“Harga dari segala sesuatu adalah sejumlah kehidupan yang kautukarkan dengannya.” ~Henry David Thoreau ~
Hal yang paling menarik untuk bercerita —menurut saya— adalah jika kisah itu dimulai dari fakta atau hal yang memang dialami seseorang dalam hidup ini.
Tentu saya sangat gembira ketika dalam Bulan Keluarga ini saya diberi kesempatan menulis artikel dalam rubrik Teropong yang berjudul “Harta Paling Berharga”, karena menurut saya, harta yang paling berharga dalam hidup ini adalah keluarga.
Hampir semua dari kita mengetahui tentang hal ini, tetapi, dalam kenyataannya, kesibukan dalam menggapai karier, ketenaran dan kekayaan sering menggeser peringkat ini ke prioritas keluarga yang kesekian.
Keluarga adalah anugerah yang Tuhan percayakan kepada kita untuk dirawat dan ditumbuhkan. Melalui keluarga inilah kita dapat mengenal orang lain, bahkan dunia lain di luar dunia yang kita pahami dalam hidup kita sendiri. Misalnya, saya sangat beruntung bahwa sebagai pendeta sekolah yang kesehariannya berhadapan dengan Generasi Milenial, saya dapat memahami dunia mereka melalui kehidupan anak saya yang mewakili generasi ini. Yang menarik, mereka punya budaya kerja yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Bagi banyak orang—termasuk keluarga—kehadiran Generasi Milenial telah menjadi hal yang menakutkan. Mengapa? Karena mereka sering dianggap atau diasumsikan sebagai generasi yang sulit dan instan. Generasi ini dikenal dengan sebutan Generasi Y, karena ada begitu banyak “why” di benak mereka. Ada banyak pertanyaan yang muncul karena harus selalu berbenturan dengan generasi yang sebelumnya, seperti generasi saya —baby boomers—. Menurut saya, banyak mitos tercipta karena adanya gap antargenerasi yang seharusnya bisa diatasi jika dapat dipahami dengan baik.
Pemahaman yang perlu dipahami oleh para orangtua —yang lahir bareng saya sebagai Generasi Baby Boomers— adalah bahwa saat ini dunia sudah dikuasai oleh Generasi Milenial. Perlahan tapi pasti, mereka menjadi angkatan kerja yang aktif di kantor-kantor di seluruh dunia. Peran generasi-generasi sebelumnya pun makin tergeser, dan pada waktunya nanti akan hilang.
Kita harus sungguh menyadari bahwa inilah saatnya Generasi Milenial —yang lahir setelah tahun 1980-an— berperan besar dalam perkembangan umat manusia. Sebuah survei yang dilakukan oleh The United States Census Bureau mendapati bahwa saat ini Generasi Milenial (usia 15-34 tahun) merupakan mayoritas penduduk Amerika Serikat. Bahkan pada 2013, populasi ini mencapai sepertiga dari total penduduk Amerika. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berusia 23 tahun. Hal itu berarti bahwa Generasi Milenial sekarang ini sudah mayoritas pada tahun 2021.
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Menurut data Biro Pusat Statistik (tahun 2015), dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia saat ini, sekitar 34, 47%-nya, atau sekitar 82 juta jiwa, berusia antara 15-24 tahun. Bisa kita bayangkan bahwa mau atau tidak, populasi di luar Amerika dan Indonesia juga pasti mendominasi kehidupan manusia di muka bumi.
Apabila keluarga menjadi harta yang paling berharga, maka setiap orangtua harus mau memahami dan menyadari dengan baik, di generasi mana sebenarnya kita sedang berada. Dengan memahami perubahan yang sedang terjadi di sekitar kita, kita akan dapat dengan lebih baik memahami keberadaan anak-anak kita. Siapakah sebenarnya Generasi Milenial? Ada beberapa istilah yang muncul saat ini, seperti Generasi Baby Boomers, Gen X, Gen Y, dan Gen Z. Dua generasi terakhir ini—Gen Y dan Gen Z—disebut sebagai Generasi Milenial. Apa ciri khasnya? Generasi Milenial lahir mulai tahun 1980—2000-an. Lebih detailnya, Gen Y adalah sebutan bagi mereka yang lahir antara tahun 1980-1994, sedangkan Gen Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1995-2010.
