Mengungkapkan kekurangan dan kesalahan kita, serta meminta maaf kepada pasangan adalah tahap awal yang perlu dilakukan pada saat kita mengampuni kesalahannya. Hal itu merupakan proses interaksi saling memberi dan menerima kasih yang sejati. Namun bagian ini sering atau memang sengaja kita lupakan, agar kekurangan dan kesalahan itu dapat kita sembunyikan.
Marilah kita renungkan kebenaran firman Tuhan dari Efesus 5:20-21 yang mengatakan, “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus”.
Saling merendahkan diri seorang kepada yang lain berdasarkan takut akan Kristus, merupakan landasan utama bagi kita untuk dapat meminta maaf kepada sesama. Apabila kita berani meminta maaf atas kesalahan kita kepada pasangan, berarti kita sudah dapat memiliki sikap rendah hati dan dapat menundukkan diri, serta menyadari bahwa setiap orang dapat saja berbuat salah termasuk diri kita sendiri.
Meminta maaf dengan hati nurani yang murni adalah suatu rasa kemerdekaan dari dalam yang timbul karena mengetahui dan menyadari bahwa hubungan kita dengan Tuhan dan sesama harus dapat berlangsung secara terbuka.
Keterbukaan adalah luapan hati nurani yang murni dan merupakan langkah menuju pemulihan jiwa yang terluka dalam keluarga yang mengalami masalah. Namun sebaliknya, salah satu bentuk hati nurani yang tidak murni adalah kesombongan dan keangkuhan. Inilah yang menjadi penghalang terbesar bagi seseorang untuk dapat terbuka dan berani meminta maaf kepada pasangan. Kesombongan ini membentuk pandangan yang terlalu berlebihan terhadap diri sendiri dan merupakan sikap melawan Tuhan, dan tidak mentaati-Nya.
Alkitab menegaskan dalam 1 Petrus 5:5b bahwa “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati”.
Kesombongan membuat mereka menuruti kemauan diri sendiri dan tidak peduli dengan kehendak Allah. Kesombongan selalu mendatangkan sikap merendahkan orang lain, melihat kelemahan orang lain dan tidak mau melihat kelemahan diri sendiri. Mungkin mereka dapat “mengampuni” orang lain tanpa dilandasi keterbukaan akan kekurangan diri sendiri, dan hanya memandang bahwa orang lain itu tidak benar. Hal itu merupakan pengampunan semu yang hanya dilandasi kesombongan dan keangkuhan, mereka ingin menunjukkan bahwa “akulah yang paling benar”.
Pengampunan yang disertai hati nurani yang murni dan penuh keterbukaan akan mendatangkan kesatuan suami-isteri yang kokoh dalam keluarga. Keterbukaan tidak hanya terbatas diterapkan dalam hal meminta maaf, tetapi juga meliputi segala keadaan dalam kehidupan rumah tangga.
Untuk memperkokoh kesatuan suami-isteri, kita perlu menyadari bahwa di dalam satu keluarga, masing-masing anggota merupakan anggota tubuh Kristus. Tidak ada satu pun dari anggota tubuh yang merasa lebih baik dari pada yang lain, ataupun sebaliknya. Semua anggota tubuh saling melengkapi terhadap anggota tubuh yang lain, sehingga masing-masing individu dapat menerapkan “rasa hormat” sebagai dasar hubungan yang sehat dengan pasangan.
Tidak diragukan lagi bahwa konsep “rasa hormat” itu merupakan konsep yang telah kita kenal untuk dapat membangun suatu hubungan yang sehat serta dapat membangkitkan semangat saling mendukung dengan pasangan. Konsep inilah yang disarankan bagi suami dan isteri untuk dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan keluarga, baik dengan pasangan maupun dengan anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Kalau kita memiliki rasa hormat dan menghargai pasangan, maka kita secara tidak langsung mengatakan bahwa pasangan kita memiliki makna dalam kehidupan kita. Tetapi sebaliknya, bila kita tidak memiliki rasa hormat dan tidak menghargai pasangan, maka pasangan akan merasa diremehkan dan tidak memiliki makna dalam kehidupan kita.
Untuk menumbuhkan rasa hormat dalam pasangan suami-isteri, perlu memperhatikan nasihat yang sangat berharga bagi seorang suami yang dinyatakan oleh rasul Paulus dalam 1Petrus 3:7 sebagai berikut: “Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang”.
Demikian pula bagi seorang isteri, rasul Paulus menasihatkan agar para isteri juga memakai perlengkapan “hormat” yang penuh “kuasa” dengan memberikan kesempatan bagi suami untuk melihat sikapnya yang sejati dan terhormat. 1Petrus 3:5 mengatakan, “Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya kepada Allah; mereka tunduk kepada suaminya”.
