Dunia kita sudah berubah. Dulu orang dengan sekuat tenaga berusaha membentengi rahasia pribadinya. Sekarang orang dengan sukarela bahkan terkesan bangga membukanya melalui televisi. Urusan perjodohan, perselingkuhan, konflik rumah tangga bahkan sampai perceraian mendominasi layar kaca. Coba kalau tidak percaya, nyalakan televisi Anda dan Andapun akan menemukan acara-acara yang mengulas urusan pribadi. Mulai dari Infotainment, Reality Show, Take Me/Him Out Indonesia, semuanya memublikasikan urusan pribadi ke layar kaca, sebuah fenomena yang 5 atau 10 tahun lalu mungkin tidak pernah terlintas dalam benak pikiran sebagian besar orang Indonesia dan acara ini digemari banyak orang (Kompas, 11 Okt).
Fenomena apakah ini? Kebebasan atau kebablasan? Kemajuan atau keterpurukan?
Fenomena lain yang tak kalah menarik untuk disimak adalah ketika suatu kali di ruang tunggu bandara Cengkareng terlihat seorang ibu muda sedang duduk dan dengan asyiknya bermain ponsel canggih Blackberry sambil sesekali senyum-senyum sendiri, entah apa yang ‘terjadi’, tidak jelas. Sementara itu, di sampingnya duduk anaknya laki-laki berusia 5 atau 6 tahunan bermain play station portable (PSP) tak kalah asyiknya. Sesekali si ibu mengajaknya bicara, tetapi dijawab sekenanya, tanpa menoleh, sambil tetap memainkan PSP. Ketika si ibu lebih banyak lagi bertanya-tanya, tiba-tiba si anak berdiri, lalu ngeloyor pergi menjauh dan mencari tempat duduk lain yang dirasa lebih ‘aman’. Dengan sikapnya itu ia seolah-olah mau mengatakan, “Jangan ganggu aku, lagi seru nih.”
Sekilas tidak ada yang istimewa dengan peristiwa itu bahkan mungkin kita anggap hal biasa, tetapi tanpa sadar kita sebenarnya sedang membentuk gaya hidup yang makin individualistik, sebuah gaya hidup cuek bebek terhadap orang lain, tidak ada lagi kehangatan dalam kehidupan bersama orang lain.
Masih ada banyak lagi perubahan nilai-nilai kehidupan yang cukup mendasar, baik secara moral, spiritual maupun etika.
Arus perubahan ini dalam kenyataan tidak hanya terjadi di masyarakat umum saja, tetapi juga di masyarakat gereja dan keluarga-keluarga Kristen, sehingga rumah dan keluarga bukan lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi mereka. Tidak ada lagi kehangatan dan persekutuan di dalamnya. Setiap anggota keluarga berjalan sendiri-sendiri dengan kesibukannya masing-masing, visi keluarga menjadi kabur dan yang ada adalah visi individu. Meskipun masih berada pada satu atap, tetapi mereka merasa begitu ‘jauh’, seakan-akan tak tersentuh bahkan tak terjangkau.
Seandainya hidup kita diibaratkan Pesta Kawin di Kana (Yoh. 2), maka kita sudah mulai kehabisan anggur. Tampak dari luar semuanya oke, sebab segala sesuatu masih berjalan seperti biasa, tidak ada sesuatu yang serius bahkan tidak ada problem yang berarti.
Bukankah pemandangan seperti itu pula yang kita lihat pada pesta kawin di Kana? Tampak dari luar semuanya berjalan seperti layaknya sebuah pesta, tidak ada kendala yang serius. Apanya yang tak beres? Ternyata Maria berkata kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur.”
Kalau memang hanya itu masalahnya, mungkin banyak di antara kita berkata, “Keciil… toh pesta tak akan berhenti hanya gara-gara anggur.” Tetapi ternyata apa yang kita anggap remeh, bagi Yesus tidaklah remeh, sebab bagi Yesus dan orang Yahudi, anggur merupakan hal yang penting.
Para rabbi Yahudi sering mengatakan, “Tanpa anggur tak ada sukacita,” bahkan dalam keseharian mereka, anggur harus tersedia. Tanpa anggur, keluarga merasa menghadapi masalah, apalagi dalam pesta. Itulah yang terjadi pada pesta kawin di Kana. Mereka kehabisan anggur dan yang tertinggal saat itu hanyalah air. Tempayan-tempayan itu cuma berisi air dan itulah yang mau diubah oleh Yesus. AIR ITU HARUS DIUBAH MENJADI ANGGUR.
Bukannya air tidak penting.
Air itu penting, tetapi tawar, tanpa gelegak.
Air itu penting, tetapi hambar, tanpa rasa.
Air itu penting, tetapi bening, tanpa warna.
Pesta tidak cuma membutuhkan air, tetapi pesta membutuhkan warna, rasa, kehangatan.
Bukankah kita juga hanya punya tempayan-tempayan besar yang cuma berisi air? Tawar, hambar, tanpa rasa.
Apakah bukan seperti itu spiritualitas kita? Pernikahan kita, keluarga kita, ibadah kita seperti air. Jalan sih jalan, tetapi makin kehilangan roh, spirit, dinamika, kehangatan. Oleh karena itu, air harus diubah menjadi anggur. Siapa yang mengubahnya? Tuhan sendiri.
Yang kita butuhkan kini ialah SPIRITUALITAS dan VITALITAS yang baru. Spiritualitas yang menghasilkan vitalitas, tetapi vitalitas yang berakar pada spiritualitas yang benar, sehingga hidup ini tidak monoton, tetapi penuh dinamika dan semangat. Inilah spiritualitas yang kita butuhkan sehingga kita tidak gampang ‘larut’ pada arus perubahan zaman.
Pdt. Agus Susanto
1 Comment
denny
November 22, 2011 - 3:02 pmbagaimana ya agar kita memperoleh spiritualitas dan vitalitas yang baru itu???