Berdasarkan Undang-undang no. 10/1992 dan no. 52/2009, “Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat dan terdiri atas kepala keluarga dan anggota yang tinggal di suatu tempat, di dalam satu atap, dengan hidup saling ketergantungan.” Keluarga yang lengkap terdiri atas bapak, ibu dan anak, tetapi juga dapat hanya bapak dan ibu, bapak dan anak, atau ibu dan anak yang mempunyai hubungan darah, perkawinan dan adopsi. DR. Kenneth Chafin dalam bukunya, “Is there family in the house?” mengatakan bahwa keluarga adalah wadah bertumbuh bagi tubuh, akal budi, hubungan sosial, kasih, dan rohani. Keluarga menjadi tempat memberi energi, perhatian dan komitmen kasih sebagai pusat pengembangan semua aktivitas saat menghadapi kesulitan hidup. Keluarga pulalah wadah untuk memperoleh perlindungan, mentransfer dan saling belajar nilai-nilai baik dan sopan santun, serta tata krama kehidupan yang benar. Namun munculnya permasalahan dalam hidup berkeluarga tidak dapat dihindari, sekaligus upaya penyelesaiannya. Dalam kondisi kehidupan yang sulit dan tanpa ikatan spiritual, permasalahan bisa bergulir liar dan penyelesaiannya dilakukan di luar keluarga, sehingga menimbulkan kehancuran keluarga itu.
Ada beberapa tahap yang harus dilalui untuk mencapai status hidup berkeluarga yang aman, sejuk, dan damai. Tahap awal adalah menghilangkan pemaksaan kehendak sendiri dan mulai mengembangkan/menumbuhkan iklim kebersamaan. Harus pula disadari bahwa tuntutan kesetaraan antara suami dan istri bukan untuk semua hal. Menuntut persamaan hak harus wajar-wajar saja, karena jika terlalu mengotot dapat menimbulkan egoisme, sangat perhitungan dan ingin menang sendiri. Jika tahap pertama ini telah dilalui dengan selamat, maka hidup yang saling menghormati dan saling memerhatikan akan meningkatkan cinta bersama menuju terciptanya cinta sejati. Masing-masing pihak harus terlebih dahulu meningkatkan cintanya tanpa memaksa teman hidup melakukannya. Pada tahap akhir, masing-masing tidak saja menerima kekurangan pasangannya, tetapi juga mulai mencintai kekurangan tersebut.
Pernikahan dapat dirayakan dengan super mewah, dengan menggelar upacara adat, tetapi banyak pula yang diselenggarakan tanpa pesta. Meskipun demikian, perayaan nikah tidak menjamin keutuhan dan kebahagiaan suatu keluarga. Nyatanya, hidup berkeluarga penuh tantangan, layaknya mengikuti permainan roller coaster. Sekurang-kurangnya terdeteksi lima problem yang mengganggu keutuhan rumah tangga saat ini. Perselingkuhan dan ketidaksetiaan banyak terjadi. Apalagi zaman medsos yang sangat terbuka dan menimbulkan kontak cinta jarak jauh. Satu sama lain tidak mengenal bobot, bibit dan bebetnya, langsung mengobral janji-janji gombal. Kejadian seperti ini terutama banyak terjadi pada pasangan-pasangan yang memasuki masa “tweede jeugd” (pubertas kedua) pada usia antara 45 hingga 55 tahun. Hal ini bisa dilatarbelakangi oleh kehidupan yang monoton dan rutin, sehingga menimbulkan kebosanan yang berdampak pada pudarnya gairah. Untuk mengatasinya, masing-masing pihak harus dibekali pengetahuan untuk mengenal dan menganalisis permasalahan tersebut dan mencari solusi bagi kebosanan tersebut. Kadang-kadang, tahap-tahap kehidupan masing-masing pihak berbeda, padahal seharusnya berkembang dan tumbuh bersama. Hal ini dapat menimbulkan stres, terutama jika ditambah dengan kondisi keuangan keluarga yang tidak lancar dan mencukupi. Banyak yang masih beranggapan bahwa hidup berkeluarga semata-mata bertujuan untuk mencari kepuasan seks. Akibatnya, hilangnya libido satu pihak akan menimbulkan ketidakpuasan pihak lainnya dan akhirnya berakibat frustrasi.
Paul Mejer, seorang psikiater Kristen di Amerika Serikat mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan keluarga Kristen agar kehidupannya bertumbuh dengan baik. Kembangkanlah kasih di antara suami dan istri, dan di antara orangtua dan anak-anak. Mendidik anak harus dengan kasih, tetapi tetap berlandaskan disiplin dan keseimbangan antara hukuman dan pujian, serta konsisten menegakkan aturan-aturan yang benar. Orangtua harus dibiasakan mendidik anak-anak dengan prinsip keteladanan. Sesuai dengan ketetapan Allah, tegakkanlah hierarki keluarga, yaitu suami sebagai kepala rumah tangga, namun tetap saling menghormati dan saling membantu.
Allah menciptakan keluarga pertama, dengan menyatukan Adam dan Hawa sebagai suami dan istri. Beranak-cuculah dan bertambah banyak memenuhi bumi. Bagi keluarga Kristen yang ingin bahagia, belajar dan ikutilah kasih yang telah ditunjukkan Yesus Kristus dan ikutilah teladan-Nya. Suami, teruslah kasihi istrimu sebagaimana Kristus juga mengasihi domba-domba-Nya. Anak-anak membutuhkan orangtua untuk melindungi mereka dengan kasih sayang, juga keselamatan fisik, rohani dan moral mereka. Orangtua harus menjadi panutan bagi anak-anak, dan anak-anak harus menaati orangtua. Berbahagialah mereka yang mendengar dan memelihara Firman Allah. Puji syukur, masih banyak keluarga bahagia—termasuk warga senior GKIPI—yang berhasil hidup utuh, rukun dan damai hingga melewati 50 tahun pernikahan. Kukuhnya pilar utama kehidupan keluarga akan menguatkan kehidupan gereja dan negara.
Harry Tanugraha
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.