Sepanjang penulis ketahui, sobat yang mengungkapkan perasaannya dalam untaian kata-kata di atas bukanlah seorang seniman. Tetapi karena dalam percakapannya dengan penulis dia dapat membawa lubuk hatinya ke permukaan secara sederhana tetapi demikian memikat itu, maka penulis pun menjadi tertarik untuk menangkap alur ceritanya mengapa masa senja, yang biasanya ditakuti kebanyakan senior, tetapi justru baginya dirasakan demikian indah. Mari kita mendengarkannya.
Pembentukan Karakter
Sobat kita bercerita tentang masa pendudukan Jepang dalam Perang Dunia Kedua. Katanya, “serdadu Jepang tidak begitu populer di mata dan di hati ibu-bapanya, sehingga mereka memutuskan bahwa anak-anak mereka dididik saja di rumah.” Jadi seperti sistem home schooling yang dikembangkan di Amerika, dan kini mulai diminati di Indonesia dengan memakai bahasa pengantar ganda (bilingual medium of instruction). Dia melanjutkan, “orang tuanya mempunyai banyak buku, yang rata-rata bernuansa Kristiani, tetapi semua buku dalam bahasa Belanda disembunyikan dalam gua, karena takut dituduh mata-mata oleh tentara Jepang. Tetapi buku-buku itu ternyata menjadi santapan bergizi rayap, sehingga menjadikan kumpulan serangga itu sangat mahir berbahasa Belanda.”
Bagaimana pengaruh postif masa pendudukan Jepang itu, dia menjelaskan, “bahwa hal itu turut merajut tata nilainya untuk hidup hemat dan jujur, serta menghargai orang lain. Proses itu dimulai dengan bekerjasama di kebun untuk menanam jagung, padi dan umbi-umbian; juga berburu rusa, babi hutan, menjerat ayam hutan dan mengail ikan serta belut di sungai. Semua kegiatan itu memerlukan kerjasama ke arah memperoleh hasil maksimal, dan yang penting ialah membagi hasilnya sebagai perwujudan perhatian atas kepentingan bersama. Tata nilai yang diletakkan oleh orang tuanya secara nyata mewarnai interaksinya dengan sesama manusia; dimulai di lingkungan keluarga.” Dia yakin, “bahwa hal itu memungkinkan dia dan adik-adiknya dapat saling membantu dalam menanggung ongkos pendidikan mereka, pada waktu orang tua tidak sanggup lagi memberikan pembiayaan, khususnya dalam melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.” Namun, keberhasilan yang diraih itu, bahkan tiga saudaranya mencapai strata S3, tetapi dengan kerendahan hati dia meyakini “bahwa semua itu anugerah Tuhan, serta dukungan doa orang tua dan keluarga.”
Manusia Tiga Zaman
Menurut sobat kita, “karena hidup di pedesaan dengan sendirinya berarti jauh dari perkotaan, maka tidak terdapat interaksi dengan tentara pendudukan Jepang waktu itu.” Dia melanjutkan, “terkecuali apabila terjadi serangan udara di malam hari. Keadaan perkotaan sangat menarik, karena tembakan-tembakan meriam penangkis serangan udara dan pecahan granat di angkasa menyerupai pesta kembang api. Memang indah dipandang mata, tetapi asal saja ditonton dari jarak jauh supaya tidak terganggu kesehatan,” katanya.
Dalam masa transisi menjelang kemerdekaan Indonesia, sobat kita ini dan adik-adiknya mendapat duren jatuh. “Atas rekomendasi pemerintah setempat (Hoofd van het Plaatselijk Bestuur) yang berpangkat Controleur, kepangkatan dalam tatanan Pemerintahan Dalam Negeri Hindia Belanda (Binnenlands Bestuur) waktu itu, mereka berhasil dimasukkan dalam Sekolah Dasar Belanda (Europese Lagere School).” Katanya, ”sekolah ini sebenarnya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda yang baru keluar dari kamp interneran Jepang, sambil menanti repatriasi mereka ke Negeri Belanda.”