Rasa hormat itu merupakan sebuah keputusan yang harus diterapkan dalam diri kita setiap hari bahkan setiap saat. Namun pada umumnya pasangan-pasangan zaman sekarang ini banyak yang mengabaikan nasihat rasul Paulus itu, terutama para suami yang menempatkan “rasa hormat” kepada isterinya pada “tingkatan lebih rendah” setelah hobby dan kesibukan yang lain. Pekerjaan di kantor, seminar-seminar, sebuah bola golf yang kecil, hura-hura bersama kawan-kawan dekat, dan bahkan tayangan “tertentu” di telivisi memperoleh tempat pada “tingkatan yang lebih tinggi” dalam hidupnya. Ini merupakan kenyataan yang sering muncul sebagai pernyataan dan pengakuan para ibu rumah-tangga yang “kesepian” di rumah. Namun ada pula sebaliknya, para isteri yang menjadi wanita karier dan memiliki penghasilan besar serta sebagai penopang kehidupan keluarga, memandang rendah suaminya. Mereka tidak terbuka dan tidak menaruh rasa hormat kepada pasangannya.
Sikap keterbukaan dan rasa hormat itu dalam batas-batas tertentu juga perlu dilakukan kepada anak-anak dan para menantu, agar mereka juga dapat memahami bila terjadi kesulitan-kesulitan keluarga dan secara bersama-sama mencari pemecahannya. Dengan sikap ini diharapkan setiap anggota keluarga dapat terhindar dari kesalah-pahaman, karena mereka belajar saling mengerti dan saling mengisi, sehingga akan terbina dan tercipta saling bertanggung jawab.
Pengembangan sikap keterbukaan dan rasa hormat ini akan mendorong dan mewarnai setiap suami atau isteri atau anggota keluarga yang lain untuk memiliki peran penting dalam keluarga. Seberapa besar sikap keterbukaan dari seorang suami atau seorang isteri, pada hakekatnya sudah melekat pada masing-masing individu yang bersangkutan dan memiliki tendensi yang bersifat konstan, walaupun masih ada kemungkinan dapat mengalami perubahan.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa ada orang yang memiliki sikap sulit berubah, dan ada pula yang memiliki sikap mudah berubah. Hal itu tergantung sejauh mana sikap itu sudah mendarah-mendaging pada seseorang, atau sudah menjadi kerangka acuan di dalam kehidupannya.
Dalam upaya mengubah pembentukan sikap, para pakar bimbingan dan konseling pernikahan menyarankan untuk menggunakan berbagai cara, antara lain melalui tiga pendekatan, yaitu: komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif.
Pada dasarnya pendekatan dengan komponen kognitif adalah melakukan proses perubahan dan pembentukan sikap dengan cara memberi pengertian baru yang berkaitan dengan pengetahuan, pendapat, pandangan dan kepercayaan, serta bagaimana mempersepsikan obyek sikap itu sesuai dengan apa yang diperlukan.
Sedangkan pendekatan dengan komponen afektif melakukan proses perubahan pembentukan sikap melalui perasaan, yaitu rasa senang, bahagia dan sukacita. Bila seorang suami menginginkan perubahan sikap isterinya yang selalu bersungut-sungut, maka suami tersebut memberikan pujian yang dilakukan berulang-ulang bila isterinya sedang tersenyum. Lama kelamaan sikap cemberut itu dapat berubah menjadi sikap ceria dan penuh sukacita.
Dan yang terakhir pembentukan sikap melalui komponen konatif, yaitu dengan cara melatih bertindak, berbuat seperti yang diinginkan. Bila telah dibiasakan demikian, diharapkan pada akhirnya akan terbentuk perbuatan dan sikap seperti yang dikehendaki. Namun pendekatan ini harus pula diikuti dengan memberikan pengertian.
Menurut hemat kami, pendekatan yang paling efektif adalah melalui adaptasi proses belajar bertumbuh dengan saling mengasihi dan saling membangkitkan kesadaran, dengan merenungkan dan melaksanakan firman Tuhan setiap hari. 2 Timotius 3:16-17 mengatakan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik”.
Sebenarnya pendekatan ini merupakan kombinasi dari tiga pendekatan tersebut di atas, namun bersifat alkitabiah. Pendekatan ini lebih mengandalkan Alkitab sebagai pengetahuan, pandangan dan kepercayaan, serta sebagai acuan untuk melatih bertindak, membuka pengertian-pengertian baru tentang keterbukaan yang akan menumbuhkan rasa hormat dan sukacita kita kepada Tuhan dan sesama.
