Ketika Tuhan Bermain Piano

Ketika Tuhan Bermain Piano

1 Komentar 192 Views

“Lagu sedih atau pun gembira yang dilantunkan-Nya selalu tampil indah Karena Dia Mengalunkan-Nya dengan cinta.”

Air mata membasahi sekujur wajahku. Mengalir deras dari mataku. Seakan tak pernah kering.

Dari balik tirai airmata yang mengaburkan pandangan, kutatap peti jenazah yang perlahan-lahan sedang diturunkan ke liang lahat. Lagu rohani yang sendu mengiringi perpisahan paling menyakitkan yang pernah kualami dalam hidup ini. Perpisahan dengan Mas Rianto. Suamiku. Kekasihku. Belahan jiwaku.

Rasanya seperti mimpi. Meskipun minggu lalu aku bahkan tidak pernah bermimpi akan ada saat-saat seperti ini dalam hidupku. Ketika aku kehilangan Mas Rian. Kehilangan orang yang paling kucintai.

Minggu lalu semuanya masih berjalan seperti biasa. Kami baru saja merayakan ulang tahun pernikahan kami yang kedua puluh. Berdua saja. Karena memang setelah dua puluha tahun menikah, kami belum dikaruniai seorang anak pun.

Tetapi ketidakhadiran seorang anak, tidak membuat perkawinan kami tidak bahagia. Malah sebaliknya. Selama dua puluh tahun, kami hidup seperti Adam dan Hawa ketika masih di Taman Firdaus. Saling mencintai. Saling membutuhkan. Saling memberi. Meskipun bukan berarti tak pernah bertengkar. Berdebat. Berselisih. Tetapi ibarat bumbu, pertengkaran justru tambah melezatkan hidup perkawinan kami. Tambah mendekatkan kami. Tambah memperdalam cinta kami.

Mas Rian sangat mencintaiku. Itu tak dapat diragukan lagi. Dan cintanya tidak memudar sekalipun dua puluh tahun telah berlalu.

Dia seorang suami yang setia. Dan sangat mencintai istrinya. Meskipun karena sangat mencintaiku, dia kadang-kadang terlihat sangat posesif. Sangat pencemburu.

Tak pernah dibiarkannya aku pergi seorang diri. Biarpun cuma untuk ke salon kecantikan. Aku harus menunggu sampai Mas Rian pulang kerja. Lalu dia akan mengantarkanku. Ke mana pun aku pergi. Rasanya kalau WC kami tidak berada di dalam rumah, dia pasti akan berkeras pula mengantarkanku membuang hajat. Lucu? Memang. Tapi jangan tertawa. Karena memang begitulah suamiku. Begitulah model cintanya. Dan sampai dua puluh tahun berlalu, kebiasaan itu masih tetap kami jalani.

Mula-mula aku memang sering protes. Aku merasa kebebasanku dibatasi. Dikekang. Tapi lama-kelamaan aku dapat menerima kondisi seperti itu tanpa perlawanan lagi.

Pertama karena aku mencintainya. Tidak ingin menyakiti hatinya. Dan aku tahu sekali mengapa Mas Rian melakukannya. Dia ingin melindungiku. Sekaligus ingin memonopoli. Ingin memiliki untuk dirinya sendiri. Egois? Barangkali. Tapi kalau seperti itu wujud cintanya, mengapa tidak? Daripada dibiarkan, tak diperhatikan, tak dipedulikan? Mau ada di rumah atau tidak, masa bodoh amat! Lebih menyakitkan punya suami seperti itu, kan?

Alasan kedua karena aku sudah bosan melawan. Percuma. Mas Rian tidak bisa diatur. Tidak bisa dibantah. Kemauannya sangat keras. Dan dia tidak mau tunduk kepada siapa pun. Apalagi kepada istrinya.

Jangankan kepadaku. Kepada majikannya pun dia sering melawan. Makanya jangan heran kalau dia sering pindah pekerjaan.

Yang paling membuatku sedih, Mas Rian juga tidak mau tunduk kepada Tuhan. Baginya, tidak ada yang di atas kecuali langit. Tidak ada yang lebih tinggi dari dirinya sendiri.

