda dari pola pikir Herodes yang haus kekuasaan. Beberapa pengamat berpendapat bahwa faktor yang mendorong terjadinya aksi kekerasan itu dilatarbelakangi oleh keinginan sekelompok orang untuk menguasai politik dan ekonomi suatu negara melalui penguasaan sumber daya alam. ‘Kekuatan-kekuatan rakus’ ini membentuk sistem kelompok radikal dan memelihara kelompok-kelompok garis keras (minoritas dan etnis radikal) dengan seolah-olah mendukung perjuangan mereka. Karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor demi tujuan tertentu yang lebih dari sekadar teror, merupakan motif utama bagi para pelaku tindak kekerasan itu.

Faktor kemiskinan, pengangguran, kurangnya kesempatan mengenyam pendidikan, tidak adanya kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam kompetisi, menyebabkan timbulnya dendam, iri hati, kecewa, putus asa, yang akhirnya mendorong komunitas yang tersisihkan ini gampang dibujuk untuk ikut dalam gerakan kekerasan tersebut. Bayangkan ketika seekor binatang peliharaan yang sehari-harinya “lulut” (jinak), lupa diberi makan selama beberapa hari, akhirnya ia memangsa bayi majikannya. Demikian juga ketika seseorang dalam keadaan lapar dan tidak diperhatikan, maka ia akan melakukan apa saja untuk mengatasi kelaparannya dan menghadirkan dirinya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik), atau dapat pula diartikan sebagai praktik tindakan teror. Terorisme sendiri pada hakikatnya merupakan suatu tindak kejahatan ekstrim yang sengaja dirancang untuk menebarkan teror, ancaman, ketakutan, kekhawatiran, dan rasa tidak aman di tengah masyarakat, sehingga menimbulkan pergolakan dan ketidakstabilan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik.

Kekalutan masyarakat akibat kekerasan, kekacauan dan kerusuhan yang terjadi di sekitarnya dapat berdampak besar terhadap masalah politik, perekonomian bahkan hubungan antar agama di suatu negara. Peristiwa demi peristiwa yang menghancurkan dan yang terjadi tanpa dapat diduga, menyebabkan masyarakat dunia menjadi was-was karena takut kehilangan keamanan, ketentraman, kemapanan dan kenyamanan dalam hidup mereka.

Situasi kalut bisa saja terjadi dalam hidup keseharian, ketika kita harus menghadapi kenakalan anak, ketika harus mengatasi persoalan ekonomi rumah tangga, ketika menyadari bahwa target tidak mungkin tercapai, ketika harus menghadapi kegagalan demi kegagalan, ketika tidak mendapatkan perhatian atau penghargaan dari orang lain, dan masih banyak hal lain lagi. Akibat dari kekalutan ini, orang sering tidak mampu berpikir jernih, sehingga dapat berujung pada suasana penderitaan. Pada akhirnya, ketika ia tidak lagi tahan menghadapinya, dan mengambil jalan paling singkat, yaitu dengan mengakhiri hidupnya.

Ketika seseorang dalam keadaan kalut, mungkin hal itu dirasakan sebagai beban yang sungguh berat di pundaknya. Terkadang beban itu menakutkan, mencekam, bahkan tidak jarang mematikan. Inisiatif dan kreativitas secara spiritual bisa mati karena hati dan budi manusia tidak tahan terhadap sengsara dan derita yang berkepanjangan.

Menghadapi situasi kalut yang saat ini sedang terjadi, saya teringat pada buku yang ditulis oleh Henri Nouwen, berjudul “Beyond the Mirror”, yaitu suatu renungan atas kematian dan kehidupan berdasarkan pengalaman yang mendatangkan makna.

Kematian Adalah Suatu Kepastian – Bagaimana Menghadapinya?

Siapa yang menyangkal bahwa kematian adalah suatu kepastian? Meskipun tidak ada yang menyangkal, namun mungkin banyak yang mengabaikannya. Orang tidak berbicara banyak tentang hal itu dan lebih banyak mengarahkan energinya untuk hal-hal lain yang dianggapnya lebih penting. Apakah kita sudah mempersiapkan diri untuk mati? Mungkin pertanyaan ini aneh, sebab ada yang percaya bahwa kematian hanyalah akhir dari sesuatu, atau berada dalam situasi ketiadaan, atau hanya sekadar perhentian waktu kita, jadi buat apa dipersiapkan.

Kematian yang dihadapi oleh Henri Nouwen akibat suatu peristiwa kecelakaan lalu lintas, menyadarkan dirinya bahwa kematian adalah subjek yang secara khusus tidak kita ketahui datangnya, bahkan mungkin selalu berusaha kita hindari. Namun ketika kita menyadari bahwa kematian adalah suatu kepastian, maka menghadapi maut merupakan suatu kekayaan tersendiri yang memberikan dorongan atau motivasi kuat untuk hidup dengan penuh inisiatif dan kreatif.