Yang empunya cerita melanjutkan, “bahwa setamat Europese Lagere School dia menjadi bagian dari angkatan terakhir yang tamat di tahun 1950 dari SMP Belanda (MULO = Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), lalu memasuki SMA Belanda (VHO = Voortgezet Hoger Onderwijs). VHO tersebut di tahun 1951 dirubah statusnya menjadi SMA/C (Jurusan Sosial Ekonomi),” dan sobat kita langsung naik ke kelas tiga. Katanya, “ujian akhir SMA/C tersebut harus ditempuhnya di tahun 1952, dan ujiannya itu bahkan diselenggarakan dalam Bahasa Belanda.” Dalam posisi itu, sobat kita ini dan teman-temannya memasuki perguruan tinggi “dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar (voertaal).” Keadaan itu membuat mereka menamakan diri secara dramatis “sebagai: Last of the Mohicans,” sebuah novel terbitan tahun 1826, karangan James Fenimore Cooper (1789-1851). Dalam perspektif itu mereka mengkategorikan diri “sebagai generasi orang Indonesia berbahasa Belanda yang sedang menuju ke ufuk Timur atau de uitstervende generatie van Nederlands sprekende Indonesiers.”
Suatu Refleksi
Dengan ijazahnya strata S2 bidang hukum, menurut sobat kita dia sebenarnya ingin sekali menjadi hakim, “dan dengan pengalaman itu mencari kesempatan untuk meraih strata S3, lalu mengajar sebagai dosen di perguruan tinggi, dan menulis buku-buku ilmiah.” Katanya, “akan tetapi karena pejabat tertinggi negara menetapkan bahwa hukum adalah hukum revolusi dan revolusi itu apa yang didekritkannya, maka surutlah semangatnya menjadi hakim.”
Sungguh pun tidak tercapai maksudnya menjadi hakim, tetapi sobat kita masih menyimpan kekagumannya atas jabatan itu. Baginya “memasuki ruang pengadilan seperti memasuki gedung gereja. Semua serba tertib dan anggun, bahkan toga hakim sama dengan toga Jenewa, pakaian jabatan pendeta GKI.” Sobat kita ini tidak menyadari, bahwa Yohanes Calvin adalah seorang sarjana hukum, yang kemudian memilih menjadi teolog. Dengan latar belakangnya sebagai sarjana hukum, Calvin melakukan pemeriksaan iman (geloofs onderzoek) menjelang penyelenggaraan Perjamuan Kudus terhadap para peserta sakramen tersebut. Juga pada forum kemajelisan di Consistorium dilakukan Censura Morum, yang maksudnya sama, tetapi kini diberikan makna yang berbeda.
Masih mengikuti cerita sobat kita, “dalam dekade limapuluhan dia memasuki ruang pengadilan sebagai saksi, dan mendapat teguran agar tidak duduk berpangku kaki di hadapan hakim. Dia kaget sekali, tetapi serentak kagum atas teguran itu, karena baginya itu merupakan bagian dari tatakrama (code of conduct), disertai tatabusana (dress code) para hakim yang membuat suasana serba anggun di gedung pengadilan.” Bahkan dia menjelaskan, “bahwa padanan Mahkamah Agung kita ialah Hoog Gerechtshof, yang di zaman Hindia Belanda berkantor di gedung yang mempunyai predikat Istana Keadilan (Het Paleis van Justitie).” Kini penulis dapat mengerti kadar idealisme di balik keinginan sobat kita, yang demikian bercita-cita menjadi hakim.
Penulis juga ingin merekam catatan dan penuturan sobat penulis tersebut, manakala dia bercerita tentang lembaga perkawinan. Menurut sobat kita “perkawinan sebagai lembaga hukum disahkan di Kantor Catatan Sipil, sehingga yang diberkati di gereja adalah pasangan yang sudah berstatus sipil sebagai suami-isteri. Oleh karena itu, sepasang suami-isteri yang telah melakukan pernikahannya di luar negeri, adalah sah, sekalipun tanpa pemberkatan di gereja di luar negeri. Perkawinan yang dilakukan dengan sah di luar negeri itu, kemudian dicatat di Kantor Catatan Sipil, sekembalinya pasangan suami-isteri itu di Indonesia.”
Lalu di mana letak “Keindahan Masa Senja” yang hendak dikemukakan sobat kita? Ternyata itu mengenai kadar relasi dua arah antara dia dengan Tuhannya. “Keindahannya,” menurut sobat kita, “terletak dalam penyerahan diri seutuhnya kepada Tuhan dalam menjalani hidup dan kehidupannya, yakni untuk menerima apa yang tidak dapat dia rubah (tidak menjadi hakim?), keberanian untuk merubah apa yang dapat dia rubah, serta kearifan dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan di antara keduanya.” Menurut sobat kita, “di situlah terletak keindahan masa senjanya, to make and to have peace with my Heavenly Father.” Sepanjang pengetahuan penulis, apa yang diungkapkan sobat kita itu, adalah “Alcholic Anonymous Prayer,” yang memperlihatkan kadar pergumulan mereka untuk membebaskan diri dari cengkeraman alkohol.
Paul P. Poli
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.