isolasi

ISOLASI

Belum ada komentar 26 Views

‘Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada Nya, sebab Ia yang memelihara kamu’ (1 Petrus 5:7)

Peristiwa yang terjadi pada minggu terakhir bulan Oktober lalu adalah pergumulan kami dalam melawan COVID-19, virus yang menyentuh kehidupan seluruh dunia.

Bermula dari Sutedjo yang merasa badannya lemas, lelah, meriang, dan Evelyn yang sempat mual dan muntah. Hasil tes usap kami yang ‘positif’ membawa kami pada isolasi selama 3 minggu di suatu ruangan di RS FMC Bogor.

Semoga para sahabat bisa mengambil hikmah dari kisah kami ini.

Cerita Sutedjo (T)
Pada tanggal 22 Oktober, T mulai merasa badannya lemas, meriang dan lelah, yang diobati dengan minum vitamin. Hingga tiga hari, kondisi badannya tetap seperti itu. Karena pada hari ke-4 badannya mulai menggigil, maka pada hari ke-5 pagi ia menjalani tes usap, dan pada sore harinya keluar hasil yang tidak diharapkan, yaitu ‘Positive Covid’. Jadi pada tanggal 26 malam, ia dibawa ke RS FMC Bogor. Mengapa di sana? Karena dibawa oleh Nana (anak sulung kami yang bekerja di tempat tersebut). Sesampai di RS, ia diperiksa di IGD. Tekanan darah dan saturasi oksigennya dicek. Ia juga dirontgen, dan setelah itu baru masuk kamar isolasi (kamar dengan tekanan udara negatif).

Apa yang dirasakan setelah masuk ruang isolasi?
Pada saat-saat awal, ia merasa biasa biasa saja dan segera diinfus, obat oral pun masuk ke dalam tubuhnya. Satu-dua jam setelah itu, reaksi mulai muncul, badannya merasa sangat kedinginan. Dengan pakaian tiga rangkap pun ia tetap menggigil. Bahkan dengan ditambah selimut tiga rangkap, ia masih merasa kedinginan padahal ruangan tidak ber-AC. Meski demikian, ia terus bertahan. Tidak berselang lama, sakit perut atau mulas dan diare muncul. Malam hari bertambah dengan kepala pening, sehingga ia gelisah dan sulit tidur. Dalam kesesakan itu ia membaca obrolan para sahabat yang senantiasa menyemangati, mendoakan dan menghiburnya. Doa-doa pribadi pun dinaikkan untuk kesembuhannya (Sebagai catatan, ternyata saat masuk ruang isolasi, selain positif menderita COVID-19, ia juga memiliki penyakit penyerta/komorbid. Hal ini diketahui dari hasil tes darah, di mana kadar trombosit berada di bawah ambang batas, sedangkan gula darah di atas ambang batas. Dari foto rontgen paru paru juga terlihat ada bercak yang masih belum disimpulkan).

Hari berikutnya (hari ke-2 di ruang isolasi), dijalaninya dengan masih kedinginan, tetapi diare sudah tidak kambuh lagi karena sudah mendapat asupan obat anti diare. Perjalanan hari itu terasa panjang dan menjemukan, sambil menantikan kabar hasil tes orang serumah (istri dan anak). Kabar hasil tes istri yang juga positif menambah berat pikirannya. Perasaannya bergejolak seakan-akan ia menghadapi semacam peperangan di dalam ruangan yang terbatas tersebut. Stres mulai muncul, karena ia tidak bisa berbuat apa-apa, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang yang dikasihinya. Obrolan dari para sahabat terus mengalir untuk memberinya semangat dan turut mendoakannya, sehingga ia mulai mampu mengelola stresnya.

Peperangan yang dimaksud oleh T adalah:

  • Pertama, antara obat dan virus dalam tubuh (tubuh merasa tidak enak, antara lain menggigil, kepala pening, diare, sendi-sendi tulang kaku) >> sakit di badan.
  • Kedua, antara pikiran dan hati: Mengapa saya, lalu ditambah istri saya >> sakit di pikiran dan hati.