“Tuhan itu cuma hiburan untuk orang yang lemah,” katanya dari dulu sampai sekarang. “Tempat meminta sesuatu yang tidak dapat kita peroleh sendiri.”

Mas Rian tidak menolak ketika aku minta pernikahan kami dilangsungkan secara Kristiani. Dia menurut saja ketika aku menginginkan pemberkatan di gereja. Dia patuh saat aku minta dia dibaptis sebelum menikah. Tetapi sesudah itu, dia kembali lagi ke kehidupannya yang lama. Seolah-olah dia mengabulkan permintaanku hanya semata-mata untuk menyenangkan hatiku. Dan supaya pernikahan kami berlangsung mulus.

“Aku tidak peduli menikah di mana,” tukasnya acuh tak acuh. “Pokoknya bisa menikahimu. Di bawah pohon pun jadi. Disuruh jadi apa pun aku mau.”

“Jadi apa artinya pengakuan yang kamu ucapkan di depan Tuhan, Mas?” desahku sedih. “Hanya untuk menyenangkan hatiku? Atau supaya kita bisa menikah?”

“Tuhan ada dalam dirimu sendiri,” katanya mantap. “Karena kamu pikir dia ada, maka dia pun ada.”

Bukan baru sekali dua aku mengajaknya ke gereja. Mas Rian memang ikut. Tapi cuma sekadar mengantar. Karena memang dia tidak membiarkan aku pergi seorang diri. Di gereja dia lebih banyak tertidur daripada mendengarkan khotbah. Apalagi kalau isi khotbahnya tidak ada kena mengenanya dengan masa kini. Cuma membahas peristiwa dua ribu tahun yang lalu.

Dia malah sering mengejek kalau kebetulan ada ayat Kitab Suci yang tidak sesuai dengan pendapatnya.

“Kenapa sih kamu bodoh sekali, Ir? Kamu kan perempuan. Masa kamu mau saja dibodohi, dibilang berasal dari tulang rusuk pria? Cerita itu pelecehan buat wanita! Itu lagi dongeng Tuhan menciptakan manusia dari tanah liat! Apa kamu belum pernah mendengar teori evolusi?”

Sudah lelah aku membantah. Sudah bosan aku memaparkan sanggahan. Beberapa malah kuambil dari jawaban yang diberikan pendeta di gerejaku.

Tetapi Mas Rian tidak puas juga. Dia menganggap Tuhan cuma dongeng. Supaya manusia takut berbuat jahat.

“Dan supaya manusia terhibur kalau orang yang dicintainya mati. Karena ada harapan untuk bertemu di Surga. Padahal di mana Surga itu? Tidak ada yang tahu, kan? Tidak pernah ada yang melihatnya. Biar pakai peralatan yang paling canggih sekalipun!”

Suami seperti itulah yang kumiliki selama dua puluh tahun. Suami yang sangat kucintai. Tetapi yang tak pernah dapat kubangkitkan imannya.

Sampai suatu hari keangkuhannya tersandung. Sama seperti ketika kakinya tersandung batu tajam di kebun. Kakinya luka. Berdarah. Tapi tidak terlalu parah. Bukan cuma Mas Rian yang tidak mengacuhkannya. Aku juga tidak terlalu memperhatikannya. Luka sekecil itu, apa artinya?

Mas Rian juga tidak peduli ketika selama berbulan-bulan luka itu tidak sembuh juga. Malah semakin parah. Membesar. Dan mengandung nanah.

Dia cuma membeli salep antibiotik yang sekarang dengan mudah diperoleh biarpun tanpa resep dokter. Sesaat lukanya seperti menyembuh. Tetapi begitu dia memakai sepatu terlalu lama, luka itu mulai meradang lagi. Demikian seterusnya sampai suatu malam, aku tiba-tiba terjaga oleh bau busuk yang menyengat hidungku.

Mula-mula kukira ada tikus mati di kamar mandi. Barangkali tikus itu terjebak di dalam pipa air. Mungkin juga cuma bangkai cecak malang yang terjepit di pintu. Atau paling-paling ada kucing tertabrak mobil di jalan. Lalau bangkainya dibuang begitu saja ke tempah sampah di depan rumah yang berada tidak jauh dari jendela kamarku.

