Ibadah = Kerja Bersama
Pernahkah saudara menyaksikan pertunjukan? Konser atau drama? Dalam pertunjukan itu paling tidak ada tiga peranan yang penting:
- Sutradara; yang merancang jalannya konser atau pertunjukan supaya apa yang ditampilkan itu sesuai dengan alur yang dikehendaki. Ada langkah-langkah, ada arahan-arahan sehingga naskah itu bisa dilakonkan dengan baik.
- Pemain; yang memungkinkan seluruh apa yang dirancangkan oleh si sutradara berjalan dengan baik. “menerjemahkan” apa yang ada di dalam naskah/partitur supaya menjadi sebuah pertunjukan yang indah dan memuaskan. Sebagus apa pun naskahnya kalau tidak bisa diterjemahkan dengan baik, maka tidak akan bisa disampaikan maksud sutradara kepada penonton.
- Penonton; yang menyaksikan konser atau drama itu. Apa jadinya pertunjukan tanpa penonton? Sebagus apa pun naskah drama, secakap apa pun pemain tetapi kalau tanpa penonton, maka akan mubazir sebuah pertunjukan.
Ini yang penting; yang perlu saudara jawab: Menurut saudara, kalau saudara duduk di kursi jemaat: apa peranan saudara? Sebagai sutradarakah? Sebagai pemainkah? Atau sebagai penontonkah?
Coba direnungkan…
Kebanyakan dari kita pasti akan dengan segera menyebutkan diri sebagai penonton. Penonton yang menyaksikan pengkotbah yang menyampaikan Firman Tuhan, Penatua yang memimpin jalannya ibadah, paduan suara/vokal grup/solo yang menyanyikan lagu, dll. Oleh karena itu apa yang terjadi? Kita akan bertepuk tangan setelah paduan suara/vokal grup/solo tampil, menggerutu kalau penatuanya salah baca atau pengkotbahnya kelamaan waktu kotbahnya. Kita jadi tidak menikmati sebuah ibadah. Apalagi kalau kita mendapat tempat yang kurang strategis, panas dan tidak nyaman.
Lalu, kalau bukan sebagai penonton, sebagai apa seorang jemaat itu?
Mari kita melihat peranan berdasarkan arti dasar dari sebuah ibadah: dalam arti umum maka ibadah itu berarti juga sebuah kerja bersama di antara orang-orang yang hadir. Dan itu berarti bahwa dalam sebuah acara semua orang terlibat dalam kerja bersama itu. Semua orang mengambil peranan.
Dalam hal ini jemaat juga ikut serta di dalam liturgi yang dilaksanakan bersama. Jadi, jemaat bukanlah penonton yang menyaksikan “pertunjukan” liturgi yang dilakukan oleh pendeta, penatua, paduan suara/vokalgrup/solo. Jemaat adalah pemain.
Mengapa begitu? Dalam hal ini sutradara adalah orang-orang yang mengatur jalannya sebuah ibadah. Dalam hal ini ada naskah yang dibuat oleh sutradara dalam bentuk liturgi. Dalam liturgi ada tata urutan yang diikuti.
Bukankah saudara ikut berdiri jikalau dalam liturgi ditulis berdiri? Duduk jikalau di liturgi dituliskan duduk? Bersalaman jikalau di liturgi dituliskan bersalaman? Saudara adalah Pemain dalam liturgi itu. Karena itu peranan saudara sangat penting dalam melaksanakan “naskah” liturgi itu, baik dalam hal bernyanyi, berdoa, menanggapi Firman dll. Dalam hal ini pemain yang baik tentulah perlu menghayati peranannya dengan baik. Karena itu perlu:
- Hayati liturgi dengan baik; baca naskah liturgi sebelum ibadah dimulai. Apa peranan saya?
- Pelajari apakah ada lagu atau bagian liturgi yang sulit untuk dilakukan.
- Doakan jalannya ibadah supaya berjalan dengan baik, untuk mendukung para sutradara melaksanakan tugasnya. Kalau saudara berkenan hal ini malahan perlu dilakukan sebelum saudara hadir dalam ruang ibadah.
- Ikuti jalannya ibadah dengan baik.
Tentu saudara bertanya: Kalau saya sebagai pemain, siapa yang menjadi penonton?
Tuhanlah sebagai penonton. Dialah yang menyaksikan persembahan ibadah yang kita lakukan. Baik sebagai sutradara dan pemain dalam ibadah kita. Dia akan tersenyum kalau kita bisa melaksanakan ibadah kita dengan baik. Selamat menjadi pemain yang baik!
