Kecemasan Sakral

Kecemasan Sakral: Menjaga Lilin Itu Tetap Menyala di Tengah Kegelapan

Belum ada komentar 119 Views

Zaman Kecemasan Tak dapat dimungkiri, kita hidup di “zaman kecemasan” (the age of anxiety). Istilah “zaman kecemasan” ini muncul pertama kali sebagai judul puisi W.H. Auden yang ditulis pada tahun 1947, yaitu pada tahun tahun akhir Perang Dunia Kedua. Akan tetapi, istilah ini terus dipinjam oleh banyak penulis untuk menggambarkan masa masa kemurungan yang berbeda dari waktu ke waktu. Dan tidak berlebihan jika kita mengenakan istilah ini pada masa yang tengah kita hadapi ini. Pandemi COVID-19 memang telah menjadi lahan subur bagi berkembang biaknya kecemasan di banyak warga masyarakat dan warga gereja di seluruh dunia.

Para psikolog dan psikiater di seluruh dunia mensinyalir makin menguatnya kecemasan (anxiety) di banyak penduduk dunia akibat pandemi ini. Berita berita yang beredar melalui media sosial memberi dampak yang makin buruk bagi banyak orang. Ketakutan tertular, ketidakstabilan finansial, kehilangan orang yang dikasihi, kematian diri sendiri, atau isu lain makin memperparah keadaan mereka. Singkatnya, pandemi COVID-19 ini menciptakan endemi psikis yang sangat berat bagi banyak orang.

Meningkatnya kecemasan dan depresi di masa pandemi ini dideteksi oleh banyak peneliti. OptumRx—sebuah perusahaan farmasi di Amerika Serikat—menunjukkan bahwa di bulan Februari 2020 sudah terjadi peningkatan pembelian obat-obatan anti-kecemasan sebanyak 15%, obat-obatan antidepresan sebanyak 14%, dan obat tidur sebanyak 5%. Di Indonesia sendiri, sampai dengan akhir April 2020—menurut data Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa—terdapat 1.522 orang yang mengalami gangguan kesehatan mental, 63% di antaranya terserang kecemasan, selain cukup banyak di antara mereka yang disertai oleh depresi. Jadi, pandemi ini sungguh-sungguh memberi dampak besar bagi mereka yang rapuh secara mental dan salah satu manifestasinya adalah kecemasan.

Terdapat beberapa kelompok orang yang memang rapuh secara mental ketika berhadapan dengan pandemi ini. Yang pertama, tentu adalah mereka yang memang sudah bergumul dengan kesehatan mental mereka, bahkan sebelum munculnya pandemi. Bagi mereka, pandemi ini menjadi pemicu yang mempersulit kemampuan mereka untuk coping dengan kondisi mental mereka. Selain itu, orang-orang tua, orang-orang dengan penyakit tertentu yang berbahaya jika terserang COVID-19 (comorbid), mereka yang hidup dengan disabilitas, anak-anak, pekerja medis, dan lainnya, mengalami pergumulan mental yang relatif lebih besar daripada orang lain.

Dalam tulisan ini, saya ingin membahas masalah kecemasan tersebut lebih secara spiritual. Sudah banyak tulisan yang mudah diakses, yang menjelaskan apa dan bagaimana kecemasan (anxiety) sebagai sebuah persoalan mental. Karena itu, saya ingin meletakkan isu ini ke dalam sebuah perspektif yang disebut “kecemasan sakral” (sacred anxiety).

