Keteladanan

Keteladanan

Belum ada komentar 64 Views

Salah satu cara atau metode pendidikan dasar yang paling efektif adalah melalui keteladanan. Keteladanan bisa didapat dari orangtua, guru, saudara bahkan bisa dari acara-acara televisi maupun film. Keteladanan bukan sekadar bicara, tetapi perilaku, yaitu melakukan apa yang dikatakan. Keteladanan diawali dari peniruan (imitasi) yang lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan menjadi karakter. Ketika anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan di sekolah, maka keteladanan yang paling banyak ditiru adalah dari para orangtua dan para guru.

Karenanya, kita sebagai orangtua dan para guru harus memiliki kepekaan dan ekstra hati-hati dalam berperilaku. Perilaku kita diamati oleh anak-anak kita. Misalnya, kita mengajarkan untuk membaca Alkitab, tetapi kita tidak melakukan sebagaimana yang kita katakan. Kita menyuruh mereka untuk menyikat gigi sebelum tidur, tetapi kita tidak melakukannya. Perilaku semacam ini tidak dapat dikategorikan sebagai keteladanan yang baik. Mereka cenderung akan meniru apa yang kita lakukan.

Keteladanan bisa didapat juga dari perbedaan pendapat, bahkan dari suatu perselisihan atau pertengkaran. Beberapa teori tentang pendidikan dan perkembangan anak mengatakan bahwa orangtua jangan bertengkar di depan anak-anak, karena memberikan contoh yang tidak baik. Dalam beberapa kasus pertengkaran, teori tersebut benar. Akan tetapi, hemat saya, anak-anak perlu juga melihat bagaimana kedua orangtua mereka berbeda pendapat, mungkin juga bertengkar, tetapi diperlihatkan pula kepada mereka bagaimana kita mengakhiri pertengkaran tersebut dan menemukan solusinya. Perlu juga mereka melihat bagaimana kedua orangtua mereka saling memaafkan. Karena dalam dunia realitas, mereka akan mengalami hal-hal seperti itu. Kalau mereka tidak pernah melihat pertengkaran, mereka akan menganggap bahwa dunia ini selalu damai-damai saja.

Kita perlu menanamkan toleransi terhadap perbedaan, karena dalam masyarakat mereka akan menemukan banyak sekali perbedaan.

Demikian pula dengan para guru. Dalam batas-batas tertentu, kalau para siswa tidak boleh melakukan, maka para guru juga tidak boleh melakukannya. Misalnya, guru mengajarkan untuk tidak terlambat hadir di sekolah, tetapi guru sering datang terlambat. Para siswa dilarang merokok, tetapi guru merokok di lingkungan sekolah. Para guru juga diharapkan dapat membangun budaya untuk berbeda pendapat, karena dalam dunia realitas akan banyak sekali perbedaan pendapat yang akan mereka temui. Para guru juga perlu minta maaf kepada siswanya apabila melakukan kekeliruan atau kesalahan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan tidak pernah berbuat salah, sekaligus pula untuk menunjukkan bahwa membuat kesalahan itu biasa. Tetapi yang lebih penting adalah apa yang harus dilakukan setelah berbuat salah.

Namun, keteladanan yang sudah ditanamkan kepada anak-anak kita sering kali dirusak oleh realitas yang tidak sesuai dengan apa yang sudah kita ajarkan dan yang seringkali pula tidak bisa kita hindari. Misalnya, memberi uang untuk mendapatkan kemudahan (membuat KTP, SIM, Paspor) atau mengurusnya lewat calo. Membayar “uang damai” ketika melanggar lalu lintas, atau menyeberang jalan tidak pada tempat yang semestinya. Kita pasti sudah sering mengatakan bahwa tawuran tidak baik, tetapi kita sering melihat tawuran antar warga, antar mahasiswa, bahkan di persidangan di mana seharusnya hukum ditegakkan.

Anak-anak menjadi sering dibingungkan antara norma-norma dan nilai-nilai yang diajarkan oleh orangtua maupun di sekolah, dengan kenyataan yang mereka lihat, yang sangat berbeda dengan apa yang diajarkan kepada mereka. Sebagai contoh, kami mengajarkan kepada anak kami untuk tidak berbohong. Suatu hari, pulang dari sekolah dia marah-marah dan pada waktu kami tanyakan penyebabnya, dia mengatakan bahwa temannya berbohong. Dia tidak bisa menerima, kenapa temannya harus berbohong.

Ini semua adalah tantangan sekaligus juga tanggung jawab kita, sebagai orangtua maupun sebagai guru. Kita punya kewajiban tidak hanya membuat anak-anak kita menjadi pintar, tetapi juga menjadikan anak-anak kita mempunyai karakter dan budi pekerti yang baik, sesuai dengan nilai-nilai kristiani yang kita anut. Mari kita perangi perilaku yang merusak akhlak dan moral anak-anak kita. Beranikah?

 

 

Sindhu Sumargo

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Artikel Lepas
  • Kami Juga Ingin Belajar
    Di zaman ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, manusia justru diperhadapkan dengan berbagai macam masalah...
  • KESAHAJAAN
    Dalam sebuah kesempatan perjumpaan saya dengan Pdt. Joas Adiprasetya di sebuah seminar beberapa tahun lalu, ia menyebutkan pernyataan menarik...
  • Tidak Pernah SELESAI
    Dalam kehidupan ini, banyak pekerjaan yang tidak pernah selesai, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pekerjaan rumit seperti mengurus...
  • Mengenal Orang Farisi
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Arti Kata Farisi Kata Farisi—yang sering diterjemahkan sebagai ‘memisahkan/terpisah’— menunjukkan sikap segolongan orang yang memisahkan diri dari pengajaran—bahkan pergaulan—...
  • Mengenal Sosok Herodes
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Herodes dalam Injil Banyak orang tidak terlalu menaruh perhatian pada sosok Herodes dalam Injil. Kebanyakan mereka hanya tahu bahwa...