Aku baru sadar suamikulah yang menyebarkan bau busuk, ketika keesokan paginya di meja makan pun aku mencium bau seperti itu, padahal tidak ada makanan yang basi.

Santai saja Mas Rian menunjukkan kakinya ketika kutanyakan hal itu padanya.

“Biasa, jari kakiku,” katanya acuh tak acuh, seolah-olah cuma bajunya yang kotor. “Nanti pulang kantor aku beli salep lagi.”

“Kenapa tidak ke dokter, Mas?” tegurku dengan perasaan cemas. “Luka itu kan sudah hampir setahun tidak sembuh-sembuh!”

“Siapa bilang?” bantah Mas Rian, seperti biasa, tidak mau kalah. “Sudah sembuh kok. Cuma lecet lagi kena sepatu. Nanti pakai salep juga langsung kering.”

Tetapi kali ini, lukanya tidak pernah sembuh lagi. Luka itu berubah menjadi borok yang menebarkan bau busuk. Akhirnya Mas Rian mau juga ke dokter setelah kupaksa sambil melontarkan ancaman.

“Kalau Mas Rian tidak mau ke dokter, aku juga tidak mau pap smear. Buat apa sehat kalau Mas Rian sakit?”

“Siapa bilang aku sakit?” Dia masih membantah dengan gigih. Dasar keras kepala! “Aku nggak apa-apa kok!”

Tetapi pendapatnya berubah ketika dokter menyuruhnya memeriksakan darahnya. Ternyata Mas Rianto mengidap Diabetes melitus. Penyakit kencing manis.

Dan karena jari kakinya sudah membusuk, dokter terpaksa memotongnya. Mas Rian diberi obat penurun kadar gula darah. Dan diberi ancaman.

“Harus diet. Dan harus rajin memeriksa gula darah. Kalau ada luka, cepat diobati. Kalau sudah menjadi gangren, tak ada terapi lain kecuali amputasi. Membuang bagian yang busuk dan jaringan yang sudah mati itu.”

Dua tahun Mas Rian mematuhi perintah dokter. Dia rajin memeriksakan darahnya. Rajin diet. Rajin minum obat. Tetapi menjelang tahun ketiga, karena kesibukannya berwiraswasta, dia melupakan kesehatannya. Dia sedang bersemangat sekali merintis usaha barunya di bidang komputer. Dan karena kelihatannya usahanya maju pesat, dia melupakan kesehatannya. Sia-sia aku selalu memperingatkannya.

Mas Rian baru mau pergi ke dokter setelah kakinya mulai menebarkan bau busuk lagi. Ternyata ada luka di telapak kaki kanannya yang cepat sekali melebar dan membusuk. Luka itu bukan hanya bernanah. Kulit di sekitarnya juga berwarna kehitam-hitaman.

“Kalau Mas Rian tidak mau ke dokter, aku tidak mau lagi tidur seranjang dengan Mas!” ancamku separo putus asa. “Tidak tahan bau busuknya!”

“Oke! Oke!” katanya jengkel. “Tadi sore juga aku sudah suruh sekretarisku telepon perawatnya Dokter Tiar. Dapat nomor tiga. Tapi tidak keburu ke sana. Kamu kan tahu bagaimana sibuknya aku belakangan ini!”

“Tahu,” dengusku sama kesalnya. “Yang aku tidak tahu, apakah mereka masih mau menerima bookingan Mas. Soalnya sudah supuluh kali dibatalkan!”

Tetapi kejengkelanku berubah menjadi kecemasan ketika Dokter Tiar selesai memeriksa luka Mas Rian.

“Gangren,” suaranya sama seriusnya dengan airmukanya. “Rasanya hampir terlambat…”

Terlambat! Sepotong kata yang sangat menakutkan! Mengerikan! Apalagi bila diucapkan untuk orang yang sangat kita cintai!

Dan Mas Rian memang sudah sangat terlambat kali ini. Kakinya harus diamputasi. Hanya sedikit di bawah lututnya! Suamiku yang enerjik itu akan buntung! Lelaki yang sedang amat bergairah mengejar karirnya itu akan menjadi orang cacat!

‘Tidak,’ cetus Mas Rian tegas.