Jika mau lebih tepat menggambarkan peta generasi Milenial saat ini, yang termuda masih duduk di bangku sekolah dan yang tertua berusia di pertengahan 30-an. Generasi Milenial tertua mungkin sudah memiliki rumah, anak, dan sedang merintis karier di berbagai perusahaan. Tidak sedikit dari Generasi Milenial tertua ini yang sudah memegang jabatan penting di berbagai perusahaan, atau menjadi pemilik perusahaan start-up (perusahaan rintisan) yang mereka dirikan sendiri.
Goldman Sachs Global Investment Research menggambarkan Generasi Milenial dengan sangat menarik. Menurut penelitian ini, Generasi Milenial adalah orang-orang yang mempunyai “a different world, different view”, dunia yang berbeda dan pandangan yang juga berbeda. Millenials have grown up in time of rapid change, giving them a set of priorities and expectations sharply different from previous generations”—
Generasi Milenial tumbuh dewasa di tengah perubahan yang sangat cepat, yang memberi mereka prioritas prioritas dan harapan-harapan yang sangat berbeda dari generasi-generasi sebelumnya.
Jadi yang perlu dipahami oleh setiap keluarga adalah bahwa Generasi Milenial ini tumbuh dan menjadi dewasa di dalam sebuah masyarakat yang memiliki cara pandang dan cara hidup yang baru, yang betul-betul berbeda dari generasi sebelumnya. Misalnya, sejak lahir, mereka sudah sangat akrab dengan teknologi. Kesadaran akan teknologi ini membuat mereka juga sering disebut sebagai Generasi Net atau Warga Digital. Kondisi seperti ini mau tidak mau juga akan mengarahkan perilaku dan karakter mereka ke arah yang berbeda dari sebelumnya.
Pengaruh perkembangan teknologi informasi terhadap karakter Generasi Milenial adalah keinginan untuk berproses dan memperoleh apa pun dengan serba cepat, sehingga membuat mereka seolah-olah cepat berpindah minat dan mau tidak mau harus mempunyai kreativitas tinggi untuk bisa bersaing dengan yang lain. Akibatnya, memang ada banyak ide kreatif dan bermanfaat yang lahir dari generasi ini. Misalnya, Leontinus Alpha Edison dan William Tanuwijaya —dua pendiri Tokopedia— adalah salah satu contoh hasil positif dari karakter generasi yang ingin serba cepat.
Mengapa saya menceritakan semua ini? Pengaruh dari perkembangan yang terjadi antargenerasi ini ternyata sangat memengaruhi keberadaan keluarga. Misalnya, munculnya keluarga instan, pokoknya semua harus serba cepat. Hal seperti ini tidak dapat dihindari oleh keluarga mana pun, dan kita tidak bisa mundur. Apa yang bisa dilakukan oleh setiap keluarga adalah menyadari perkembangan ini dan belajar memahaminya supaya dapat menerima dan menyerap hal-hal yang baik darinya.
Perubahan generasi seperti ini ternyata telah memengaruhi keberadaan keluarga kami, khususnya perkembangan anak kami yang mudah sekali berpindah minat dan maunya hanya main games. Bereaksi terhadap situasi seperti ini, layaknya orangtua lainnya, saya pun sering marah kepadanya, karena ia kurang peduli pada pelajaran di sekolah, sampai akhirnya mengalami kegagalan total pada awal studi di salah satu universitas yang terkenal, sehingga kemudian pindah ke Universitas dan Fakultas lain.
