Kristus Lahir di Mana-mana

Kristus Lahir di Mana-mana

Belum ada komentar 60 Views

Hari Ini Tuhan Yesus Lahir di Sini

Rombongan kami, kelas besar Sekolah Minggu Gereja Kristen Jawa Salatiga, tiba di desa Bringin setengah jam sebelum kebaktian dan pesta Natal dimulai.

Memasuki gedung gereja kami melihat dengan heran betapa sederhananya ruangan dan dekorasinya. Ruangan itu cukup besar. Dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu dicat putih bersih. Tempat duduknya terdiri dari bangku-bangku kayu sederhana tanpa sandaran. Tidak ada lampu-lampu gemerlapan, pun tidak ada pohon terang. Di belakakang mimbar terbentang sebuah poster dua warna dengan gambar lonceng dan daun cemara di kiri-kanannya serta bertuliskan: “Hari Ini Tuhan Yesus Lahir di Sini”.


Rombongan diberi tempat di baris paling depan sebelah kiri. Setelah sejenak kami duduk, masuklah anak-anak jemaat desa itu ke dalam gedung gereja. Jumlahnya lebih sedikit ketimbang rombongan kami. Mereka diberi tempat tepat di belakang kami. Mereka berpakaian sederhana dan banyak yang tidak bersepatu.

Beberapa waktu lamanya kami saling berpandang-pandangan dengan mereka tanpa berkata apa-apa. Akhirnya atas prakarsa salah satu dari kami, terjadilah percakapan.

“Kalian nanti juga menyanyi?”

“Rencananya begitu, tetapi karena sebagian harus bermain drama jumlah kami tidak cukup. Kalian menyanyi apa?”

“Malam Sunyi Senyap.”

“Oh? Sedianya kami juga hendak menyanyikan itu.”

“Bagaimana kalau kita semua bersama-sama menyanyikannya?”


Beberapa penatua dan Bapak Pendeta sebenarnya kurang setuju, tetapi karena para pemimpin kami mendukungnya akhirnya gagasan itu dilaksanakan. Kami diberi waktu sepuluh menit untuk berlatih bersama-sama. Dan ketika kami kembali memasuki gedung gereja tanpa diperintah kami duduk berbaur dengan anak-anak dari jemaat itu.

Kami tiba-tiba merasa akrab dengan mereka dan saling berbicara dengan riuh-rendah, sehingga harus diperingatkan beberapa kali agar lebih tenang. Dan ketika tiba giliran kami menyanyi, kami melakukannya dengan penuh semangat. Ibu Supiyah, pelatih paduan suara kami, menyaksikan kami dengan mata berlinang-linang.

“Kok Ibu tadi menangis?”

“Ibu terharu. Beginilah seharusnya Natal…”

Kami mengangguk-angguk, walau sebenarnya kami tidak mengerti.


Natal meriah dalam hujan

Sejak jam 15.15 kami seharusnya sudah berkumpul di gedung gereja GKI Klaten, karena kami berencana untuk selambatnya berangkat ke Pos Kebaktian desa Pesu-Wedi pada jam 15.30 untuk merayakan Natal bersama jemaat di situ pada jam 17.00. Beberapa penatua sudah hadir, termasuk saya yang harus memimpin kebaktian, tetapi beberapa guru Sekolah Minggu yang akan bercerita kepada anak-anak, dan pemimpin paduan suara belum datang termasuk banyak anggotanya. Mereka terhalang oleh hujan turun sejak jam 15.00 dengan derasnya bak dicurahkan dari langit yang gelap disertai angin kencang.

Jam 16.40 kecuali seorang guru Sekolah Minggu, mereka yang ditunggu-tunggu belum juga datang sehingga kami memutuskan untuk berangkat, di bawah curah hujan yang masih amat deras.

“Jangan kuatir Purboyo, dengan hujan yang seperti ini jemaat Pesu pasti terlambat juga…” ujar seorang penatua menghibur saya.

Rombongan kami yang tidak lengkap tiba di tempat kebaktian setengah jam terlambat. Dan dengan takjub kami menyaksikan tempat kebaktian yang penuh sesak.

“Mereka sudah hampir satu jam berada di sini…” kata salah seorang warga di situ.

Mendengar penjelasan ini kami memutuskan untuk langsung memulai kebaktian, sambil berharap bahwa mereka yang tertinggal akan tiba belakangan. Dengan perasaan yang kurang mantap kami memulai kebaktian. Giliran paduan suara kami lewatkan karena mereka sangat tidak lengkap. Giliran cerita anak-anak juga terpaksa tidak dilaksanakan karena satu-satunya guru Sekolah Minggu yang hadir tidak berani dan tidak siap untuk bercerita. Maka tibalah giliran saya untuk menyampaikan firman.

