Bila seseorang bertanya kepada kita: “Anda mau minum apa? Kopi…?” maka kita dapat mengiyakannya atau menyatakan “ya” maupun menolaknya atau menyatakan “tidak”. Begitupan dalam menjawab pertanyaan–pertanyaan yang sulit dan berat, bahkan menentukan dalam hidup kita, misalnya: “Apakah Anda bermaksud untuk berhenti merokok…?”. Apalagi ini: “Apakah Anda bersedia melayani dalam Komisi Pekabaran Injil…?”
Tema kita mengisyaratkan bahwa bila kita menyatakan “ya” maka haruslah itu benar-benar “ya” dalam praktik. Sikap konsekuen dan konsisten atas apa yang telah dinyatakan atau dipilih seperti itu, adalah juga sikap yang menentukan dalam relasi dengan Tuhan dan dengan/dalam jemaat Tuhan. Sebagai orang Kristen kita semua mestinya seperti itu.
Namun yang terjadi dalam kenyataan sesehari di sekitar kita justru kerap sebaliknya. “Kata” tidak selalu sesuai dengan “perbuatan”atau “karya”. Mulai dari hal-hal kecil dan sederhana, hingga hal-hal yang besar dan menentukan. Mulai dari “janji-janji yang tidak ditepati” hingga penerapan “standar/tolok ukur ganda”. Ketidaktepatan waktu misalnya, adalah sesuatu yang dianggap sepele oleh banyak orang, padahal itu adalah mentalitas yang mencoreng nama bangsa kita. Sebab bila menepati waktu saja sulit bagaimanakah lalu menepati janji yang lebih penting seperti janji tentang kualitas produksi, janji kesetiaan, bahkan janji iman? Yang tidak kalah memrihatinkan adalah penerapan tolok ukur ganda pada banyak orang. Misalnya orang tua yang melarang anak secara konsisten untuk tidak berdusta, tetapi mereka sendiri kerap berdusta di hadapan anak mereka. Atau yang lebih parah lagi kecenderungan orang untuk menghakimi orang lain dengan kejam tentang sikap moral tertentu, padahal ia sendiri kerap melanggarnya.
Dalam Alkitab “ya” tidaklah sekadar “ya” dan “tidak” juga bukan sekadar “tidak”. Matius 5: 37 berbunyi demikian: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.”
Konteks dari ayat ini adalah nasihat Yesus untuk tidak bersumpah, yang didasarkan pada 10 Hukum Allah, tepatnya hukum yang ketiga. Mengapakah Yesus perlu menasihatkan hal ini? Karena kelemahan kita: “ya” kita ternyata tidaklah selalu “ya” dan “tidak” yang kita ucapkan juga acapkali bukan “tidak”.
Dalam kehidupan sesehari sumpah diperlukan, misalnya di pengadilan atau di kemiliteran, karena pada dasarnya ucapan atau janji biasa dari kita seringkali tidak dapat dipegangi. Dan ketika ternyata bahkan sumpah tidak lagi dapat dipercaya, maka sumpah dikaitkan dengan jaminan tertentu agar bona fide (dapat dipercaya): “…demi kepalaku… demi roh nenek moyangku… biar disamber geledek… dan banyak lagi. Lalu ketika semua itu juga tidak dapat dipercaya, maka: “…demi Tuhan…!” Persoalannya adalah bahwa memang Tuhan takkan ingkar janji akan tetapi kita justru sebaliknya, juga bahkan ketika nama Tuhan kita pakai agar kita dapat dipercaya.
Yang dikecam Yesus di sini tentunya pertama-tama motivasi penyalahgunaan nama Tuhan itu. Namun lebih daripada itu, yang disesalkan Tuhan adalah bahwa di balik kecenderungan untuk memakai nama Tuhan dengan sembarangan itu terdapat pemahaman yang mendua mengenai hidup dalam Tuhan. Dalam cara berpikir ini ada hal-hal yang dianggap “rohani” dan yang “duniawi”, misalnya musik, bacaan, tingkah-laku, termasuk janji. Asumsiya adalah bahwa bila Tuhan diikutsertakan maka janji itu menjadi “rohani” sifatnya, sehingga bona fide.
Padahal hidup tidak terbagi dalam kompartimen-kompartimen, di mana dalam beberapa Tuhan ikut-campur tetapi dalam beberapa yang lain tidak… Diikutsertakan atau tidak Ia ada, hadir di mana-mana. Jadi walau bersumpah “bukan atas nama Tuhan”, tetap sama dengan “atas nama Tuhan”!
Tetapi lalu bagaimana? Sebab kita masih hidup di dunia di mana “sumpah” masih diperlukan. Tuhan menegaskan di sini bahwa bersumpah tidak perlu. Cukup asalkan “ya” kita benar-benar “ya”! Sebab bila tidak, berarti datangnya bukan dari Tuhan! Dan bila kita memang percaya kepada-Nya dan mengikut Dia, maka “ya” kita haruslah “ya” dan “tidak” kita juga adalah “tidak”, sebab itu selalu juga berarti “ya” terhadap Tuhan…!!!
Maka kata-kata Tuhan Yesus ini menempatkan kita pada 2 kewajiban:
- Kewajiban untuk hidup, bersikap dan bertindak sedemikian rupa, sehingga orang “percaya” kepada kita, dan tak menuntut kita untuk bersumpah…
- Kewajiban untuk menjunjung kebenaran dan mengupayakan agar dunia kita ini “bisa dipercaya”.
Dan akhirnya begitu pun “ya” dari kita semua. Tidak perlu bersumpah. Cukup berusaha agar “ya” yang diucapkan satu terhadap yang lain, tetaplah “ya” selama hayat dikandung badan! Namun mengingat kelemahan dan kecenderungan kita maka hal ini dapat menjadi upaya menggantang angin, kecuali kita menyadari bahwa “ya” berarti usaha yang terus-menerus, proses yang harus selalu berlangsung:
- proses untuk tetap “ya” terhadap satu sama lain (tanpa syarat apapun, misalnya “memberi salam bahkan kepada yang tak mau memberi salam kepada kita” dan ”berdoa bagi musuh kita”).
- proses untuk tetap “ya” dalam pelayanan (ketekunan, kesetiaan, berapapun harga yang harus “dibayar”).
- proses untuk tetap “ya” terhadap Tuhan (tanpa ini mustahil, sebab dasar yang kokoh dari “ya” kita adalah bahwa Allah dalam Kristus telah berkata “ya” terhadap kita).
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.