Memahami dan menerima perubahan seperti ini tentu tidak semudah membalikkan tangan, karena peristiwa ini juga menyebabkan kepercayaan kami kepada anak sangat berkurang, dan ada kecenderungan untuk selalu mencurigai keseriusannya. Akhirnya, tuntunan Firman Tuhan menyadarkan kami untuk memaafkan dan menerima anak kami apa adanya, dan memberikan kepercayaan penuh untuk mengembangkan dirinya sendiri. Firman Tuhan yang menyadarkan saya dan istri dalam membimbingnya terdapat di II Timotius 3:16, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Firman Tuhan ini mengingatkan kami bahwa upaya apa pun yang kami lakukan tanpa didasarkan pada tulisan yang diilhamkan Allah akan sia-sia, oleh sebab itu ayat ini juga kami titipkan pada anak kami dengan berpesan, bahwa jika ia mau berhasil dalam kehidupannya, ia perlu selalu bersandar pada tulisan yang diilhamkan Allah. Selain ayat ini, kami juga membekalinya dengan Firman Tuhan dari Mazmur 1:3, “Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.”
Berbekal firman Tuhan ini, setiap hari anak kami berusaha memberi waktu dan ruang untuk Tuhan yang menyapa melalui Firman-Nya. Tahukah Anda apa yang terjadi? Firman Tuhan itulah yang kemudian membentuk anak kami, sehingga ia berhasil lulus cumlaude dan bahkan menjadi juara. Anehnya, cara atau metode yang digunakan untuk belajar hingga berhasil dengan sangat baik itu justru melalui games (jika Anda ingin tahu lebih jauh, silakan lihat testimonial anak saya Dema Tobing di Channel Youtube — dema tobing). Dalam video itu, Dema menunjukkan bagaimana games bisa membantu kita untuk berhasil dalam belajar. Penemuan ini tentu sangat mengejutkan kami, tetapi itulah cara kerja Tuhan. Dia dapat menggunakan apa pun untuk keberhasilan orang orang yang hormat dan takut akan Dia.
Melalui peristiwa ini, saya hanya dapat mengatakan “Allahku hidup” dan terus berkarya dalam diri setiap orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Percayakah Anda? Jika Anda mengamininya, maka lakukanlah hal yang sama pada keluarga—dan khususnya pada putra-putri Anda. Berikanlah kepercayaan pada mereka dan ajarkanlah mereka untuk tunduk, hormat kepada Allah. Lihatlah Dia yang berkarya dalam siapa pun yang mau membukakan pintu hati dan pikirannya bagi kemuliaan-Nya.
Keluarga adalah Harta Paling Berharga, dan ini Nyata dalam Keadaan Kritis
Mengapa saya berkata demikian? Beberapa kali ketika saya berada bersama warga jemaat, atau keluarga, atau sahabat yang dalam keadaan kritis, yang paling mereka cari adalah keluarga. Bahkan beberapa orang rela bertahan karena masih menunggu saudara atau keluarga yang berada di luar kota dan akan menjenguk mereka.
Tentu fakta ini sangat menarik untuk dikaji lagi, sebab dalam keadaan normal—artinya tidak dalam keadaan kritis—suasananya sangat berbeda, seperti dalam kisah keluarga Pak Karno yang hidup sederhana bersama istrinya, Bu Ramli, yang sehari-hari berjualan makanan untuk anak-anak sekolah.
Siang itu, sambil menunggu anak saya pulang sekolah, perut saya terasa lapar dan segera terbayang bihun goreng dengan beberapa lombok rawit yang dibungkus daun pisang, yang dijual di kantin Bu Ramli. Sambil menunggu pesanan saya disiapkan, saya iseng iseng bertanya tentang keluarganya. “Saya dengar, Ibu sebenarnya tidak termasuk golongan yang berkekurangan, tetapi mengapa Ibu masih mau berjualan seperti ini? Apa yang menyebabkan Ibu setiap pagi ke pasar dan menyiapkan segala sesuatu padahal Ibu tidak perlu melakukannya, karena sudah punya semuanya?”
Bu Ramli pun mulai berkisah tentang keluarganya. “Iya Pak, memang alhamdulilah saya hidup berkecukupan. Sebenarnya tanpa harus bekerja seperti ini pun saya sudah bisa berdiam diri saja di rumah. Namun hidup itu kan tidak boleh diam saja, Pak. Saya harus melakukan sesuatu. Karena dari dulu saya cuma bisa jualan seperti ini, ya saya lakukan saja pekerjaan ini dengan senang hati.”