Bila kita ingin menempuh dengan pendekatan ini, maka kita perlu menciptakan suasana dan lingkungan yang mendukung ke arah pembentukan sikap tersebut. Suasana dalam rumah tangga yang penuh kasih dalam Tuhan dan keterbukaan dalam segala hal sampai yang sekecil-kecilnya, kecuali “rahasia jabatan”.
Dalam hal menciptakan lingkungan, kita tidak perlu meng-isolasi-kan keluarga kita hanya dalam lingkungan terbatas atau komunitas tertentu yang sesuai dengan tingkatan hidup kita. Melainkan kita perlu menerapkan insulasi, yaitu menyaring kehidupan lingkungan yang heterogin agar keluarga kita tidak tercemar dari lingkungan yang tidak baik. Dengan demikian kita justru dapat belajar menjadi “lilin-lilin” bagi kehidupan mereka yang tersesat.
Kami ingin berbagi pengalaman rohani yang cukup unik bagaimana kami dapat menyadari dan menerapkan fungsi keterbukaan dan rasa hormat yang mendatangkan pemulihan hubungan suami-isteri dan keluarga.
Dulu sewaktu masih aktif bekerja, saya pun memiliki sikap terlalu mementingkan diri sendiri dan pekerjaan adalah yang utama, sehingga perhatian kepada pasangan merosot pada “tingkatan lebih rendah”, demikian pula dengan anak-anak. Waktu itu kami belum sepenuhnya memahami penerapan konsep “rasa hormat” yang alkitabiah di dalam kehidupan rumah tangga, walaupun kami sudah belajar tehnik berdialog dengan pasangan dalam kegiatan Pasutri GKI Pondok Indah.
Saya baru menyadari bahwa saya belum mentaati firman Tuhan dalam hal “menghormati” pasangan, setelah merenungkan firman Tuhan dari Yakobus 5:16 yang mengatakan, “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh”. dan Amsal 28:13 juga menegaskan, “Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi”.
Kemudian firman itu menggerakkan saya untuk meminta maaf pada pasangan, mengakui kekurangan dan kesalahan saya pada masa lalu serta mencetuskan komitmen kepadanya untuk memberikan rasa hormat dan perhatian yang pantas diterimanya. Keterbukaan saya itu membuat pasangan tahu akan kekurangan dan kesalahan saya, sehingga kondisi itu membuat saya tidak sombong dan keterbukaan itu menjadi pagar yang baik bagi diri saya.
Hubungan kami sebagai suami-isteri semakin dipulihkan, karena keterbukaan dan konsep “rasa hormat” yang alkitabiah itu semakin melekat dalam kehidupan keluarga, dan tidak hanya terbatas dengan pasangan, tetapi juga dengan anak-anak, para menantu dan cucu-cucu serta orang lain.
Secara perlahan tetapi pasti, kami dapat bertumbuh semakin memahami konsep “rasa hormat” itu di dalam hubungan kami dengan Bapa di sorga dan kami ingin memberikan tempat yang paling mulia bagi Allah di dalam kehidupan kami sekeluarga.
Dengan penuh kasih dan kesehatian, kami sekeluarga memprioritaskan untuk membangun mezbah keluarga, berdoa, memuji dan menyembah Tuhan serta merenungkan firman-Nya. Kalau kita berani terbuka dan menaruh rasa hormat kepada Tuhan dan sesama, niscaya kuasa Firman-Nya akan dinyatakan dan Tuhan sendiri yang akan berkarya di dalam hidup kita. Dalam hal ini kita juga harus berani memberikan kesempatan kepada-Nya untuk masuk dan duduk bersama dengan kita dan kita bersama Dia. Wahyu 3:20 mengatakan, “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku”.
Keterbukaan kepada Tuhan dan sesama akan memberikan kesempatan kepada Firman Allah yang hidup untuk mengubah situasi dan memperbaharui kehidupan keluarga. Inilah kenyataan dalam kehidupan yang perlu disadari juga oleh masing-masing individu sebagai pasangan suami-isteri.
Kita yakin bahwa Tuhanlah yang mengubahkan pembentukan sikap kita menuju keterbukaan dan rasa hormat. Oleh karena itu, apapun upaya kita untuk mengubah pembentukan sikap, kiranya masih harus dibarengi dengan pendekatan alkitabiah yang mengandalkan firman Tuhan.
Pasutri Tjuk & Maureen Soemarsono
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.