Suaranya bernada getir. Pahit. Tapi aku membaca kekerasan yang sangat kukenal itu. Tekad yang tak tergoyahkan. Yang dulu sangat kukagumi. Kuhormati. Tetapi kini sangat kutakuti!

“Lebih baik aku mati daripada cacat!”

‘Mas!” sergahku lirih.

Lalu aku tidak mampu lagi membuka mulutku. Karena aku tahu, kalau kugerakkan bibirku, tangis yang sudah lama tersekat di tenggorokanku akan pecah tak tertahankan lagi.

Dokter Tiar sudah menjatuhkan vonisnya. Dan sebagai seorang dokter ahli, diagnosisnya tidak usah diragukan lagi. Demikian juga prognosis yang diramalkannya.

“Jaringan di sekitar itu sudah mati. Dan jaringan mati harus segera dibuang karena sangat berbahaya.”

“Tidak dapatkah hanya jaringan di sekitar luka itu saja yang dibuang, Dok?” pintaku seperti sedang menawar nasib.

“Gangren seperti ini menjalar dengan sangat cepat. Hari ini kita buang jaringan di sekitar luka, esok pembusukannya sudah naik sampai ke pergelangan kaki. Lusa sudah sampai di betis. Kita sedang berkejaran dengan waktu. Karena suatu saat, kita tidak dapat lagi menghentikan penjalaran kuman yang sangat cepat, biarpun dengan antibiotik yang paling poten.”

Itu berarti vonis mati! Secara medis, prognosisnya sudah jelas. Tidak dapat ditawar lagi.

Tetapi aku punya Tuhan. Tuhan yang Maha Kuasa. Yang mampu melakukan apa saja. Aku juga punya seorang sahabat yang setia. Tuhan Yesus. Dan aku percaya, jika dikehendaki Tuhan, Mas Rian akan sembuh. Jika Yesus mau menolongku, mukjizat apa yang tidak dapat dilakukan-Nya? Jangankah hanya luka yang membusuk. Orang yang sudah mati seperti Lazarus pun mampu dibangkitkan kembali oleh Tuhan Yesus!

Tetapi ketika kusampaikan hal itu kepada Mas Rian, dia hanya tersenyum pahit. Mulutnya memang tidak mengejek lagi seperti dulu. Tapi sikapnya yang skeptis mendera batinku. Aku tahu sekali, di balik senyumnya, Mas Rian menyimpan sebongkah sinisme.

Jika dokter yang paling pintar saja cuma mengajukan dua pilihan, amputasi atau mati, bagaimana bayangan di kepala istrinya bisa merealisasikan pilihan ketiga? Sembuh tanpa amputansi? Itu cuma dongeng! Mukjizat? Itu pasti nama lain dari khayalan! Fantasi yang selalu menghibur istrinya. Menenangkan hatinya yang gundah. Melelapkan tidurnya yang resah.

Tidak heran kalau selama masih di rumah, Mas Rian selalu menghindari kunjungan para hamba Tuhan. Tetapi ketika dia sudah terbujur di ranjang rumah sakit, dia tidak dapat menghindar lagi.

Mula-mula Mas Rian memang hanya menerima mereka karena dia tidak dapat mengusir. Tidak dapat bersembunyi. Tidak punya pilihan lain kecuali mendengarkan apa yang disampaikan mereka. Tidak kurang dari tujuh orang pendeta datang mengunjunginya. Berdoa di sisi pembaringannya. Memohonkan kesembuhan untuknya. Tetapi penyakitnya seperti tidak mendengarkan doa mereka. Penyakit Mas Rian berjalan terus. Infeksinya merambah dengan sangat cepat. Rasanya maut hanya tinggal bilangan hari.

Tetapi suatu hari, terjadilah keajaiban. Setelah pendeta yang ke delapan datang mengunjungi dan mendoakannya, lukanya berangsur sembuh. Sekarang bukan hanya Dokter Tiar yang heran, Mas Rian juga.

“Mungkin karena daya tahan tubuh Bapak yang sangat bagus,” komentar Dokter Tiar tanpa menyembunyikan rasa takjubnya. “Mungkin pula karena antibiotik yang terakhir saya berikan itu sangat poten. Memang tidak ada yang pasti dalam dunia kedokteran. Ilmu kedokteran bukan matematik.”