“Semua yang telah saya pelajari melalui hidup,” demikian ungkap Nouwen dalam bukunya, “dan semua yang saya alami selama pertemuan saya dengan kematian, telah mengajarkan saya bahwa kematian adalah seperti sebuah kelahiran kedua, yang menuntun saya menuju ke suatu cara hidup yang baru. Saya tidak punya sesuatu yang bisa saya katakan berkaitan dengan kelahiran pertama saya. Tetapi saya mempunyai banyak hal yang bisa saya katakan tentang kelahiran kedua saya. Saya mengatakan semua ini secara langsung dan begitu bebas karena saya percaya. Saya percaya bahwa hidup saya, apakah singkat atau panjang, adalah karunia Tuhan. Saya percaya bahwa Tuhan, yang telah memberi hidup kepada saya, mengasihi saya dengan kasih abadi. Saya percaya bahwa kasih abadi ini lebih kuat daripada kematian, dan saya percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi selama hidup saya memberi saya kesempatan untuk membiarkan kematian saya menjadi kelahiran kembali.”

Dalam bukunya Beyond the Mirror tersebut, Nouwen sedikit bercerita tentang kecelakaan yang dialaminya. Waktu itu ia mendapat luka serius setelah terserempet kaca spion kiri mobil van yang melaju kencang ketika ia sedang mencari tumpangan pada suatu pagi musim dingin yang gelap dan tertutup salju tebal dan es di sepanjang jalan. Kecelakaan ini mengharuskannya dibedah, dan menyadarkannya bahwa ia sudah dekat dengan kematian.

Bagi Nouwen, kematian itu sendiri menjadi sebuah cermin yang menuntunnya pada pertanyaan, “Siapakah saya?” Suatu pertanyaan yang sangat pribadi, yang menggambarkan identitas seseorang dan sekaligus yang selalu dibawa ke mana-mana. Ternyata identitasnya sebagai seorang teolog, psikolog, dosen yang pernah mengajar di Yale dan Harvard, yang pernah menulis banyak buku, bukanlah pendapat yang membuatnya nyaman pada saat akhir hidupnya. Kematian menelanjangi banyak lapisan luar identitas yang kita kenakan.

Dan akhirnya, yang memberikan ketenangan atas pertanyaan “Siapakah saya?” itu adalah kata-kata ini yang didengarnya secara langsung, “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Matius 3:17). Nouwen mendengar bahwa kata-kata ini tidak saja ditujukan kepada Yesus, tetapi juga kepada dirinya dan semua orang yang diwakili dalam Yesus.

Ketika pernyataan ini diterimanya secara penuh, maka seluruh identitas yang lain seakan-akan tidak ada gunanya lagi. Inilah yang dibutuhkannya dalam menghadapi kematian, yaitu pernyataan Tuhan atas jati diri seseorang, suatu pernyataan yang memberikan jaminan tentang hal penting yang akan terjadi selanjutnya setelah seseorang mengalami kematian. “Sekali saya menerima kata-kata ini secara penuh,” ungkap Nouwen, “saya dibebaskan dari nafsu untuk membuktikan kehebatan diri saya kepada dunia, dan saya dapat hidup di dalamnya tanpa menjadi miliknya. Sekali saya menerima kebenaran bahwa saya adalah anak Allah yang terkasih, yang dicintai tanpa syarat, saya dapat diutus ke dalam dunia untuk berbicara dan berkarya seperti yang dulu dilakukan oleh Yesus.”

Kecelakaan yang dialami oleh Nouwen, membawanya ke situasi ambang kematian yang sekaligus menuntunnya masuk ke dalam pengalaman yang baru tentang Allah. Dukacita dan penderitaan yang dialami seseorang ternyata tidak hanya membersihkan dirinya, tetapi sekaligus juga memisahkan dirinya dari barang-barang materiil dan kelekatan pada apa yang bersifat duniawi, yang bersifat sementara saja. Karena itu, dukacita dan penderitaan sebenarnya adalah guru-guru ulet yang mempersiapkan kita pada kematian, yang merupakan pelepasan terakhir dari yang sementara untuk yang abadi. Kematian adalah situasi terakhir yang membawa seseorang menuju kemerdekaan dan hidup abadi.

Jawaban Ibu Teresa, sang biarawati pendamping orang-orang yang menderita di India, atas pertanyaan Nouwen terkait permasalahan rumit yang sedang dihadapinya, sangat sederhana dan seolah-olah tidak “nyambung”, namun ketika direnungkan menjadi ungkapan yang sangat dalam maknanya. “Kalau Anda setiap hari melewatkan waktu satu jam untuk sujud di hadapan Tuhan dan tidak pernah melakukan apa pun yang menurut pendapat Anda keliru, … maka semuanya akan beres!”

