Kisah ini bermula pada tahun 1971, ketika tugasku beralih menjadi “eksekutif” salah satu organisasi komoditas tanaman keras yang baru mengalami “revolusi” dalam sejarah pengolahan dan penyajian, sehingga produknya memiliki daya saing kuat terhadap produk sintetis sejenisnya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari, aku banyak bertemu dan berteman dengan orang-orang dari berbagai suku, agama dan tingkat kehidupan. Salah seorang di antaranya, yang akhirnya menjadi sahabatku, adalah putra keluarga pengusaha di Jambi. Ayahnya seorang Haji yang dikenal saleh, dan sahabatku, yang aktif bekerja sebagai salah satu pimpinan perusahaan tersebut, juga sudah menjadi Haji. Sekitar tiga tahun kemudian, kami semua dikejutkan oleh peristiwa terbunuhnya seorang staf Bank BUMN di kota Jambi. Namun yang lebih mengagetkan lagi ialah ketika ayah sahabatku ini ditangkap dan dipenjara, karena terbukti menyuruh seorang buruh pelabuhan dari NTT menghabisi nyawa staf Bank BUMN tersebut, yang berpacaran dengan putrinya. Alasannya sangat sederhana, yaitu karena si pemuda berlainan suku dan beragama Kristen. Tidak terlalu lama, Pak Haji itu meninggal dunia dalam penjara.
Pertemananku dengan sahabatku yang berlainan keyakinan, sedikit terganggu oleh peristiwa tersebut, namun aku berusaha untuk menjaga hubungan kami tetap baik. Sebagai pengikut Yesus, aku berusaha untuk terus mengingat firman Tuhan: “Kamulah terang dan garam dunia”.
Tanpa kuketahui sebelumnya, ternyata sahabatku ini telah menikah dengan seorang gadis kelahiran Jakarta yang masih berdarah Jerman dan beragama Katolik. Mereka tinggal bersama mertua sang istri di Jakarta Timur.
Sebelum masa reformasi, para pengusaha keturunan Tionghoa banyak memasang orang-orang pribumi sebagai “front man” yang bertugas mewakili mereka dalam berhadapan dengan pejabat pemerintah untuk mengurus perizinan, perpajakan dan perbankan. Para “front man” ini juga menghadiri rapat-rapat, baik di kantor pemerintah maupun di organisasi pengusaha. Saat iklim bisnis sepi, para pengusaha ini datang ke kantor organisasi untuk mencari kandidat yang tepat dan bertukar informasi. Karena umumnya yang hadir adalah para “front man”, maka terjadi interaksi antara berbagai suku dan agama dalam suasana pertemanan. Mereka yang saleh menjalankan rukun agama, selalu salat saat tiba saatnya, termasuk temanku sang Haji pribumi yang memiliki karakter low profile, rajin, tidak banyak menuntut, dan pandai bergaul dengan berbagai kalangan. Hal ini menarik beberapa pengusaha keturunan Tionghoa untuk memilihnya sebagai front man dengan jabatan Direktur untuk mewakili perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang bisnis.
Seiring berjalannya waktu, sang Haji mulai curhat kepadaku, terutama saat awal tahun tiba. Ternyata temanku itu terkena demam pajak dan demam tempat tinggal yang membebani pikiran dan kehidupannya. Wajahnya yang selama ini selalu cerah dengan kondisi fisik yang prima, secara perlahan-lahan mulai berubah. Pada suatu saat, aku tergerak menerima ajakannya untuk berkunjung ke rumahnya dan menyaksikan kehidupan rumah tangganya. Ternyata jumlah penghuni di rumah mertuanya bertambah banyak, termasuk dua anaknya yang mulai membutuhkan ruang khusus untuk tidur dan belajar. Kehidupan rumah tangga yang bercampur dengan keluarga besar sang istri mulai terasa kurang kondusif. Menjadi front man di beberapa perusahaan pun dikeluhkannya, karena dialah yang dikejar-kejar setiap tahun menjelang penyerahan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) Pajak dari perusahaan-perusahaan yang diwakilinya. Keadaan ini sangat memengaruhi pikiran dan fisiknya, sehingga ia terkena penyakit asam urat, rematik dan diabetes. Ia ingin sekali keluar dari cengkeraman ini dan mengutarakan kepadaku untuk pindah dan menghindar dari kedua beban kehidupan ini.
