“Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: Mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.” (Yesaya 40:31)
Sebelum membahas lebih dalam mengenai tema ini, saya mencoba mencari persamaan kata untuk ‘Jangan menyerah’. Mohon diluruskan jika tidak sesuai. Adapun persamaan kata yang saya temukan adalah; Tetap bertahan, berjuang terus; Tegar dalam segala keadaan; Maju terus, pantang mundur; jangan mudah bosan; dan mungkin masih ada lagi persamaan kata yang belum saya kemukakan. Biasanya kata-kata tersebut kita gunakan sebagai penyemangat kepada seseorang yang sedang dalam kesulitan.
Tema ini mengingatkan saya pada awal mula krisis menimpa keluarga saya. Saat itu Bapak sedang fokus membiayai kelima anaknya untuk sekolah, dan tiba-tiba Ibu sakit keras. Bapak berusaha membawa Ibu bolak-balik berobat ke orang pintar, tapi ternyata hanya buang-buang uang tanpa hasil yang maksimal. Setelah berpikir untuk menggadaikan sawah kami, akhirnya Bapak memutuskan untuk membawa Ibu ke rumah sakit. Namun hasilnya pun tidak memuaskan.
Itu hanya sepenggal cerita bagaimana kami harus bertahan di tengah krisis. Tidak lama setelah kami dapat mengatasi keadaan, kami diperhadapkan pada krisis global di mana 1 dolar AS mencapai Rp. 16.000,- . Saat itulah saya mulai ragu apakah saya tetap bisa sekolah sambil bekerja, atau sebaiknya fokus bekerja saja. Saya mulai pasrah pada keadaan. Apapun yang akan saya jalani, saya akan belajar bersyukur.
Pada suatu kesempatan, saya mencoba bertukar pikiran dengan Bapak di kampung. Pendapatnya waktu itu sungguh di luar dugaan saya. Saya berpikir bahwa ia akan memberikan saya kesempatan untuk memilih “Karepmu Nak, kan awakmu sing arep ngelakoni,” sebab menurut saya, itulah kata-kata bijak yang sering saya dengar diucapkan kepada seseorang jika ia membutuhkan pendapat. Saya agak terkejut, ketika Bapak justru memberikan pendapatnya tentang krisis. Menurut beliau, krisis itu bukan baru dimulai saat ini. Sejak dahulu sudah dikenal krisis.
Sekarang justru hidup kami sudah jauh lebih enak. Sebab zaman dahulu saat Bapak masih kecil, beli beras harus antre dan kalau mau masak harus mencari kayu. Begitu tiba saatnya untuk makan, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara senapan. Bapak dan yang lain diseret Kakek untuk disembunyikan. Anak sekarang, di mana krisisnya? Mau makan tinggal makan, mau tidur pun bisa nyenyak. Bedanya, pada zaman Bapak memang mereka tidak mengenal dolar. Bahkan sekarang pun Bapak tidak tahu hubungan krisis dengan dolar.
Setelah merenungkan pandangan Bapak, tiba-tiba semangat saya pun langsung bangkit. Rasa ragu dan khawatir saya bergeser menjadi sebuah keyakinan bahwa saya pasti bisa. Jika saya ingin mengikuti pandangan Bapak mengenai krisis, berarti sejak dahulu kita memang sudah diperhadapkan dengan keadaan seperti ini. Hanya saja bentuk krisisnya berbeda. Jika demikian, sejak kapan sebenarnya kita mengalami krisis? Apakah sejak perang dunia pertama? Kedua? Ataukah justru sebelum itu?
Ketika saya sibuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, tiba-tiba saya teringat bagaimana Allah sangat marah kepada manusia dan mengutuk manusia (Baca Kej.3:16-19). Menurut saya, di situlah awal mulanya manusia mengalami krisis, sebab sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa, mereka diberi tempat di Eden, diberi kepercayaan, kekuasaan dan rasa percaya diri (mereka tidak malu meskipun telanjang) Baca Kej. 2:15,19 dan 25.
Sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia diperhadapkan pada krisis. Hal itu ditandai dengan datangnya masa-masa sulit yang harus dihadapi oleh kaum Adam dan Hawa sampai pada keturunan mereka, mulai dari krisis kepercayaan (ay. 15), krisis kuasa (ay. 19) dan krisis kepercayaan diri (ay. 25). Ketiga hal itulah yang menurut saya menyebabkan krisis-krisis lainnya. Manusia menjadi lupa bahwa selama bersama-sama dengan Allah, segala sesuatu sudah terpenuhi. Bahkan di dalam usahanya untuk mendapatkan kembali ketiga hal tersebut, manusia malah makin jauh dari Allah. Hal ini membuat manusia menjadi makhluk yang paling rendah.