Mendengar penjelasan Ibu Teresa, Nouwen sadar bahwa “balon besar” dalam dirinya yang penuh dengan berbagai macam keluhan telah digemboskan. Ibu Teresa telah menarik dirinya dan menunjukkan arah di mana ia dapat mengalami penyembuhan yang sesungguhnya. Hal yang sangat menarik adalah bahwa ketika Nouwen mengajukan pertanyaan “dari bawah”, Ibu Teresa memberikan jawaban “dari atas”. Jawaban Ibu Teresa adalah jawaban yang datang dari Allah, bukan dari tempat yang menampung keluhan-keluhannya. Kebanyakan kita menjawab pertanyaan-pertanyaan dari bawah. Akibatnya muncul makin banyak pertanyaan dan makin banyak jawaban dan sering kali makin membingungkan.

Dari Kekalutan (Rasa Cemas) Menuju Doa

Nasihat Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi” (Kolose 3:2), artinya: kalau Anda mau cemas, silakan mencemaskan hal-hal yang memang pantas untuk dicemaskan. Cemaskanlah perkara-perkara yang besar, bukan hanya keluarga, kawan, atau pertemuan besok pagi. Cemaskanlah perkara-perkara Allah, yaitu Kebenaran, Hidup, dan Terang!”

Ketika kita mulai mengarahkan hati kita kepada hal-hal ini, pikiran kita berhenti berputar karena kita masuk ke dalam persatuan dengan Dia yang hadir di dalam diri kita, kini dan di sini. Dia hadir untuk memberikan kita semua hal yang paling kita perlukan. Dengan demikian, rasa cemas menjadi doa, dan perasaan tidak berdaya kita diubah menjadi kesadaran bahwa diri kita diberdayakan oleh Roh Allah.

Benar, kita tidak dapat memperpanjang hidup kita dengan mencemaskan sesuatu. Namun kita dapat melangkah jauh melewati batas-batas kehidupan kita yang pendek ini dan mengalami hidup abadi sebagai anak-anak Allah yang terkasih.

Apakah kalau demikian kita tidak akan merasa cemas lagi? Mungkin tidak. Selama kita berada di dunia yang penuh dengan tekanan dan beban, pikiran kita tidak akan pernah bebas dari kecemasan. Namun, kalau kita selalu kembali dengan segenap hati kita ke dalam rangkulan kasih Allah, kita akan dapat tersenyum kepada diri kita yang terus menerus merasa cemas, dan membuka mata serta telinga agar dapat melihat bayang-bayang Kerajaan Allah dan mendengar bisikan-Nya.

Spinoza, seorang filsuf, menuliskan tentang horror vacui, yaitu rasa takut akan terjadinya kekosongan dalam hidup ini. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak orang merasa tidak nyaman ketika ada waktu kosong, dan sesegera mungkin akan mengisinya dengan kesibukan lain. Sebab jika tidak demikian, maka kita akan mudah cemas. Bukankah sering kali disadari atau tidak kita berpikir “Bagaimana seandainya…” Kita berandai-andai dengan misteri yang akan terjadi di depan kita, dan sering kali mengisi pengandaian itu dengan hal yang membuat kita khawatir sehingga kita menghadapi semuanya dengan kekalutan.

Mengapa kekosongan dalam hidup ini sering kali menjadi sesuatu yang menakutkan? Kekosongan merupakan misteri dalam hidup yang menuntut kesediaan kita untuk tidak selalu menguasai, melainkan siap untuk membiarkan sesuatu yang baru dan tak dapat diperhitungkan terjadi. Kekosongan seperti ini tentu saja menuntut kepercayaan, penyerahan, dan keterbukaan terhadap bimbingan dari Sang Penguasa kehidupan kita. Allah ingin bersemayam dalam kekosongan itu. Akan tetapi, selama kita tidak membuka diri pada campur tangan Tuhan dan membiarkan karya-Nya terjadi dalam hidup kita, mustahil kita dapat memberikan ruang kosong bagi-Nya.

Bersediakah kita memberikan ruang untuk Tuhan dalam kehidupan ini? Berdoa dan berjagalah dan lihat, Allah sedang merangkul kita dan memberikan kesempatan kepada kita untuk menikmati kehadiran-Nya melalui karya-karya agung-Nya dalam hidup kita.

Yesus datang ke dunia untuk membantu kita kembali bersahabat dengan Allah Bapa. Hanya dengan menyerahkan diri dalam rangkulan kasih-Nya, kita akan makin akrab dan makin mengasihi-Nya.