Bu Ramli orang yang ramah dan suka bercerita tentang kehidupannya, baik hal pribadi maupun keadaan di kampungnya. Sambil mengulek sambal dan menyiapkan pesanan saya, ia mulai berkisah tentang keluarganya.
“Dulu,” katanya membuka pembicaraannya, “kami keluarga yang rukun dan saling membantu dalam melakukan pekerjaan apa pun. Dari dulu saya senang melakukan pekerjaan ini. Selain karena memang saya suka belanja, saya juga senang bergaul dengan banyak orang. Pekerjaan ini sungguh saya cintai karena saya bisa berjumpa dengan orang dari berbagai latar belakang: ada yang kaya, miskin, jahat, baik, pokoknya asyik saja dah,” demikian ia mengakhiri kalimatnya sebelum melayani siswa yang berhamburan keluar kelas saat istirahat jam pertama.
Setelah siswa kembali masuk kelas, ia pun melanjutkan kisahnya, “Pak Karno —suami saya— rupanya tidak puas hanya hidup mengandalkan jualan seperti ini. Ia berusaha melakukan apa saja untuk menyenangkan keluarganya: istri dan ketiga anaknya. Ia menghabiskan malam sesudah bekerja di perusahaan kayu dengan menghadiri kursus kursus untuk mengembangkan dirinya, dengan harapan suatu hari nanti bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan dengan begitu ia bisa menyenangkan keluarganya.”
“Kecuali hari Minggu,” lanjutnya sambil mencuci piring kotor, “Pak Karno tidak punya waktu untuk bersama keluarganya. Dia bekerja dan belajar sangat keras karena ingin menyediakan keluarganya apa saja yang bisa dibeli dengan uang. Kami sebenarnya sudah minta kepadanya untuk memberikan lebih banyak waktu bersama-sama. Jujur saja, kami tidak terlalu tertarik pada barang barang berharga seperti kebanyakan orang. Namun selalu saja Pak Karno punya alasan macam-macam, dan akhirnya alasan utamanya, adalah bahwa ia melakukan semua itu untuk keluarganya.”
“Suatu hari,” lanjut Bu Ramli sambil menyerahkan pesanan makanan saya, “tibalah saatnya hasil ujian diumumkan dan Pak Karno dinyatakan lulus dengan prestasi yang gemilang. Segera sesudah itu, ia ditawari posisi yang baik sebagai Senior Supervisor, tentu dengan imbalan gaji yang juga menarik. Seperti mimpi yang menjadi kenyataan, akhirnya ia mampu memberikan kami kehidupan yang lebih ‘wah’, seperti pakaian indah, mentraktir kami di restoran yang mahal, dan beberapa kali mengajak kami pergi ke luar negeri.
Meski sudah memberikan yang terbaik kepada kami, Pak Karno tetap tidak punya waktu. Ia terus bekerja, bekerja dan bekerja dengan harapan bisa dipromosikan ke jabatan Manager. Bahkan untuk membuat dirinya calon yang cocok bagi jabatan itu, ia mendaftarkan diri ke kursus lain di Universitas Terbuka. Hal ini tentu saja membuat kami makin sedih dan kecewa. Lagi-lagi alasan klasiknya diutarakan, yaitu bahwa ia melakukan semua ini demi kami.”