Ia ingin menghubungi seseorang untuk minta pertolongan, tapi bingung, karena ia berharap tidak banyak orang yang tahu bahwa ia terkena COVID-19. Namun pada akhirnya, sekitar pukul 3 sore, ia mengontak Pdt. Tumpal Tobing untuk minta dukungan doa.

Malam harinya, dalam ruang yang ± 4×5 m2, istrinya tertidur pulas di ranjang sebelahnya setelah diinfus. Namun stres T tidak kunjung hilang dan mentalnya mulai terpuruk. Ia belum bisa tidur, gelisah, merasa bersalah menulari istri, dan akhirnya dengan perasaan campur aduk hanya pasrah kepada Tuhan. Ia tidak berdoa untuk mohon kesembuhan, tapi untuk dijemput-Nya. Tak terasa obat tidur dosis tinggi yang diberikan kepadanya mulai bereaksi.

Keesokan harinya, ia ternyata masih diberi kekuatan, bukan dijemput oleh Tuhan. Dalam kondisi mental terpuruk, ia mencoba menjalani hidup ini yang entah akan berakhir seperti apa. Ia juga berusaha tidak menampakkan kegalauan pada istrinya. Ia tahu bahwa obat untuk melawan virus ini adalah penguatan antibodi, selain antivirus, antibiotik, dan obat-obat lainnya. Rasa gembira dan tidak banyak pikiran juga merupakan faktor yang mempercepat proses kesembuhan.

Hari itu datanglah pesan dari Pdt. Tumpal Tobing demikian: Selamat pagi, Pak Tedjo, kami terus berdoa untuk kesembuhan Bapak dan Ibu Tedjo. Ketika sesuatu yang sulit sedang terjadi dalam kehidupan kita, percayalah bahwa Tuhan mau mengajarkan sesuatu kepada kita. Potensi dan kekuatan yang ada dalam diri kita jauh melebihi kelemahan yang sedang kita derita. Tetap semangat ya Bapak dan Ibu. Tuhan tidak akan membiarkan sakit penyakit menghancurkan hidup kita. Kita berserah, tapi jangan pernah menyerah, ya Pak. Tuhan menyertai dan memberkati.

Pada malam harinya, dengan mental yang masih terpuruk, ia mencoba untuk berserah, menerima apa pun yang Tuhan mau dalam hidup ini. Ya, hanya berserah, tapi tidak menyerah, dengan tetap berdoa dan memohon agar Tuhan memberikan semangat yang baru.

Keesokan harinya, kondisinya masih seperti sebelumnya. Dengan badan yang terasa dingin dan tidak enak, ia menjalaninya bersama istrinya di dalam ruang yang itu-itu saja. Mereka dikirimi headset oleh anak mereka, yang membuat mereka mendengarkan lagu-lagu yang bisa menyemangati. Ada 2 lagu lama yang pernah didengar, yaitu Way maker dan I surrender. Penyerahan diri makin kuat dan semangat terbangun kembali.

Pada hari ke-6 rasa dingin sudah berangsur-angsur hilang, dan badan sudah bisa beradaptasi dengan obat. Dengan semangat yang sudah terbangun, T bisa ikut zoom rapat Dept. Kespel BPMSW dengan tidak fokus pada sakit/virus yang ada dalam tubuh.

Hasil tes usap pada tanggal 7 ternyata masih positf, jadi masih harus menjalani proses isolasi sampai tanggal 18 (jadwal tes usap lagi). Stres mulai muncul lagi, tapi dengan semangat yang sudah terbangun, kegundahan itu bisa dilawan dengan penyerahan diri dan keyakinan akan kekuatan dari Tuhan. Puji Tuhan, hasil tes usap pada tanggal 18 negatif, sehingga bisa pulang dan bebas dari ruang isolasi.

