Jika saya berkata pada Anda bahwa, menurut para astronom, jumlah bintang di semesta ini adalah 678.325.890.903.402, Anda pastilah cenderung untuk percaya. Namun, jika kita melihat sebuah papan di samping sebuah kursi atau tembok, dengan tulisan, “Awas, Cat Basah!” kita cenderung memastikan.. dengan menyentuh perlahan kursi atau tembok tersebut.
Keraguan kerap berurusan dengan tiga hal: daya jangkau akal kita, kelima indera kita dan pengalaman kita. Jika sebuah informasi melampaui daya jangkau akal kita, kita cenderung meragukan informasi tersebut. Pun, jika sebuah situasi di dalam daya jangkau indera kita, kita cenderung meragukan situasi tersebut, sebelum indera kita memastikannya. Juga, jika sebuah pengalaman baru ber lawanan atau tak sama dengan pengalaman yang biasa kita miliki, kita cenderung meragukan pengalaman baru tersebut.
Singkatnya, keraguan selalu berurusan dengan kemanusiaan kita yang ter batas. Kita dibatasi oleh ruang dan waktu. Dan dalam radius yang masih berada dalam batas ruang-waktu itu, kita memakai pengalaman dan indera kita untuk meragukan sesuatu dan untuk menjawab keraguan tersebut.
Kebangkitan sesungguhnya tepat berada di tubir, di tepian, antara masuk-akal dan melampaui-akal, antara inderawi dan imani, antara pengalaman-lazim dan pengalaman-serba-baru. Dan ini berlaku sesungguhnya untuk seribu satu soal yang terkait dengan iman dan keberagamaan kita. Tapi, kebangkitan harus diakui, menjadi puncak dari semua pengalaman iman kita. Maka, tak heran, jika ia paling banyak diragukan, jika ia menimbulkan banyak kebimbangan.
Maka, ini yang ingin saya katakan: Ragu-ragu adalah sebuah kewajaran. Ragu-ragu adalah tanda kemanusiaan. Ragu-ragu bahkan sudah membuat peradaban dan ilmu pengetahuan kita makin maju. Tapi, keraguan juga bisa berbahaya, jika tidak diatasi secara bijak. Ia dapat melemparkan iman ke tempat sampah, jika tidak dibarengi dengan pengakuan bahwa kita, manusia, memang terbatas … dan sedang berhadapan dengan Dia Yang Tak Terbatas itu. Ia menempatkan kita di persimpangan jalan, yang harus kita pilih. Jalan pertama adalah skeptisisme, yang akhirnya menolak semua nilai iman; jalan kedua adalah iman yang dewasa dan matang. Jalan mana yang Anda pilih, terserah Anda. Tapi, Anda tetap harus memilih. Tomas sudah memilih. Sepuluh murid Yesus lainnya telah memilih.
Jutaan orang Kristen sudah memilih. Dan sekarang … giliran Anda.
O, ya, BTW, soal jumlah bintang di alam semesta. Angka di atas hanya saya reka-reka belaka. Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut, lihatlah situs NASA yang berbicara tentang ini: nasa.gov
[JA]
1 Comment
edi
April 11, 2010 - 11:15 amkeren juga khotbahnya