Sambil terus bercerita, Bu Ramli mengambil teh dan beberapa camilan, lalu melanjutkan lagi kisahnya. “Setelah merasakan jerih payah kerja kerasnya selama ini, kami makin tidak bisa bertemu dengannya. Kenyataannya, kadang-kadang bahkan pada hari Minggu pun ia masih harus bekerja menemani klien atau mengikuti kegiatan lainnya.” Sambil terus berbicara, mata Bu Ramli kelihatan berkaca-kaca, “Kerja keras Bapak berhasil lagi dan ia membelikan kami sebuah kondominium indah yang menghadap ke pantai. Pada malam pertama di rumah baru kami,” cerita Bu Ramli terputus-putus dan hampir tidak jelas terdengar karena dibarengi isak tangisnya, “Pak Karno berkata bahwa ia sudah memutuskan untuk lebih memberikan waktu bagi keluarganya, tidak mau mengambil kursus dan mengejar promosi-promosi lagi. Namun sayang sekali, karena kelelahan dan sudah kehabisan tenaga, Pak Karno tertidur dan tidak terbangun lagi.” Bu Ramli mengusap air matanya dan mengakhiri kisahnya.
Kisah semacam ini acap kali kita dengar dari sebuah keluarga. Apa sebenarnya harta yang paling berharga dalam hidup ini? Saya tidak menentang orang yang bekerja keras, apalagi untuk keluarganya, karena hal ini adalah gambaran cinta dan kepedulian. Namun, ketika fokusnya beralih bukan lagi pada keluarga, melainkan pada harta, ketenaran dan kekuasaan, maka keluarga bukan lagi menjadi prioritas berharga.
Mana yang lebih penting bagi Anda, uang atau hidup? Kebanyakan orang memilih hidup, tetapi ada juga sejumlah orang yang percaya bahwa uang lebih penting. Sering kali orang-orang ini telah melewati masa sulit yang teramat parah, atau memiliki kesulitan keuangan yang sedemikian mengimpit, sehingga menganggap uang sebagai solusi bagi semua masalah mereka. Namun, setelah mereka mendapatkan uang dan menjadi kaya, mereka akan terus mementingkan uang dibandingkan hidup. Kelompok orang-orang ini sesungguhnya sedang membarter hidup mereka dengan uang. Di pikiran mereka hanya ada uang, uang dan uang. Mereka akan melakukan apa saja demi uang, seperti dalam kasus rumah tangga Bu Ramli. Pikiran mereka terus dikuasai uang, sehingga bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Ada yang kemudian mengkhianati teman, mitra bisnis, saudara, kerabat dan bahkan anggota keluarga.
Onggie Hianata, penulis buku “Value your Life”, menawarkan konsep “rekening kehidupan” yang berfungsi sama seperti rekening bank. Pada awal membaca bukunya, terasa lucu, tapi juga kreatif. Ia memberikan pertanyaan yang menarik, “Apabila hidup lebih penting atau lebih berharga daripada uang, maka kita seharusnya memberi perhatian terhadap apa yang disebut sebagai “rekening kehidupan”.
Rekening bank kita memperlihatkan berapa banyak uang yang kita miliki. Kita cukup memeriksa jumlah kredit setoran yang ada di laporan bank. Demikian pula rekening kehidupan kita menunjukkan apakah kehidupan kita menjadi lebih kaya atau lebih miskin tergantung dari tabungan perbuatan baik (kredit) atau perbuatan tidak baik (debet) yang kita lakukan. Apabila kita memberikan perhatian yang lebih besar kepada rekening kehidupan, kita akan melakukan lebih banyak perbuatan baik di dalam kehidupan, yang berarti kita akan terus-menerus mengisi tabungan dengan rekening kehidupan kita.
Apabila keluarga merupakan harta yang paling berharga, janganlah hal itu diketahui hanya pada akhir kehidupan kita, melainkan berikan waktu secukupnya bagi keluarga, sehingga ada banyak waktu bersama untuk menikmati kebersamaan, saling memerhatikan, menghargai dan mengasihi.
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan bersama keluarga, bahkan di masa pandemi seperti saat ini. Pokoknya lakukan saja untuk menciptakan “quality time” bersama keluarga, membangun keakraban untuk saling memahami dan menghargai satu dengan yang lain.