Cerita Evelyn (E)
Awalnya, pada tanggal 26 Oktober pagi, E merasa mual dan muntah-muntah. Ia lalu tidur, karena biasanya kalau badannya terasa tidak enak seperti ini, ia akan merasa segar kembali setelah tidur. Namun hari itu, begitu ia bangun, ia merasa mual dan muntah-muntah lagi. Setelah diminumi 3 obat yang diberi Nana (putrinya) dan ia tidur lagi, badannya merasa bugar dan ia bisa makan tanpa rasa mual.

Karena Senin itu tes usap T dinyatakan ‘positif’, maka pada hari Selasa pagi, E dan Randy (anak kedua yang di rumah), juga menjalani tes usap. Sorenya keluar hasilnya. Randy ‘negatif’, tapi E ‘positif’.

Awalnya hati E bergumul. Ia enggan ke rumah sakit karena merasa bahwa ia sudah kuat kembali. Namun mengingat bahaya penyakit ini, dan juga karena T sudah dirawat di rumah sakit dan ia bisa sekamar dengannya, maka malam itu ia diantar Randy ke RS FMC Bogor.

Sesampai di RS pada Selasa malam (27 Oktober), ia langsung diperiksa di IGD, diambil darahnya, di cek tekanan darah dan saturasi oksigennya, lalu dibawa ke ruang rontgen. Setelah itu ia kembali ke IGD untuk dipasangi alat infus, lalu masuk kamar Isolasi. Di sana jantungnya dicek dengan menjepitkan jarinya pada alat yang terhubung dengan printer.

Hari Rabu 28 Oktober, ia terlebih dulu dicek apakah alergi dengan obat atau tidak, dengan mendapat suntikan di bawah kulit. Setelah itu mulailah ia digelontor obat yang amat banyak, karena baru kali itu ia melihat vitamin, antibiotik, dan obat mual yang terus-menerus dimasukkan ke dalam infusnya. Selain itu, obat yang diminumnya juga banyak. Dokter spesialis yang menanganinya memberitahukan bahwa 5 hari pertama adalah waktu untuk berpacu melawan virus itu. Jadi pada kurun waktu itu, obat yang diberikan ke tubuh cukup banyak. E sempat merasa khawatir, jangan-jangan semua obat ini punya efek samping, tapi segera ia menepis pikiran itu dengan mengingat ayat yang dikatakan Yusuf kepada saudara-saudaranya: “Allah akan mereka-rekakannya untuk kebaikan.”

Pada hari ke-4 dan ke-5, setiap bangun malam, ia merasa mual dan muntah, dan bahkan pada hari ke-6 ia hampir seharian tidak makan, obat minum pun tidak diminum. Dokter mengatakan bahwa itulah kondisinya yang terburuk. Syukurlah pada hari ke-7 (3 November) ia mulai tidak mual, dan setelah itu badannya berangsur-angsur merasa enak, dan merasa bahwa pada tanggal 7 November hasil tes usap pasti sudah negatif, sehingga bisa pulang. Ternyata hasilnya tidak sesuai dengan keinginan hati. Ia kecewa, tapi menyadari bahwa kekecewaan itu akan memengaruhi kondisi tubuhnya, maka bersama T, ia belajar menghibur diri dan bersabar.

Pada tanggal 8 November, karena kondisi badan sudah tidak mual, infus panjang dengan obat-obat bisa dicopot dan tanggal 9 November, jarum infus di tangannya dicopot. Bebas… senang sekali… Dan karena kondisinya sudah enak, tetapi masih harus menunggu jadwal tes usap pada tanggal 18, mulailah timbul perasaan bosan dan tak berdaya. Puji Tuhan, mesti tes usap E pada 18 November masih positif, dia sudah bisa pulang, dengan catatan untuk tetap isolasi mandiri di rumah.