Apakah Allah tinggal diam? Tentu saja tidak. Begitulah kira-kira jawaban orang percaya. Ada begitu banyak hal yang membuat kita yakin dan percaya bahwa Allah sedang berusaha mendapatkan manusia itu kembali kepada kemuliaan-Nya. Apa sajakah yang dilakukan Allah untuk mendapatkan kita kembali? Sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, komunikasi antara Allah dan manusia terputus, sebab manusia justru lari dan bersembunyi dari Allah. Sampai pada akhirnya Allah memulai kembali komunikasi-Nya dengan manusia melalui Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa dan Yosua.
Namun masih saja manusia meragukan Allah dan karya-karya-Nya melalui utusan-utusan-Nya. Hal ini membuat Allah memberikan kuasa kepada hakim-hakim (Deborah, Gideon, Samson), bahkan raja-raja pilihan-Nya (Saul, Daud, Salomo) untuk memimpin manusia kepada Allah namun manusia masih memberontak kepada-Nya. Kemudian Allah memutuskan untuk mengutus para nabi untuk memperingatkan manusia atas dosa pemberontakannya dan memberitahukan hal-hal yang akan ditanggung atas dosa-dosa mereka. Namun manusia masih tidak peduli dengan peringatan para nabi utusan Allah itu. Apakah Allah berhenti bekerja? Pasti tidak. Sebab akhirnya kita mengenal orang seperti Daniel yang pemberani.
Ketika beberapa manusia pilihan-Nya berhasil kembali ke tanah perjanjian, Allah justru tampak berhenti bekerja dalam jangka waktu yang sangat lama, kira-kira ratusan tahun lamanya. Tidak ada nabi-nabi yang diutus, tidak ada mukjizat-mukjizat dan bahkan kunjungan-kunjungan malaikat. Kira-kira empat ratus tahun lamanya Allah seakan-akan diam hingga kelahiran Yesus Kristus. Yesus hidup sebagai manusia yang tidak berdosa, mengajarkan kebenaran, melakukan banyak mukjizat yang membuktikan bahwa Dia adalah Allah. Dia menunjukkan kepada kita kasih Allah yang tanpa batas dengan mati di kayu salib untuk dosa yang seharusnya kita tanggung. Dia dikuburkan. Namun pada hari yang ketiga Dia bangkit untuk mengalahkan maut. Para murid yang ditinggalkan-Nya pergi ke penjuru dunia untuk meneruskan ajaran Kristus tentang kasih Allah.
Kita percaya bahwa sejak Adam dan Hawa meninggalkan taman yang sudah dipercayakan kepada mereka hingga saat ini, Tuhan tidak menyerah. Ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk menyambut usaha Allah, yaitu:
- Belajar: kita belajar mengenal kasih Allah secara utuh. Baik melalui Firman-Nya maupun karya-Nya di dalam hidup kita. Sebab kita tidak tahu Allah macam apakah yang Adam dan Hawa kenal sebelum kejatuhan mereka ke dalam dosa. Belajar membangun komunikasi dengan Allah dengan berdoa tidak jemu-jemu sebagaimana Kristus mengajar kita untuk berdoa (baca Luk.18:1).
- Latihan: selain belajar tentu kita juga perlu latihan. Adapun yang harus dilatih dari kita adalah iman, harapan dan kasih. Seperti halnya jasmani kita, rohani kita pun perlu dilatih.
- Ujian: Pada akhirnya iman kita yang akan dipertanyakan (Luk. 18:8).
- Siap menjadi pemenang: Matius 10:22b mengatakan, “Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.”
Ketika kita menghadapi krisis kehidupan, siapakah kita ini? Apakah kita seperti hakim lalim yang digambarkan dalam Lukas 18:1-8 ini? Ataukah seperti seorang janda yang tidak jemu-jemu datang menuntut haknya pada sang hakim?
Jika kita adalah seorang hakim, tentulah Tuhan tidak menghendaki kita untuk memanfaatkan jabatan kita supaya bisa menindas orang lemah. Tuhan mau supaya kita membela kebenaran dan keadilan atas nama Tuhan, bukan atas nama jabatan. Mungkin kita seperti janda yang tidak punya jabatan. Akan tetapi Tuhan tidak menghendaki kita untuk hanya berpengharapan kepada manusia, melainkan kepada Allah.
Tuhan datang ke dunia mengambil rupa manusia untuk mengajar kita bagaimana seharusnya kita menjadi manusia dan memperlakukan sesama manusia. Tuhan datang dalam rupa manusia supaya kita mengerti bahwa Tuhan sedang mengulurkan tangan kasih-Nya. Tuhan tidak akan menyerah sampai kita menyambut tangan-Nya.
Apakah kita sudah membangun komunikasi dengan Allah dalam doa?
Apakah kita sudah menyambut uluran tangan kasih Tuhan dan meneruskan-Nya kepada orang lain?
Semoga jawabannya YA dan AMIN.
*) Renungan pada Kebaktian Poparan Ompung Ruth Siregar, Sabtu 23 Juli 2016
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.