Kekerasan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya sudah terjadi sejak manusia ada di dunia ini. Sepanjang itulah usia kekerasan di peradaban manusia. Bagaimana dengan kekerasan terhadap perempuan? Sama saja. Perbudakan, perdagangan, pelecehan seksual, serta tindakan sewenang-wenang lainnya terhadap perempuan terjadi dan akan terus berlangsung. Bahkan presentasi yang dihitung beberapa lembaga penelitian dalam dan luar negeri sudah pada hitungan perdetik untuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan.
Kampanye yang dilakukan pergerakan perempuan di beberapa negara maju pada mulanya menitikberatkan pada persamaan perlakuan atau penentangan terhadap diskriminasi. Perbedaan dalam segala tingkat kehidupan, baik di rumah dan di luar rumah, terhadap perempuan sangat terasa dan merendahkan. Perbedaan yang dilakukan masyarakat, terutama laki-laki, terhadap fisik dan intelektual perempuan menimbulkan perlakuan tidak senonoh. Kekerasan yang dilakukan baik secara fisik maupun psikologis terhadap perempuan semakin beragam cara dan tidak lagi mengenal batas usia dan status.
Tragisnya, tindak kekerasan yang menyakiti fisik dan psikologis saat ini cenderung lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang dikenal dan si pelaku berasal dari lingkungan dalam, yaitu rumah (keluarga), mitra kerja dan teman dekat.
Tindak kekerasan yang biasa disebut ‘kekerasan yang diam’ atau ‘kekerasan domestik’ (keluarga) ini tentu saja sulit terungkap dan diungkapkan baik oleh si korban maupun lingkungan yang menjadi saksi. Ada sikap ‘toleransi’ yang maha tinggi yang diminta kepada si korban dalam menghadapi tindak kekerasan yang dialaminya. Sikap ini dianggap sebagai penghormatan terhadap hierarki dalam keluarga atau rumah tangga atau juga kantor (lingkungan kerja).
Kalaupun saat ini begitu banyak aktivis pergerakan perempuan di Indonesia yang melakukan pekerjaan berat yaitu kampanye penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (dewasa dan anak-anak), mereka masih akan berhadapan dengan sikap toleransi itu. Benar bahwa perjuangan masih panjang dan tidak akan berhenti selama hayat di kandung badan.
Di Indonesia, pensahan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sudah dilakukan oleh DPR RI, 14 September 2004. Dari judulnya saja bisa dipahami bahwa pada umumnya kekerasan memang terjadi di lingkungan yang diam itu. Lingkungan domestik atau rumah tangga. Dalam arti luas bisa mencapai rumah tangga institusi, organisasi, dan negara. Bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi perhatian masyarakat dan Negara.
Yang menjadi perjuangan selanjutnya adalah pelaksanaan sanksi terhadap para pelaku kekerasan terhadap perempuan ini, karena posisi pelaku yang mempunyai hubungan batin dengan si korban. Dilema lain yang menghadang adalah naluri dan ketegasan para hakim dan aparatnya, perempuan dan laki-laki, untuk turut serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Sebab tidak semua jaksa perempuan atau hakim perempuan yang ternyata mempunyai naluri pembelaan terhadap korban kekerasan yang adalah sesama perempuan.
Dalam kehidupan sehari-hari, rasa enggan atau sungkan untuk mencampuri urusan domestik orang lain memicu kelanggengan kekerasan dalam rumah-tangga. Di lingkungan kerja pun bila terjadi tindak kekerasan seperti pelecehan seksual terhadap perempuan misalnya, korban dan saksi cenderung mendiamkan, memaafkan bahkan membiarkan bila terjadi lagi, karena bila dilaporkan atau disebarluaskan akan mengancam posisi dan kerja.