Sahabat, selama tiga minggu di ruang isolasi, banyak pelajaran yang kami dapatkan:

  • Jangan sepelekan virus kecil yang tidak terlihat (jangan abaikan 3M: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) – karena belum ada obat yang pas, dan untuk melawannya begitu banyak obat yang harus dikonsumsi. Juga untuk kembali negatif sering kali dibutuhkan waktu yang lama. Bahkan anak-anak kami, Nana dan Randy, harus isolasi dan tes usap lagi hanya karena mengantar kami ke RS.
  • Hidup kita sangat berharga. Bayangkan, kami berdua dijaga oleh 1 tim perawat yang terdiri atas 8 orang yang berjaga bergilir selama 24 jam. Mereka harus pakai APD saat dekat dengan kita.
  • Ada perhatian perawat untuk hal-hal kecil, seperti membukakan bungkus obat minum (hanya 1 perawat yang melakukan hal itu), dan ada perawat lain yang menghibur dengan menulis di sarung tangannya, “Semoga cepat sembuh, Ibu.” Perhatian kecil yang mampu menimbulkan sukacita.
  • Terima kasih untuk malaikat malaikat Tuhan yang dikirimkan kepada kami, sehingga kami nyaman dirawat di ruang isolasi (kami ditempatkan di sebuah ruang yang khusus untuk 2 orang). Ruangan kami juga memiliki jendela yang bisa melihat keluar.
  • Terima kasih untuk Bapak dan Ibu Pendeta yang mengirimkan doa, memberi semangat dan pencerahan.
  • Terima kasih untuk perhatian dan doa Saudara-Saudara dan Sahabat Sahabat yang memberi semangat dan mengingatkan kami bahwa kami tidak sendiri.
  • Bersyukur bahwa sekarang ada ponsel, sehingga kami tidak terisolasi meskipun di kamar isolasi, bahkan E bisa ikut PPG (Persekutuan Perempuan Gabungan) dari kamar isolasi itu, mengikuti pelayanan Pak Purboyo yang ternyata sedang sakit.

Akhirnya, mari Sahabat, kita “Berserah tetapi tidak menyerah” dengan kondisi apa pun yang sedang menimpa kita. Buatlah hati selalu gembira, karena dengan hati gembira, tidur cukup, makan seimbang, dan berjemur, akan mengusir virus di tubuh kita.

|EVELYN SUTEDJO

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Sudut Hidup
  • Aku mencari wajah-mu, Tuhan…
    Kesaksian Dapot Parulian Pandjaitan
    Berharga di mata Tuhan (kematian) semua orang yang dikasihi-Nya (Mazmur 116:15) Oops… Kematian? Suatu kata yang sering dihindari orang...
  • Kasih-Nya Mengalir
    Namanya Helen Jayanti, biasa dipanggil Helen. Saat ini sedang menjalani Praktek Jemaat 1 di GKI Pondok Indah. Lulusan dari...
  • Jalan Pagi Lagi di Antara Jiwa-Jiwa
    perjumpaan dengan inspirasi kehidupan lain yang juga mendatangkan syukur
    Upaya Menjaga Kebugaran Sungguh tak mudah memulai kembali sebuah rutinitas, terutama yang menyangkut fisik, apalagi kalau memang pada dasarnya...
  • Jalan Pagi di Antara Jiwa-Jiwa
    Perjumpaan-perjumpaan yang menginspirasi kehidupan dan mendatangkan syukur.
    Jalan Pagi Untuk menjaga kondisi dan kesehatan jasmani di masa yang menekan ini sehingga tidak banyak aktivitas yang bisa...
  • In-Memoriam: Pdt. (Em.) Timotius Setiawan Iskandar
    Bapak bagi banyak anak yang membutuhkan kasih: yang kukenal dan kukenang
    Mencari Tempat Kos Setelah memutuskan untuk mengambil kuliah Magister Manajemen pada kelas Eksekutif (kuliah pada hari Sabtu-Minggu) di Universitas...