Masalah cukup sulit yang kita hadapi akhir-akhir ini adalah dalam berelasi, khususnya berkomunikasi. Dalam dunia GrandParenting, cucu-cucu jadi sulit diajak bicara. Bukan karena mereka tidak bisa atau tidak mau mendengarkan kita, melainkan karena adanya hal-hal yang telah menjadi dunia mereka dan yang tidak bisa dipisahkan dari mereka.
Beberapa penyebab yang membuat kita sulit berkomunikasi dengan cucu-cucu kita:
Pertama, Bahasa Ibu yang Berbeda. Banyak anak di sekolah internasional atau nasional plus menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing sebagai bahasa pengantar. Mereka dilatih untuk mahir dan fasih menggunakan bahasa tersebut. Ada sekolah yang saya tahu akan menghukum murid-muridnya jika mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari di kelas, di luar kelas, apalagi kalau berbicara kepada guru atau orang yang mereka tuakan. Di satu sisi, bagus sekali bahwa anak-anak dilatih memahami bahasa asing dengan program akselerasi atau percepatan berbahasa melalui metode menjalankan dalam pengalaman. Namun di sisi lain, mereka jadi melupakan bahasa ibu sebagai bahasa penting yang perlu mereka dalami selama sekitar 10 jam waktu sekolah mereka. Ditambah lagi, ada hukuman jika mereka menggunakan bahasa ibu mereka. Juga tidak sedikit orang yang mengapresiasi jika para cucu kita menggunakan bahasa asing, “Aduh pintar ya, masih kecil sudah berbahasa Inggris.” Selain itu, orang-orang di luar kelas justru menanggapi dan berkomunikasi dengan anak kita dalam bahasa asing tersebut.
Kebijakan ini baik, sejauh anak-anak mempelajari sesuatu yang positif demi perkembangan dan kemajuan mereka. Namun ironisnya, mereka tidak diajak berbicara dalam bahasa Indonesia, sehingga makin tidak mengerti kosakata bahkan makna dari kalimat-kalimat yang dilontarkan kepada mereka. Bagaimana mungkin para cucu bisa menjawab jika mereka tidak tahu artinya?
Seorang ibu berteriak kepada anaknya, “Dan! Kamu harus disiplin. Kalau tidak disiplin, nanti sampai besar kamu tidak bisa disiplin!” Karena takut atau enggan menjawab, Dani tertunduk dan diam. Setelah beberapa menit berselang, saat si ibu dan si anak bisa bercakap kembali dengan lebih mesra, si anak bertanya, “By the way, disiplin itu apa sih Ma?”
Lalu, bagaimana anak itu belajar tentang disiplin, kalau dia sendiri tidak tahu arti kata itu.
Kedua, Komunikasi Gawai yang Terputus. Gawai (gadget) itu baik, sejauh membawa dampak positif. Namun jika gawai menghalangi relasi seseorang, bahkan membuat komunikasi terputus, tentu saja ada yang perlu kita perbaiki. Dalam hal ini, saat seorang cucu bermain terlalu lama dengan gawainya, seperti seorang penyelam, dia akan menyelam terlalu dalam dan sulit sekali naik ke permukaan. Saat oma dan opanya berbicara kepadanya, bagaikan seorang penyelam yang sedang berenang di dasar laut, opa dan oma di atas laut berteriak, “Ayo naik!” Proses naik dan mendengarkan apa yang opa dan oma katakan tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sekalipun sederhana sekali pertanyaannya, “Kamu mau makan apa siang ini?” Para cucu yang bermain gawai membutuhkan waktu beberapa detik untuk naik ke darat, mendengarkan, mengulang pertanyaan yang sama dalam benak mereka dan menjawab sesuai dengan pikiran mereka, lalu mengulangi pertanyaan itu lagi sambil merasakan apakah jawaban mereka sudah tepat seperti yang mereka kehendaki dalam hati mereka. Dalam proses loading ini biasanya oma dan opa akan mudah berpikir, “Ngomong seperti ini aja kok susah sekali. Ngga nyambung kita ya?”
Ketiga, Perbedaan Gaya Bahasa. Beberapa cucu yang belajar bahasa asing menerjemahkan kata “you” menjadi “kamu” atau “kalian”. Sementara dalam budaya kita, ada kata yang kita ucapkan untuk menunjukkan kesopanan. Saya tidak akan mengatakan kepada ayah saya, “Pa, kamu mau makan apa siang ini?” Namun saya akan mengatakan dengan hormat, “Papa mau makan siang apa, Pa?” Dalam bahasa asing, mereka menerjemahkannya secara literal tanpa memilih mana kata yang lebih sopan dan mana kata yang terasa kasar dalam budaya kita. Itu sebabnya ada cucu yang mengatakan kepada opanya, “Opa, kamu antar saya bisa?” Bagi si opa, ini merupakan kalimat perintah dan bukan sebuah permintaan yang sopan. Hal lain lagi, seorang cucu bisa jadi terlalu banyak bermain dengan gawai, sehingga tidak terbiasa dan terlatih untuk mengobrol. Kegiatan ini biasa kita lakukan sehari-hari, tetapi tidak biasa dilakukan oleh anak-anak milenia, apalagi jika sama sekali tidak berkaitan dengan games yang mereka mainkan. Itu sebabnya, akhirnya mereka hanya bicara satu arah saja. Kalaupun dua arah, mereka membicarakannya sebagai sebuah pernyataan tertutup, “Saya mau makan. Kamu?” Si anak menjawab, “Saya tidak lapar”. Titik.