“Barangkali karena Tuhan yang dikenal istri saya ingin memperkenalkan diri-Nya kepada saya.”

Aku hampir tidak mempercayai apa yang kudengar. Hampir tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulut suamiku!

Akhirnya! Akhirnya Tuhan memperlihatkan kuasa-Nya! Dan kalau Dia sudah datang dengan Kuasa dan Kemuliannya, siapa lagi yang mampu menghindar?

Malam itu aku berdoa sambil menangis. Mengucap syukur kepada Tuhan. Bukan hanya karena Tuhan telah berkenan menyembuhkan suamiku. Tetapi karena cara penyembuhan yang dipilih-Nya sekaligus telah membangkitkan iman Mas Rian. Ketika aku selesai berdoa, aku seperti mendengar Tuhan melantunkan lagu yang sangat indah. Begitu indahnya sampai hatiku terasa mencair dalam kehangatan.

Keesokan harinya Pendeta kedelapan memberikan Sakramen Perjamuan Kudus untuk Mas Rian. Dan kali ini penerimaan Mas Rian sungguh berbeda.

“Sekarang Pak Rian percaya Tuhan itu ada? Pak Rian percaya Tuhan Yesus yang telah menyembuhkan Pak Rian dengan Kuasa dan Kasihnya yang ajaib?”

“Ya, saya percaya,” sahut Mas Rian, mantap seperti biasa.

Aku sampai hampir tidak mampu menahan airmata yang bergulir dari sudut mataku. Keharuan menyergap hatiku. Jika Tuhan menghendaki, ternyata tidak ada seorang manusia pun yang mampu menudungi dirinya dari terobosan sinar kemuliaan-Nya! Tetapi pertanyaan berikutnya sungguh membuatku terenyak.

“Jika kelak Tuhan mengambil kembali kesembuhan yang telah diberikan-Nya, Pak Rian tidak akan berpaling? Tetap dalam iman yang teguh, percaya kepada Tuhan kita Yesus Kristus?”

“Ya,” sahut Mas Rian dalam suara yang sama mantapnya.

Suara yang sangat kukenal. Suara suami yang sangat kucintai. Lalu pendeta itu memberkatinya. Dan Tuhan menagih janji Mas Rian.

Dua hari kemudian, dia menderita komplikasi. Septikemia. Suhu tubuhnya naik. Kesadarannya menurun. Tetapi sesaat sebelum jatuh dalam koma, Mas Rian tetap teguh dengan janjinya. Dia tetap bertahan dalam imannya walaupun kesembuhan itu diambil kembali dari dirinya.

Pertanyaan Pendeta kedelapan dijawabnya dengan mantap, meskipun dengan suara yang tidak jelas lagi.

“Ya, saya percaya,” katanya hanya sesaat sebelum kesadarannya hilang.

Lalu matanya terpejam. Dengkurnya terdengar mengiris hatiku. Seakan mengisyaratkan perpisahan yang telah di ambang pintu.

“Jangan pergi, Mas,” tangisku lirih. Saat itu aku sangat ketakutan. Takut tidak dapat bertemu lagi dengan belahan jiwaku. “Jangan tinggalkan aku!”

Ke mana aku harus mencarinya jika aku rindu hendak melihat wajahnya dan merasakan belaian tangannya?

“Jangan halangi jalannya,” pinta Pendeta kedelapan sambil menyentuh bahuku yang bergetar diguncang tangis. “Dia akan pergi ke suatu tempat yang sangat indah. Tempat yang telah disediakan Tuhan untuk anak-anak yang dikasihi-Nya. Di sana dia akan menunggumu. Suatu hari nanti, kalian akan bertemu lagi. Saat itu tak ada lagi derita. Tak ada lagi penyakit. Tak ada lagi tangis. Hanya cinta dan kebahagiaan abadi yang kalian miliki.”

Mas Rian meninggal sebagai seorang Kristiani sejati. Dia tetap tidak mengingkari kepercayaannya meskipun pada saat-saat terakhir, hidupnya direnggut justru pada saat dia telah menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Justru akulah yang terguncang. Imankulah yang goyah.

