hidup kita

Kristus Berkarya Melalui Kita

Belum ada komentar 204 Views

Ia yang duduk di atas takhta itu berkata: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” (Wahyu 21:5a)

Lama berselang, sekumpulan pemusik keliling berkelana dari kota ke kota, mementaskan musik untuk mencari nafkah. Mereka tidak sukses secara finansial. Zaman sulit dan orang-orang awam tidak punya uang lebih untuk dihabiskan bagi hiburan. Pengunjung sepi.

Suatu malam, kelompok pemusik itu berkumpul untuk membicarakan masalah mereka. Yang seorang berkata, “Aku tidak melihat alasan mengapa kita harus pentas malam ini. Salju mulai turun. Siapa yang mau keluar rumah pada malam seperti ini?” Yang lain berkata, “Aku setuju. Kemarin malam kita pentas hanya bagi segelintir orang. Lebih sedikit lagi yang bakal datang malam ini. Mengapa kita tidak mengembalikan saja uang mereka dan membatalkan pertunjukan.” Yang ketiga menambahkan, “Sulit untuk tampil sebaik mungkin dengan penonton yang begitu sedikit.” Lalu, seorang pria yang lebih tua bangkit dan berbicara kepada kelompok itu sebagai satu kesatuan, katanya, “Saya tahu kalian patah semangat. Saya juga. Bukan kesalahan sedikit orang itu bahwa yang lain tidak datang. Mereka tidak seharusnya dihukum dengan tidak memberikan yang terbaik dari kita. Kita akan terus dan berusaha sebaik mungkin.”

Mendapat semangat dengan kata-kata orang tua itu, pemusik keliling itu meneruskan pertunjukan mereka. Sekalipun yang hadir sedikit, mereka tidak pernah pentas lebih baik dari saat itu. Setelah konser selesai, pria itu memanggil kelompok itu. “Dengar ini,” katanya saat ia mulai membacakan surat pendek yang ia pegang di tangannya: “Terima kasih untuk pementasan yang indah malam ini.” Surat itu ditandatangani dengan “Rajamu.”

MAKNA KISAH DI ATAS

Sepertinya kisah di atas dapat mengoreksi perilaku kita sebagai gereja Tuhan. Bukankah kita mudah putus harapan ketika menghadapi berbagai permasalahan? Menarik ketika dituturkan adanya masalah cuaca bersalju. Hal itu mengingatkan kita kepada tema Majalah Kasut bulan Juni ini tentang perubahan cuaca atau zaman. Jika mengingat dampaknya yang sangat luas, maka perubahan zaman harus diakui telah berhasil menjadi perintang bagi kemajuan gereja. Jika dunia ini sebagai pentas atau panggungnya, gereja sering terhalang kegiatannya gara-gara modernisasi yang semakin meningkat. Perubahan zaman dirasakan terlalu cepat. Daya pikatnya juga terlalu kuat. Berapa banyak keluarga Kristen yang tergoda untuk lebih menyenangi berbagai macam acara wisata dan rekreasi keluar kota, daripada beribadah di Rumah Tuhan. Kaum muda dan remaja gereja sebagai anak baptisan, lebih tertarik untuk membuat acara khusus dengan kelompok mereka yang asing terhadap gereja. Bahkan ada pula anak-anak kita yang memilih tinggal di rumah untuk mengikuti acara televisi yang menarik, daripada pergi ke Sekolah Minggu.

Semua tadi hanya hal-hal yang berkaitan dengan ibadah hari Minggu. Belum segala macam tantangan lain pada zaman ini, dalam semua aspek kehidupan orang-orang beriman. Sebagai tubuh Yesus Kristus, tidak seharusnya gereja hanya berdiam diri memandangi kemerosotannya. Keprihatinan kita bukan pada jumlah orang yang merosot, tetapi ketertarikan hati. Mengapa Yesus Kristus dan firman-Nya tidak lagi dapat memuaskan jiwa manusia zaman sekarang?

