Usai mengajar kerap kali saya naik bis kota dari halte di depan Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta di jalan Proklamasi 27, turun di halte Tosari dekat bundaran Hotel Indonesia. Di situ saya berganti naik bus Trans Jakarta atau yang populer dengan nama “busway” ke blok M di mana saya biasanya telah ditunggu oleh Pak Djiman pengemudi kami, untuk kembali ke Cinere.
Tetapi terkadang dari halte di depan STT Jakarta saya beruntung menaiki bus “Patas” ber”ac”. Bila saya mendapat tempat duduk biasanya saya tidak berganti bus di Tosari. Karena walau perjalanan lebih lama akibat kemacetan, masih mendingan ketimbang lebih cepat sampai di blok M namun harus berdiri berdesak-desakan di “busway”. Lagipula, berada di dalam bus kota tidak pernah membosankan. Berbagai pengalaman bisa kita alami dan berbagai pembelajaran bisa kita petik.
Pada suatu Senin sore yang panas saya beruntung mendapatkan tempat duduk di atas bus “Patas” ber”ac” yang langsung ke Ciputat melewati terminal Lebak Bulus. Setelah menghubungi Pak Djiman untuk menunggu saya di terminal Lebak Bulus, saya bersiap-siap untuk mengantuk dan tertidur. Namun baru saja saya hendak memejamkan mata, naiklah seorang pemuda berambut cepak dengan sebuah gitar tergantung di bahunya.
“Selamat sore, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, para penumpang yang budiman. Juga selamat sore untuk Bapak Sopir dan Kondektur. Perjalanan Anda masih panjang, tetapi jangan kuatir saya akan menghibur Anda…”
Dan mulailah ia memetik gitar yang terdengar sedikit sumbang karena dawainya sudah tua, lalu menyanyikan lagu “Country Road” dari John Denver. Suaranya agak melengking dan cukup merdu. Ketika ia mengakhiri lagunya tak seorangpun bertepuk tangan. Setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri, dengan lamunan dan kantuknya.
“Begitulah tadi “Country Road” dari John Denver. Berikutnya sebuah nomor dari Franky and Jane…. lagu “country” produk lokal…”
Lima lagu “country” dinyanyikannya dengan cukup baik, walau terkadang akordnya tidak terlalu tepat. Namun sang pengamen berusaha melakukan “pekerjaannya” dengan sungguh-sungguh serta bersemangat.
“Demikianlah tadi sekadar hiburan dari saya. Terima kasih Pak Sopir dan Kondektur. Kepada seluruh penumpang saya ucapkan selamat jalan, dan tiba di rumah dengan selamat,” ujar sang pengamen sambil menyodorkan sebuah gelas plastik bekas air mineral kepada setiap penumpang.
Ada yang merogoh kantung dan memberi sekadarnya, ada yang menggelengkan kepala, dan tentu saja ada yang berpura-pura tidak melihatnya. Setelah semua mendapat sodoran gelasnya maka dengan sigap di halte berikutnya ia melompat turun.
Sebelum bis bergerak lagi melompat masuklah seorang perempuan agak gemuk setengah umur dengan membawa gitar. Dan mulailah kembali acara hiburan di atas bis kami. Kali ini lagu-lagu “KoesPlus” yang ternyata dibawakan dengan baik oleh si perempuan. Ketika ia menyodorkan gelasnya pada akhir “shownya” yang ditutupnya dengan lagu “Kembali ke Jakarta”, menurut pengamatan saya ia mendapatkan lebih banyak uang ketimbang rekannya sebelumnya.
Ketika sang perempuan turun di halte Dukuh Atas, saya mengantisipasi masuknya pengamen yang lain. Namun ternyata bis kembali bergerak tanpa hiburan, karena kemudian tampillah ke tengah bis seorang pemuda yang menawarkan buku-buku agama Islam dengan cara meletakkan beberapa buku di pangkuan para penumpang. Kemudian ia menjelaskan betapa penting, berguna dan murahnya buku-buku itu. Ia menjelaskannya dengan lucu dan menarik. Sayang ketika ia menjemput kembali buku-bukunya hanya satu orang yang tertarik untuk membelinya.
Di halte Bendungan Hilir saya mulai memejamkan mata, ketika tiba-tiba seorang pemuda berpeci menuntun seorang pemuda berpeci lain yang buta menaiki bis dengan membawa gitar.
“Assalammualaikum….! Kiranya Allah SWT melimpahkan berkahNya kepada para penumpang sekalian. Perkenankanlah teman saya yang buta ini, tetapi yang amat berbakat dan soleh, menghibur Anda semua…”
Maka mulailah sang penyanyi buta melantunkan lagu-lagu dengan irama “qasidah” yang liriknya adalah seruan untuk hidup menurut jalan Tuhan di dunia yang penuh dengan kemaksiatan dan kejahatan ini. Di antara setiap lagu ia mengutip dari AlQuran sebuah ayat nasihat dalam bahasa Arab dengan terjemahannya. Batal saya tidur karena suara sang penyanyi sama sekali tidaklah merdu. Dan di sekitar saya beberapa orang kelihatan merasa terganggu, tetapi mereka diam saja. Menjelang akhir “konsernya”, rekannya yang tadi menuntunnya menyodorkan gelasnya. Beberapa perempuan berjilbab memberinya uang dan saya memutuskan untuk melakukannya juga karena saya menghargai semangat mereka berdua, terutama si pengamen buta.