Entah bagaimana tiba-tiba saya mendapatkan gagasan untuk mengundang beberapa anggota paduan suara dan guru Sekolah Minggu yang hadir untuk maju ke depan. Ternyata, para anggota paduan suara yang hadir, cukup lantang bernyanyi dan mampu mempengaruhi jemaat untuk ikut menyanyi, bahkan mengajarkan jemaat menyanyikan beberapa lagu Natal. Ternyata guru Sekolah Minggu yang tidak siap untuk bercerita, mempunyai persediaan cerita Natal yang walau tidak sesuai tema, amat dinikmati oleh anak-anak yang hadir.

Ternyata, dengan apa yang ada, kami tetap dapat merayakan Natal dengan meriah malam itu.


Dentuman Natal

Malang 24 Desember 1986 jam 22.30, setengah jam sebelum kebaktian Malam Natal dimulai, saya sudah hadir di konsistori. Bersama para penatua dan aktivis yang bertugas malam itu, saya mengilas seluruh proses kebaktian seraya mengecek kesiapan setiap unsurnya.

Pelan-pelan gedung gereja mulai dipenuhi oleh warga jemaat. Jam 23.05, sebelum saya sempat mengucapkan votum, terdengar dentuman yang amat keras yang membuat gedung gereja bergetar. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Kebaktian kami lanjutkan dengan baik dan lancar.


Seusai kebaktian, seorang anggota jemaat yang adalah anggota kemiliteran menjelaskan kepada saya bahwa kota Malang dalam keadaan siaga. Dentuman yang kami dengar di awal kebaktian adalah salah satu dari dua peledakan bom terhadap Gereja Katolik dan Sekolah Alkitab Asia Tenggara oleh pihak yang belum dikenal. Beliau kemudian menugaskan salah satu anakbuahnya untuk mengawal saya pulang ke rumah.

Dengan perasaan berbaur kami meninggalkan gedung gereja di jalan Tumapel menuju ke jalan Bromo. Perjalanan yang memakan waktu kurang dari sepuluh menit, tetapi yang terasa sangat berat dan tidak menyenangkan. Ketika kami tiba di jalan Bromo, anggota militer yang mengawal kami berkata kepada saya dengan lirih:

“Maaf, Pak Pendeta. Saya bukan orang Kristen. Tetapi menurut saya aksi ini sangatlah tidak pantas untuk dilakukan pada malam yang suci ini… Bapak tidak perlu berkuatir. Kami diperintahkan untuk menjaga semua gereja dan rumah pendeta…. ”


Natal yang kedua di Nederland

Pada akhir bulan November kami sudah membayangkan akan melewatkan hari Natal yang kedua di Nederland yang dingin dan kelabu, dengan sedih oleh perasaan rindu. Memang bersama dengan teman-teman asal Indonesia yang tinggal di kota kami, kami sudah mempersiapkan sebuah perayaan Natal bersama yang sederhana. Tetapi pikiran dan bayangan kami tetap melekat ibadah dan perayaan natal di tanah air yang hikmat sekaligus meriah, bersama sanak-saudara.

“Bolehkah kami mengajak famili kami? Mereka sudah puluhan tahun tinggal di sini dan tidak lagi terlalu fasih berbahasa Indonesia. Mungkin mereka tertarik untuk datang…” tanya salah seorang teman kami yang berasal dari Maluku. Ia pun sudah sejak tahun enampuluhan tinggal di Nederland.

“Tentu saja…”

“Nanti saya minta mereka masak makanan khas Maluku…”

Setelah mengikuti kebaktian Natal di gereja Belanda, bahkan setelah mengikuti kebaktian dan perayaan Natal umat kristiani Nederland yang amat meriah dan khas Indonesia, tetap saja saya merasa ada yang tidak lengkap. Saya rindu pada keluarga, teman-teman, rumah, jemaat, pada semua.


Ketika tiba hari Natal bersama yang telah direncanakan, saya menghadirinya masih dengan perasaan yang sama. Tidak terlalu banyak yang hadir. Sekitar enam keluarga ditambah keluarga undangan teman kami.

Dengan liturgi sederhana yang kami persiapkan kami memasuki kebaktian Natal kami, lengkap dengan cerita dan renungan Natal, serta tentu saja penyalaan lilin diiringi lagu “Malam Kudus”. Ketika lampu dinyalakan kembali pada akhir kebaktian, suami-istri undangan teman kami menangis terisak-isak.

“Puluhan tahun kami merindukan Natal yang seperti ini… Natal yang khusuk di antara teman-teman dan sanak-keluarga…”

Ketika itu kami, paling tidak saya, lupa bahwa pada saat itu kami berada di negeri orang. Dada kami menjadi hangat, senyum kami menjadi renyah, dan malam itu menjadi salah satu dari malam Natal yang tak terlupakan.


Natal Sekarang

Tahun ini Kristus juga lahir di dunia kita yang morat-marit ini, di negeri kita yang compang-camping ini, di jemaat kita yang amat tidak sempurna ini, di rumah kita yang pasti bukan keluarga ideal apalagi idaman, dan di hati kita yang amat tidak layak ini.


Betapa pun… IA berkenan datang kepada kita!




Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...