Kecemasan Sakral
Robert Gerzon adalah orang pertama yang mengusulkan apa yang disebut sebagai kecemasan sakral (sacred anxiety). Di bukunya yang berjudul Finding Serenity in the Age of Anxiety (1997), Gerzon memperlihatkan bahwa terdapat tiga jenis kecemasan. Semua manusia pasti mengalami kecemasan yang pertama, yaitu kecemasan alamiah (natural anxiety). Sigmund Freud menyebutnya kecemasan yang objektif (objective anxiety) atau kecemasan realitas (reality anxiety). Kecemasan semacam ini sangat manusiawi. Ia muncul ketika seseorang menyadari adanya bahaya yang mengancamnya, dan karena itu ia bersifat protektif dan membantu manusia untuk bertumbuh. Pada umumnya, kecemasan tipe pertama ini akan hilang dengan sendirinya ketika objek penyebab hilang. Misalnya, kita pasti akan cemas ketika anak kita demam dan menggigil. Kecemasan itu akan memudar ketika dokter telah mengobatinya dan demam yang dideritanya membaik.

Masalahnya, kecemasan alamiah yang berfungsi untuk memproteksi hidup kita itu perlu disadari, diakui, dan direngkuh. Ketika kita gagal melalui proses itu secara alamiah, maka kita dapat bergeser memasuki tipe kecemasan yang kedua, yang bersifat meracuni. Itu sebabnya, Gerzon menyebutnya sebagai kecemasan yang meracuni (toxic anxiety). Istilah lain yang kerap dipakai adalah kecemasan neurotik (neurotic anxiety, menurut Freud). Para psikiater masa kini menyebutnya gangguan kecemasan (anxiety disorder). Menurut Gerzon, kecemasan semacam ini berlawanan dengan, dan menjauhkan seseorang, dari kebahagiaan. Ia menjadi musuh pertumbuhan mental dari kehidupan seseorang.

Gerzon kemudian mengusulkan tipe kecemasan yang ketiga, yang disebutnya kecemasan sakral (sacred anxiety). Ia menulis, “Kecemasan sakral mencirikan ketakutan pada kematian, misteri kehidupan, dan perjumpaan kita dengan yang utama. Kecemasan sakral meliputi kecemasan eksistensial dan apa yang oleh sebagian orang disebut rasa ‘takut akan Tuhan.’”

Bisa dipahami bahwa Gerzon adalah seorang Yahudi yang akrab dengan teks Perjanjian Lama. Di dalam kitab-kitab hikmat— khususnya Amsal—“takut akan Tuhan” menjadi awal dari hidup berhikmat dan berpengetahuan. Bahkan, ia menjadi “sumber kehidupan” yang menghindarkan kita dari jerat maut (Ams. 14:27). Singkatnya, kecemasan sakral merupakan kesadaran bahwa kita lemah, kecil, dan tak berdaya di hadapan Sang Kehidupan. Di hadapan Allah pemilik kehidupan dan kematian, kita senantiasa diperhadapkan pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial, seperti “Siapa aku?” atau “Apa tujuan hidupku?” atau “Ke manakah aku setelah mati?” dan sebagainya. Menurut Gerzon, seluruh pertanyaan itu memunculkan sebuah kecemasan, yang tidak bersifat toxic melainkan sacred. Ia berguna untuk mengasuh dan mengasah nilai kemanusiaan kita yang terdalam. Seluruh pertanyaan itu menempatkan kita pada keabadian yang hadir pada hari ini (eternal present).

Jika demikian, bukankah lantas kita kini punya keberanian untuk menghadapi sumber-sumber kecemasan yang meracuni kita, yang toxic. Sebab, kita telah berhadapan, bahkan setiap hari, dengan sumber kehidupan itu sendiri, yang memang memunculkan kecemasan juga, tapi yang sakral sifatnya? Maka, jangan berhenti berjuang dan memperjuangkan kehidupan. Jangan menyerah pada kondisi mental Anda. Simaklah dengan sungguh-sungguh suara Allah yang mungkin membuat cemas secara spiritual, sebab ia memperhadapkan kita pada pertanyaan hidup dan mati. Namun percayalah, semua itu justru akan membebaskan kita dari kecemasan-kecemasan yang toxic.•

| PROF. DR. JOAS ADIPRASETYA

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...