Kebetulan aku memiliki sebidang tanah di sudut kawasan Cinere, Jawa Barat dan menawarkan kepadanya untuk diambil alih dengan harga yang tidak terlalu berbeda dari saat dibeli. Secara bisnis aku rugi, tetapi demi menjalin pertemanan keluarga, aku merelakannya, dan ia pun setuju. Tidak lama kemudian bangunan rumahnya rampung dan ia memboyong keluarganya pindah ke sana. Hal ini ternyata sekaligus membebaskan temanku dari kedua beban kehidupannya. Selain memiliki rumah, ia juga terbebas dari “usikan” perpajakan karena berbeda propinsi. Temanku mulai bangkit dan menata kehidupan barunya dengan memilih pemilik-pemilik perusahaan yang benar-benar mau bertanggung jawab jika menggunakan jasanya sebagai front man.
Setelah peristiwa ini, keluarga sang Haji selalu ingat akan saran dan pertolongan keluargaku. Namun pada tahun 1988, aku pindah kantor dan hubungan kami terbatas hanya saling memberi selamat Natal dan Idul Fitri. Setelah reformasi, para pengusaha keturunan Tionghoa mulai berani muncul langsung berhadapan dan berintegrasi dengan pejabat Pemerintah sehingga jasa front man mulai berkurang. Demikian juga dengan beralihnya zaman, ucapan selamat dengan kartu via Pos, beralih via SMS atau kadang-kadang via telepon. Kami saling berbagi pengalaman mengasuh anak-anak kami dan dia kembali mengeluh karena digerogoti oleh penyakitnya.
Pada akhir tahun 2000, sahabatku memberi kabar bahwa ia sering tidak berada di Jakarta karena menengok anak-anaknya yang bersekolah di Australia, dan bahwa kondisi penyakitnya tidak berkurang. Sedangkan aku, setelah anak keduaku meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di Jatijutuh Majalengka tahun 1999, praktis setiap tahun selama 6 bulan aku mengajak istriku ke Amerika Serikat untuk berada dekat dengan kedua anak kami dan keluarga mereka.
Lalu sekitar lima tahun lalu, aku menelepon rumah sahabatku untuk menyampaikan “Selamat Idul Fitri”. Dengan suara nyaring istrinya berkata bahwa suaminya (sang Haji) tidak merayakan Idul Fitri lagi, tetapi sudah bergabung dengan keluarganya merayakan Hari Natal. Puji Tuhan, Haleluya! Ternyata dengan kasih dan kesabaran, sahabatku telah menjadi pengikut Yesus Kristus. Aku dan istriku mendatangi rumahnya di Cinere untuk menyatakan rasa syukur kami dan disambut dengan sukacita oleh mereka dan kedua anak mereka yang sudah bekerja. Setelah sahabatku seiman dengan kami, ia mencari komunitas baru dan agak menghindar dari teman-teman lamanya yang mengenalnya sebagai Haji yang saleh. Karena kesibukan kami masing-masing, kontak agak berkurang. Namun pada awal Februari 2014, aku mendapat undangan pernikahan putri sahabatku dalam upacara perayaan sakramen pernikahan di gereja Katolik Stefanus, Jakarta Selatan. Nama Haji di depan namanya telah berganti dengan nama seorang Santo.
Pada hari yang berbahagia itu, aku dan istriku hadir di gereja Stefanus, dan di pintu masuk disambut oleh istri sahabatku, lalu dipersilakan duduk melalui depan altar. Tanpa terduga dan dengan terkejut, namaku dipanggil oleh seseorang yang duduk sendirian di kursi di depan altar. Ternyata dia sahabatku, yang langsung membuat kami berpelukan dengan berlinang air mata. Dengan wajah cerah, segar dan penuh percaya diri, sahabatku bercerita bahwa kondisi kaki kanannya hingga paha telah diamputasi, dan kaki kirinya lemas terkulai. Ia mohon maaf, karena selama ini belum sempat mengunjungi rumah kami. Saat perayaan Ekaristi, sahabatku yang tetap duduk di kursi roda, dengan khusyuk menerima hosti, sebagai wujud penerimaan tubuh Tuhan Yesus Kristus. Dan saat pemberian ucapan “Selamat” tiba, sahabatku yang tetap duduk di kursi roda, kembali merangkulku sambil berlinang air mata dan mengucapkan ”Terima Kasih”. Aku sangat terharu!
Kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri. Kasih bukan mencintai seseorang dengan sempurna, tetapi mencintai kelemahan seseorang dengan cinta kasih yang sempurna.
Jakarta, 14-02-2014
Harry tanugraha
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.