Dalam kisah di atas sempat dibicarakan tentang jumlah penonton yang sedikit. Ketika jumlah penontonnya sedikit, maka hampir saja kelompok itu membatalkan segala aktivitas yang sudah diprogramkan. Semangat juang gereja tidak seharusnya berorientasi pada masalah kuantitas. Bukankah garam menjadi identitas gereja, yang selalu minoritas di dunia ini? Meski keberadaan kita sering dipandang sebelah mata, namun tetap dapat bermakna bagi kehidupan bangsa dan dunia.

Dalam bukunya Gereja dan Misi-Nya, Widi Artanto mengoreksi gereja yang salah memberi tekanan dalam ‘memasukkan orang lain (individu) ke agama kita’, yang disebut dengan “kristenisasi” atau “memenangkan jiwa”. Seharusnya, gereja ‘mengantar orang (individu) dan masyarakat mengalami kasih dan pertolongan Allah serta hidup dalam Kerajaan Allah’. Bukan pertambahan pemeluk agama/anggota gereja (orang Kristen), tetapi yang lebih penting adalah terwujudnya tanda-tanda Kerajaan Allah: kasih, perdamaian, kesejahteraan, keadilan, dan kebenaran. Nah, ini masalah kualitas hidup di dunia ini. Anggota gereja lebih dulu memiliki kualitas hidup yang memadai, kemudian dengan tulus hati menawarkan diri untuk berbagi kepada sebanyak mungkin orang yang dijumpainya di sepanjang jalan hidup ini.

THE CHURCH OF CHRIST IS NOT AN INSTITUTION; IT IS A NEW LIFE WITH CHRIST AND IN CHRIST, GUIDED BY THE HOLY SPIRIT.
Sergius Bulgakov

Dalam kisah para pemain musik di atas tadi, ada hal yang sangat menarik, yaitu hadirnya sang raja yang memberikan apresiasi. Raja kita, Yesus Kristus, mempunyai peran yang sangat penting. Yesus Kristus tidak saja menjadi penonton, tetapi juga menjalankan peran utama yang berkarya melalui dan di dalam kita semua. Bukan dibatasi oleh tembok gereja tetapi di dalam Kerajaan Allah, yang digambarkan dengan biji sesawi yang sudah menjadi pohon besar sehingga menjadi tempat berteduh bagi semua lapisan masyarakat di dunia ini. Kerajaan Allah di dunia ini cakupannya harus jauh melebihi gereja. Tidak terbatas pada dimensi ruang gereja, tetapi beratapkan langit, di bawah naungan kasih Kristus. Perubahan zaman di satu pihak memang mendatangkan banyak kemudahan dan kemajuan, tapi di lain pihak juga merugikan kemanusiaan kita. Kita makin egois, mata duitan, kejam terhadap sesama, gila pangkat, mengutamakan kenikmatan, dan seterusnya. Sebagaimana dulu Kristus berkeliling kota dan desa untuk berkarya secara nyata, demikian pun sekarang ini melalui kita. Seluruh kegiatan-Nya berpusat pada keprihatinan kemanusiaan. Maka kita terpanggil untuk bertindak manusiawi terhadap seluruh ciptaan-Nya. Seperti Kristus yang tidak menyukai adanya sekat-sekat di dalam masyarakat, maka kita juga berempati kepada sesama yang menderita, tanpa memandang warna kulit dan agama.

CHRIST DID NOT LOVE HUMANITY. HE NEVER SAID THAT HE LOVED HUMANITY. HE LOVED MEN.
G.K. Chesterton

Tuhan mengasihi dunia, yaitu manusia di dunia ini. Manusia menjadi objek kasih-Nya. Tak peduli bagaimana keadaannya, siapa namanya, dan seterusnya. Kita patut bersyukur karena telah menjadi sasaran kasih Kristus. Tapi selanjutnya kita diminta oleh-Nya untuk menjadi subjek kasih bagi sebanyak mungkin orang lain yang belum mengalami perubahan hidup. Suatu kehormatan besar bila kita dipilih dan diutus-Nya untuk mewujudkan kerinduan hati Tuhan. Rindu hati-Nya melihat segala sesuatu menjadi baru, yaitu ketika manusia yang semula hidup dalam kegelapan dan penderitaan dapat dibebaskan dan berbahagia bersama kita di hadapan hadirat-Nya.

Pdt. Em Daud Adiprasetya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...