Halangan yang paling besar dalam hidup rohani adalah ketakutan. Allah adalah kasih yang sempurna, dan sebagaimana dikatakan dalam I Yoh.4:18, “Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan”. Inti pewartaan Yesus adalah, bahwa Allah mencintai kita dengan cinta tanpa syarat dan mengharapkan cinta kita yang bebas dari rasa takut.

Cinta Allah tanpa Syarat

Pengalaman Nouwen yang mendengar langsung kata-kata yang tertulis dalam Mat.3:17, “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”, mengingatkan kita kembali bahwa hal yang sangat penting dalam kehidupan ini adalah jaminan dari Tuhan bahwa kita adalah anak yang dikasihi-Nya, yang berkenan kepada-Nya, dan yang menjadi milik-Nya sendiri. Sekali kita menerima kebenaran bahwa “saya adalah anak yang terkasih, yang dicintai tanpa syarat,” maka sama seperti Yesus, kita pun diutus ke dunia untuk berbicara dan berkarya seperti yang dulu dilakukan oleh-Nya. Sebab kehadiran Allah menjadi nyata melalui tindakan kasih, dan di mana ada kasih, di situ ada Allah, sebab Allah adalah kasih.

Dengan demikian, kuasa ketakutan, kegelisahan, kekalutan akan hilang, dan digantikan dengan keberanian dalam menghadapi segala sesuatu, karena kehadiran kasih dalam kehidupan kita membimbing dan membawa kita untuk menyaksikan diri kita sebagai anak yang berkenan dan dikasihi Tuhan. Kasih Allah yang membawa seseorang untuk hidup dalam keabadian inilah yang memberi keberanian kepada Rasul Paulus untuk berkata: “Hai maut, di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu” (I Korintus 15:55). Maut telah kehilangan kuasanya dalam kehidupan ini ketika kasih Allah menyelimuti diri kita dengan amat mesra. Segala rasa iri hati, jengkel dan marah, dengan lembut disingkirkan. Dan kepada kita ditunjukkan bahwa kasih dan kehidupan jauh lebih besar, lebih dalam dan lebih kuat daripada semua kekuatan yang sampai sekarang kita cemaskan.

Yesus hadir di tengah dunia ini untuk memberikan kasih Bapa kepada kita. Kasih yang kita terima, juga sekaligus adalah kasih yang akan memampukan kita memberikan segala-galanya. Yesus sendiri pernah merasa cemas. Dia tahu betapa sakitnya perasaan tidak bisa memberi atau menerima hal-hal yang dijunjung-Nya paling tinggi. Tetapi Dia hidup di tengah kecemasan itu dengan kepercayaan bahwa Bapa yang mengutus-Nya tidak akan meninggalkan-Nya sendirian. Inilah sebenarnya inti dari panggilan kita, yaitu hidup dengan keinginan yang menyala untuk berada bersama Allah dan diutus untuk terus menerus mewartakan kasih-Nya.

Hidup adalah perjalanan panjang guna mempersiapkan diri untuk mati secara benar bagi orang lain. Inilah rangkaian yang terdiri atas kematian-kematian kecil. Dalam kematian itu kita diharapkan dapat melepaskan berbagai bentuk keterikatan kita dan pelan-pelan bergerak dari sikap membutuhkan orang lain menuju hidup bagi mereka.

Langkah-langkah yang harus kita ambil ketika kita berkembang dari masa kanak-kanak ke masa remaja, dari masa remaja ke masa dewasa, dan dari masa dewasa ke masa tua, selalu memberikan kesempatan baru untuk memilih: memilih untuk diri kita sendiri atau memilih untuk orang lain. Dalam langkah-langkah ini, berbagai pertanyaan terus-menerus datang dan menghadapkan kita pada pilihan yang tidak mudah: saya menginginkan kekuasaan atau pelayanan; saya ingin tampil atau tinggal di belakang layar; saya ingin mengejar karier atau memilih mengikuti panggilan saya. Dalam arti inilah kita dapat berkata bahwa hidup adalah suatu proses yang panjang, untuk mati terhadap diri sendiri, sehingga kita dapat hidup dalam kegembiraan Allah dan memberikan hidup kita sepenuhnya kepada sesama.

Mungkin saja secara konsep kita sudah memahami dengan baik tentang hal “mati terhadap diri sendiri”. Namun dalam kenyataannya tidak semudah itu, sebab hanya dengan mati terhadap diri sendiri, dengan menyerahkan hidup ini secara keseluruhan dan percaya kepada Tuhan Yesus, maka kita akan berbuah bagi orang lain.

“Karena barang siapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Matius 16:25).

Selamat hidup bersama kasih Tuhan.

Pdt.Tumpal Tobing

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...