Di halte Ratu Plaza mereka turun dan digantikan oleh pengamen keempat, seorang pemuda berambut panjang yang diikat dengan buntut kuda.
“Salam sejahtera dan selamat sore penumpang yang saya hormati. Tadi rekan-rekan saya sudah menghibur Anda semua. Kini giliran saya untuk mengiringi perjalanan Anda. Kiranya lagu-lagu yang saya bawakan berkenan di hati Anda….”
Dengan sangat takjub saya mendengarkan sang pengamen menyanyikan lagunya yang pertama, yang kata-katanya terasa akrab di telinga saya. Kian lama kian saya kenali lagu itu, lagu “Seperti Yang Kau Ingini”. Lagu rohani Kristen, yang kalau tidak salah dinyanyikan oleh Nikita, yang kadang-kadang dinyanyikan oleh anak-anak saya. Dan lagu-lagu berikutnya adalah benar-benar lagu-lagu rohani Kristen yang isinya adalah anjuran untuk hidup benar di hadapan Tuhan, bahkan anjuran untuk menyerahkan diri dan kehidupan kepada Tuhan Yesus Kristus, sang Juru Selamat.
Saya melihat berkeliling, kuatir ada orang yang merasa terganggu atau protes terhadapnya. Namun seperti pada saat sang pengamen buta menyanyikan lagu-lagu rohani Islam, tidak ada seorang pun yang bereaksi. Hanya memang ketika ia usai cuma empat orang yang memberinya uang termasuk saya. Dan ia masih sempat mengucapkan kata-kata penutup, sebelum ia meninggalkan bis di perempatan jalan Melawai:
“Terima kasih para penumpang yang dikasihi Tuhan. Tuhan memberkati Anda semua. Selamat jalan. Syalom!”
Untung sesudah pengamen keempat tidak ada lagi pengamen yang naik, karena rasanya para penumpang sudah bosan mendengarkan nyanyian dan mungkin juga bosan memberikan uang. Dalam keheningan bis kota saya merenungkan pengalaman saya yang unik dan berharga ini.
Saya tidak habis heran bahwa toleransi di antara para pengamen dan penjaja dagangan terhadap mereka yang berbeda agama begitu nyata. Dan itu hanya bisa terjadi karena sopir dan kondektur bis juga memberikan kesempatan kepada semua orang, pengamen, dan penjual keliling, tanpa membeda-bedakan. Tetapi yang lebih menakjubkan adalah para penumpang yang dengan penuh pengertian serta kesabaran mendengarkan lagu-lagu “country”, lagu-lagu “KoesPlus”, uraian pedagang buku, lagu-lagu rohani Islam, bahkan lagu-lagu rohani Kristen.
Mengapa? Jawabannya sederhana. Setiap orang perlu hidup apa pun suku atau agamanya, apa pun bidang usahanya. Selama usaha untuk hidup itu tidak bertentangan dengan prinsip kepantasan yang umum diterima, maka para penumpang bis dengan sabar dan penuh pengertian menerimanya. Inilah yang seharusnya tidak hanya terjadi di atas bis kota, di antara orang-orang kecil yang harus bergulat dengan hidup yang keras setiap hari.
Mestinya toleransi seperti itu juga terjadi antara para pedagang usaha kecil, menengah, besar bahkan para konglomerat. Tidakkah setiap orang perlu hidup apa pun suku atau agamanya, apa pun bidang usahanya?
Mestinya toleransi seperti itu juga terjadi di lembaga-lembaga pendidikan rendah hingga tinggi, di mana orang-orang berpendidikan bergulat dengan disiplin keilmuan setiap hari. Sebab tidakkah kebenaran mestinya tidak berpihak dan tidak membeda-bedakan?
Mestinya toleransi seperti itu juga terjadi di kalangan hamba-hamba hukum dan di sidang-sidang peradilan. Tidakkah sang dewi keadilan menimbang dan menghukum dengan mata tertutup?
Mestinya toleransi seperti itu juga terjadi di Senayan, di antara para anggota DPR dan MPR berikut komisi-komisinya. Tidakkah mereka itu semua bukan hanya wakil golongan, partai, atau kelompok mereka sendiri, tetapi pada hakikatnya wakil dari segenap rakyat Indonesia tanpa kecuali?
Mestinya toleransi seperti itu juga terjadi di gereja dan jemaat kita. Tidakkah Tuhan juga tidak berpihak dan membeda-bedakan?
Mestinya toleransi seperti itu terjadi di mana-mana. Tidakkah Indonesia adalah untuk semua?
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.