Misalnya, hal yang sering kami lakukan adalah bermain sebagai “aktor” bagi anak, atau sekarang cucu. Dalam kebersamaan bermain ini, kami juga bisa memasukkan nilai-nilai di dalamnya sebagai proses belajar anak. Salah satu bentuk menjadi “aktor” adalah ketika saya dan istri mengajarkan anak menyanyi. Tentu kita juga harus menyanyi, bahkan dengan antusias, maksudnya jangan mengerjakan atau memikirkan hal yang lain. Demikian juga waktu mendongeng, kami akan menggunakan segala gaya, cara dan alat apa pun untuk bermain seni peran.
Menjadi aktor perlu dilakukan, sebab dalam belajar bukan hanya aspek kognitif yang dilibatkan, melainkan juga aspek afektif dan psikomotorik. Bila ketiga aspek (kognitif-afektif psikomotorik) diaktifkan, maka proses pembelajaran pun dapat lebih efektif.
Bayangkan, betapa kehidupan terasa begitu hambar gara-gara rutinitas. Di depan kamera, waktu Pembelajaran Jarak jauh (PJJ) sebagai bagian dari pendidikan di sekolah, anak belajar dengan melihat kamera dan mendengarkan guru. Bila setelah itu tidak ada hal lain yang dilakukan bersama mereka, bisa dipastikan bahwa proses pembelajaran tidak akan optimal. Peran orangtua sangat penting dalam proses pembelajaran anak yang efektif.
Menjadi aktor bisa dilakukan orangtua dalam banyak situasi, tentu saja asal dilakukan sesuai porsinya. Bila aktivitas yang kita lakukan bersama anak membutuhkan kemampuan dan keterampilan kita sebagai aktor, maka lakukanlah. Misalnya, belajar matematika (berhitung) akan lebih menyenangkan bila dilakukan dengan role-play atau bermain peran. Ayah menjadi pembeli, sementara anak menjadi penjual, atau sebaliknya. Contoh lain, saat belajar bahasa, akan sangat menarik bila menggunakan pantun-pantun lucu dengan mimik/ ekspresi yang barangkali bisa memancing anak tertawa terbahak bahak.
Supaya hasil yang didapatkan lebih efektif, anak harus terlibat dalam setiap aktivitas “belajar” maupun bermain. Tidak saja aktif secara audio atau visual, tetapi juga harus dilibatkan secara aktif. Dengan begitu ia akan menikmati kebersamaan dengan orangtuanya. Bukankah menurut metode pendidikan, anak belajar secara efektif dengan cara mengalami langsung (experiental learning)? Tak perlu ragu. Setiap orangtua bisa kok, menjadi “aktor” di rumah. Yang penting, pahamilah materi yang akan disampaikan, sekaligus tidak malu berakting di depan anak. Tampillah layaknya seorang aktor profesional. Ingat, tampilan yang total akan menjadi poin penting. Jika perlu, tinggalkan dulu atribut orangtua yang berwibawa. Jadilah sesuai peran yang Anda mainkan, dan nikmatilah betul betul peran Anda.
Jika dalam bermain bersama itu orangtua ikut berlari, melompat, bahkan memanjat, pasti akan menggembirakan anak-anak. Mereka juga senang sekali bila diberi peran dan diajak terlibat dalam kegiatan kegiatan yang dilakukan. Berpura pura menjadi tukang cat, atau koki andal di restoran, bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi mereka.
Permainan seperti ini sangat sederhana, tetapi bisa menciptakan “quality time” atau suasana akrab, bisa saling mengenal dan lebih memahami satu dengan yang lain. Untuk bisa mempunyai “quality time” tidak perlu harus mengeluarkan biaya yang banyak, cukup dengan hal sederhana yang bahkan bisa dilakukan di rumah saja dalam keluarga (Refleksi akan dilanjutkan lagi).
Mengapa Bosan?