Ketiga hal di atas ini saja sudah menghambat opa-oma untuk melanjutkan percakapan, komunikasi, apalagi relasi mereka dengan para cucu. Ada banyak alasan lain yang dapat kita gali sebagai penyebab cucu-cucu kita tidak mudah nyambung dengan kita.
Lalu, bagaimana mengatasinya?
Pertama, Personal Space (Area Pribadi). Tidak terlalu mudah untuk masuk ke area pribadi cucu-cucu kita sekalipun mereka masih kecil. Saat mereka memegang gawai atau mainan mereka, justru di situlah mereka sedang mengatakan, “Ini area pribadi saya!” Ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan opa atau oma saat mereka melakukan hal itu. Satu cara, opa-oma ikut bermain bersama cucu-cucu, belajar dan menjadi ahli dalam permainan itu sehingga cucu-cucu bisa kagum atau bermain bersama. Cara lain, bisa juga opa-oma menawarkan mainan yang berbeda, tetapi sama atau malah lebih seru dari permainan yang mereka mainkan di gawai. Sebagian opa-oma malah mengajak cucu-cucu pergi ke mal untuk membeli mainan yang mereka sukai. Proses mencari mainan itulah peluang agar cucu-cucu bisa nyambung jika diajak ngobrol dengan opa-oma karena opa-oma masuk ke area pribadi mereka.
Kedua, Bahasa Cinta yang Sama. Semua anak memiliki bahasa yang dapat menyentuh hati mereka. Saat pintu hati mereka terbuka, disitulah opa-oma bisa masuk dengan leluasa. Bagaimana caranya? Gary Chapman menggunakan 5 bahasa cinta: hadiah, waktu berkualitas, pelayanan, pelukan dan kata-kata yang membangun sebagai pilihan pintu masuknya. Menemukan pintu masuk untuk mencintai anak-anak dengan bahasa mereka, adalah seni yang dapat kita pelajari dan lakukan setiap waktu. Kita juga bisa menggunakan bahasa yang mereka pelajari selain bahasa ibu. Pertanyaan singkat saja bisa membuat mereka tahu bahwa, “Itu bahasa saya”. Misalnya, saat seorang cucu pulang sekolah, karena dia baru saja bercakap-cakap dengan teman-temannya selama 10 jam dalam bahasa Inggris, kita bisa menanyakan, “How’s your day?” (bagaimana harimu) atau “Who’s your friend that makes you happy today?” Jika anak mencoba menjawabnya, berikan pertanyaan positif lainnya dan apresiasi. “Wow…” lalu jika opa-oma mau kembali ke bahasa Indonesia, lakukanlah itu sambil tetap menjaga isi pembicaraan agar tetap menarik dan tidak membosankan.
Ketiga, Beberapa hal yang Perlu Kita Ingat: Cucu-cucu kita belum tentu suka dengan banyak pertanyaan. Mereka—termasuk anak-anak TK—juga tidak ingin hal pribadi mereka dipermalukan di depan umum. Mereka perlu penghargaan dari opa-oma. Sampai-sampai urusan naksir teman adalah hal penting dan pribadi. Jika opa-oma membuat mereka malu, mereka akan menutup mulut mereka untuk opa dan oma. Cucu-cucu kita juga ingin agar perasaan mereka dimengerti. Jadi fokuslah pada perasaan mereka daripada pada solusi dan nasihat, apalagi perintah yang kita pikir baik untuk mereka ikuti. BERHENTILAH memberi petuah, tetapi banyaklah mendengarkan ocehan mereka, khususnya menyimpan semua isi perasaan mereka dengan serius. Mereka perlu dimengerti, bukan ditertawakan atau dicela. Itu yang membuat mereka merasa ‘nyambung’ dengan opa-oma mereka.
Percayalah, keseruan bersama cucu-cucu saat bercakap-cakap bersama menjadi modal bagi mereka untuk menghargai kehadiran opa-oma sekalipun berbeda jauh sekali dalam zaman dan usia.
Selamat mencoba, Tuhan memberkati!
#hartayangpalingberhargaadalahkeluarg
riajos03
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.