Perjuangan yang masih panjang dalam hal sanksi terhadap si pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga ini seharusnya dilakukan tanpa batas, termasuk status. Langkah nyata yang sudah dilakukan misalnya bila kita ingat bagaimana hukum tidak kebal terhadap suami penyanyi Nur Afni Oktavia, yang ‘pendeta’ itu, ketika terbukti melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap istri dan anaknya.
Bahwa kepedulian terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dari sesama perempuan sendiri hendaknya turut menjadi bahan kampanye. Rasa perduli sesama perempuan akan menimbulkan pengetahuan dan keberanian untuk berjuang menghapus tindakan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan (dewasa dan anak-anak).
Kalau melihat ke belakang, kampanye mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan ada di negara-negara berkembang, yang tingkat pemahaman akan kemajuan dan kesetaraan perempuan dipahami secara menyeluruh, baik oleh Negara maupun lingkungan rumah tangga. Pemahaman ini berkembang dari kesadaran akan pemajuan penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Dalam pergaulan internasional memang Indonesia adalah anggota Perserikatan Bangsa Bangsa, yang di dalamnya ada komisi-komisi yang mengatur pelaksanaan terhadap hak asasi manusia di negara-negara anggotanya. Indonesia juga ikut mengadopsi Deklarasi Beijing, China dan Program Aksi pada World Conference on Women ke IV tahun 1995. Di sana dikatakan bahwa: …”the world now has a comprehensive action plan to enhance the social, economic and political empowerment of women, improve their health, advance their education and training, promote their marital and sexual rights and end gender based violence”. Sin derechos de las mujeres no hay derechos humanos (there are no human rights without women’s rights).
Tetapi belum berarti negara dan rakyat Indonesia sudah memahami perjuangan dan pemajuan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan. Berbicara tentang apapun yang berhubungan dengan hak asasi manusia seperti berbicara tentang masalah internasional. Padahal hak asasi manusia telah dimiliki manusia ‘pas’ dia (bayi) lahir ke dunia ini, siapapun dia, tanpa kecuali.
Wadah awal perjuangan perempuan untuk menyuarakan penghapusan dan kebebasan dari kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terjadi tahun 1995, setelah mengikuti seluruh perhelatan Konperensi Perempuan di Beijing tersebut. Saat itu beberapa perempuan aktivis dan para pemerhati masalah hak asasi manusia, pribadi maupun kelompok, berkumpul dan bersama dalam Indonesian Forum on Women dan melakukan kampanye berjudul “Free From State Violence” yang tertulis dalam poster besar karya pelukis (alm) Semsar Siahaan.
Dikategorikan sebagai langkah awal yang cukup tegas adalah karena saat itu langsung ditujukan kepada tingkat negara (pemerintah) sehubungan dengan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan yang merajalela di semua tingkat birokrasi. Setelah itu pendampingan dan pembelaan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup kecil (rumah tangga dan keluarga) mulai banyak diungkap secara terbuka bahkan dipublikasikan melalui media massa.
Tentu saja tanpa hendak mengesampingkan keterlibatan beberapa laki-laki dalam perjuangan ini, yang diutamakan adalah kepedulian dan keberanian para kaum perempuan itu sendiri yang masih belum maksimal dan harus terus diperjuangkan. Keberanian untuk mengungkapkan tindak kekerasan yang mereka alami dan atau dialami oleh sesama perempuan.
Kepada para perempuan, siapapun kita dan bagaimanapun kita, tanpa pengecualian, mulailah ikut melakukan kampanye tentang penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (dewasa dan anak-anak). Tidak perlu berlelah-lelah ikut iring-iringan kampanye seperti yang sering dilakukan di bundaran Hotel Indonesia. Lakukan saja dalam bundaran kecil dan sunyi yaitu rumah kita, keluarga kita. Bahwa kekerasan dalam bentuk apapun terhadap siapapun dengan alasan apapun tidak ada diajarkan dalam firman Tuhan, Allah Maha Kasih. Tuhan itu Kasih.
Vera Nababan; Sementara bekerja sebagai Trainer Pelatihan Politik untuk Perempuan.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.