Mengakhiri tulisan saya ini, izinkan saya menceritakan rekaman dialog dengan orangtua siswa dalam sebuah perjumpaan yang santai. Pertanyaan yang menarik dan menggugah saya untuk memerhatikan keadaan keluarga muncul dari Pak Simon, “Pak Tumpal, saya kok sering merasa bosan dan kehabisan akal untuk melakukan sesuatu bersama keluarga, khususnya dalam situasi pandemi ini, di mana kami tidak bisa keluar rumah atau sangat terbatas. Apakah semua keluarga juga mengalami hal yang sama dengan kami?” Jawaban saya singkat saja, “Sepertinya memang begitu Pak Simon, tetapi mari kita perhatikan dulu, mengapa orang kok bisa bosan ya? Menurut pengalaman saya, bosan itu karena saya ingin melakukan perubahan, atau sesuatu yang baru, sehingga bisa lepas dari rutinitas hidup yang monoton dari waktu ke waktu. Dan tanpa disadari, karena tidak merasa tidak puas dengan apa yang saya miliki, maka saya menjadi bosan. Lalu apa yang harus kita lakukan? Menurut saya, nikmati saja kebosanan itu, maka kita akan terbebas darinya.”
Pak Anwar yang juga hadir bertanya dengan cepat, “Bagaimana mungkin bisa menikmati kebosanan?”
“Oh iya Pak, suatu ketika saya merenung, mengapa saya kok tidak pernah bosan makan nasi yang sama rasanya setiap hari?” kata Bu Yeni, tetapi dengan cepat ia melanjutkan, “karena kita makan nasi dengan lauk dan sayur yang berbeda.”
“Benar begitu,” jawab saya, “karena itu tambahkanlah sesuatu yang baru dalam rutinitas Ibu, maka kebosanan pun akan hilang.”
Bagaimana cara menambahkan hal baru dalam rutinitas? Ubahlah cara Anda melakukan rutinitas itu. Kalau biasanya menulis sambil duduk, cobalah menulis sambil jongkok atau berbaring. Kalau biasanya membaca di kursi, cobalah membaca sambil berjalan-jalan atau meloncat-loncat. Kalau biasanya menelepon dengan tangan kanan, cobalah dengan tangan kiri atau dengan kaki, kalau bisa, dan seterusnya.
Selain itu coba lakukan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan. Mainkan permainan yang paling Anda senangi saat kecil dulu, pasti akan terjadi sesuatu yang menyenangkan dan setelah itu Anda tidak lagi akan merasa bosan, meskipun dulu kita menganggap hal-hal itu pernah membosankan.
Mengapa demikian? Menurut saya, karena segala sesuatu sebenarnya berasal dari pikiran kita sendiri. Kebosanan itu pun berasal dari pikiran kita tentang kebosanan. Saya mengajak kita untuk kembali bermain seperti anak kecil agar pikiran kita menjadi ceria. Akhirya kita tidak akan merasa bosan lagi karena pikiran kita tentang keceriaan berhasil mengalahkan pikiran kita tentang kebosanan. Segala sesuatu berasal dari pikiran. Berpikir bosan menyebabkan kita bosan. Berpikir ceria menjadikan kita ceria. Maka seperti yang dikatakan Rasul Paulus, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Filipi 4:4) Jika memang keluarga merupakan harta yang paling berharga, mari kita buktikan dengan memberikan “quality time” atau dengan sengaja memberikan waktu yang cukup untuk selalu ada bersama mereka.
Jika memang keluarga menjadi harta yang paling berharga, ciptakanlah hal-hal yang indah, yang membuat anggota keluarga betah tinggal di rumah —apalagi di masa pandemi ini— dan betah untuk selalu bersama dengan orangtua. Maukah Anda merawat dan memelihara keluarga yang Tuhan titipkan kepada kita? Jika Anda menjawab “ya”, mintalah selalu pertolongan Firman Tuhan, karena hanya tulisan yang diilhamkan Allah yang akan membimbing keluarga kita menjadi keluarga yang diberkati dan memberkati.
Selamat melayani, mulailah dari keluarga kita terlebih dahulu—yang paling dekat Tuhan berikan kepada kita—maka kasih dan perhatian yang diberikan itu akan terus mengalir memberkati banyak keluarga lainnya. Tuhan memberkati seluruh keluarga dengan kesehatan dan sukacita. Amin.
|PDT. EM. TUMPAL TOBING
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.