“Mengapa Tuhan tidak membiarkan Mas Rian hidup sebagai saksinya? Saya sudah membayangkan Mas Rian berdiri di depan mimbar gereja, bersaksi tentang kesembuhannya! Mengapa dia justru diambil pada saat dia sudah bertobat dan mengaku pecaya?”

“Karena Tuhan menganggap itulah saat terbaik untuk mengambil Pak Rian,” sahut Pendeta kedelapan dengan tenang. “Sebelum Pak Rian berpaling dan berbuat dosa lagi. Karena Tuhan sayang kepadanya, Tuhan memilih waktu terbaik untuk menyelamatkan jiwanya.”

“Tapi saya tidak sanggup hidup tanpa Mas Rian,” rintihku getir. “Mengapa Tuhan mengambil satu-satunya orang yang paling saya cintai?”

“Karena Tuhan ingin memberikan hidup yang lebih abadi dan lebih indah untuk kalian berdua. Bukankah Bu Irina akan sangat kecewa kalau suatu hari nanti tidak menemukan Pak Rian di Surga? Sekarang Bu Irina boleh percaya, kalau suatu hari Tuhan memanggilmu, Ibu akan melihat Pak Rian sedang menunggu di sana.”

Kata-kata itu seindah musik yang masih mengalun di telingaku. Semerdu lagu yang mengiringi perpisahan dengan suamiku.

Ketika kuangkat wajahku ke langit, aku seperti melihat Tuhan sedang bermain piano. Lagu yang dilantunkannya merambah dari telinga ke hatiku. Menyentuh relung hatiku yang paling dalam. Tiba-tiba saja aku teringat pada lagu yang dilantunkan Tuhan pada malam aku mengucap syukur untuk kesembuhan Mas Rian. Seperti saat itu, aku juga merasa sentuhan cinta yang sangat indah. Yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Yang tak mampu dijabarkan dengan rasio.

Mira W

1 Comment

  1. Sulistya Dariyati

    Saya sangat tersentuh dengan kesaksian seperti ini. Kehidupan yg disertai kepercayaan harus dipertahankan sampai akhir hayat kita, saya pernah menghadapi masalah yg hampir sama, tetapi tetap percaya. Tuhan membuat segala sesuatunya indah. Sukacita tdk tergantung apa yang kita miliki…tidak ada yang abadi kecuali keabadian itu sendiri. Semoga kesaksian ini bukan hanya menjadi penguat saya pribadi tetapi juga sebanyak mungkin orang, agar kepercayaannya tetap dan tidak luntur saatbadai datang. JBU

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Sudut Hidup
  • Aku mencari wajah-mu, Tuhan…
    Kesaksian Dapot Parulian Pandjaitan
    Berharga di mata Tuhan (kematian) semua orang yang dikasihi-Nya (Mazmur 116:15) Oops… Kematian? Suatu kata yang sering dihindari orang...
  • Kasih-Nya Mengalir
    Namanya Helen Jayanti, biasa dipanggil Helen. Saat ini sedang menjalani Praktek Jemaat 1 di GKI Pondok Indah. Lulusan dari...
  • Jalan Pagi Lagi di Antara Jiwa-Jiwa
    perjumpaan dengan inspirasi kehidupan lain yang juga mendatangkan syukur
    Upaya Menjaga Kebugaran Sungguh tak mudah memulai kembali sebuah rutinitas, terutama yang menyangkut fisik, apalagi kalau memang pada dasarnya...
  • Jalan Pagi di Antara Jiwa-Jiwa
    Perjumpaan-perjumpaan yang menginspirasi kehidupan dan mendatangkan syukur.
    Jalan Pagi Untuk menjaga kondisi dan kesehatan jasmani di masa yang menekan ini sehingga tidak banyak aktivitas yang bisa...
  • In-Memoriam: Pdt. (Em.) Timotius Setiawan Iskandar
    Bapak bagi banyak anak yang membutuhkan kasih: yang kukenal dan kukenang
    Mencari Tempat Kos Setelah memutuskan untuk mengambil kuliah Magister Manajemen pada kelas Eksekutif (kuliah pada hari Sabtu-Minggu) di Universitas...