Sutradara dan Naskah
Seperti yang sedikit sudah disinggung diatas, maka sutradara adalah orang yang merancang. Apa yang dirancang? Ibadah, yang tujuannya adalah untuk memuji dan memuliakan nama Tuhan. Sutradara adalah yang mengatur dan yang diberikan tugas untuk mengatur para pemain (jemaat) yang berperanan dalam ibadah itu.
Lalu, siapa yang disebut sebagai sutradara? Sutradara dalam sebuah ibadah adalah “pengatur” dalam ibadah itu. Dalam hal ini adalah orang-orang yang mengajak jemaat untuk melakukan sesuatu dalam rangkaian ibadah itu. Yang mengajak menyanyi, bersalaman, berdiri, mengakui iman, dll. Artinya semua yang bertugas dalam ibadah itu. Siapa saja? Pengkotbah, Penatua, organis/pianis/pemain musik, song leader, Paduan Suara/Vokal Grup/Solo/Duet/Trio, dll.
Sutradara perlu mempersiapkan dirinya sehingga ketika “mengatur” jemaat, bisa mengaturnya dengan baik. Paling tidak ia/mereka harus memahami alur dari ibadah. Apa yang akan diatur untuk pemain.
Naskah
Karena itu “naskah” yang merupakan alur sebuah ibadah harus jelas. Dalam liturgi kita memang menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan dalam rangkaian ibadah itu; duduk dan berdiri, dll. Tetapi tentu perlu untuk menjadi jelas, supaya semua orang yang terlibat dalam liturgi itu mampu berperanan dengan baik.
Sama dengan sebuah pertunjukan; kalau sutradaranya baik, pemainnya baik tetapi naskahnya tidak bisa dipahami, bagaimana pemain akan berlakon? Bagaimana penonton akan memahami alur dari ibadah? Memuji atau mencela?
Oleh karena itu “naskah” harus dipersiapkan dengan baik supaya bisa dipahami, dihayati dan dijalankan dengan baik. Naskah yang baik tidak harus ditulis semua hal, yang penting adalah bisa dipahami oleh masing-masing pelaku sehingga ibadah bisa berjalan dengan baik.
Naskah kita adalah Tata Ibadah yang kita lakukan, yang terdiri dari lagu dan berbagai hal yang berkaitan dengan ibadah itu.
Naskah itu–kalau diketik–harus merupakan naskah yang membantu jemaat melakukan pujian dan pemuliaan Tuhan dalam ibadah itu. Lagu yang dipilih harus juga sesuai dan merupakan sebuah rangkaian alur yang mengajak jemaat untuk menghayati sesuatu hal (tema) dalam rangka memuji dan memuliakan Tuhan.
Yang Bisa dilakukan
Kalau demikian, apa yang bisa dan harus dilakukan?
Para sutradara dan naskah yang dibuat harus dipersiapkan dengan baik.
Para sutradara harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya; persiapan diri (pribadi), persiapan menghayati naskah dan berperanan dalam ibadah itu, hadir jauh lebih awal daripada pemain sehingga mampu mengoreksi yang salah atau yang belum dilakukan.
Coba direnungkan…
Bagaimana kalau sutradara tidak mempersiapkan diri dengan baik? Apakah ia/mereka memberikan persembahan dengan baik?
Setiap orang yang berperanan dalam ibadah sudah semestinya merupakan orang yang bersedia untuk bersiap lebih supaya semua berjalan dengan baik.
Mengapa? Karena kita memuji dan memuliakan Tuhan.
2 Comments
Julianto Dj.
April 20, 2010 - 2:02 pmTerima kasih atas tulisan ini. Ada satu pertanyaan: KAPAN kita mulai jadi pemain? Apakah ketika kaki melangkah masuk pintu gereja, atau ketika pewarta mulai membacakan warta lisan, atau ketika pewarta mulai mengajak berdiri dan bernyanyi lagu pembukaan?
Ada banyak sekali jemaat yang baru menjadi pemain ketika diajak bernyanyi lagu pembukaan. Sebelumnya mereka berceloteh sendiri, sms-an, memanggil teman duduk di sampingnya, dan keributan kecil lainnya.
Bagaimana komentar anda? Siapa penulis naskah ini ya?
Heri S
April 28, 2010 - 1:06 amjika ibadah = kerja bersama, ibadah bukan sebuah pertunjukan melainkan kerja yang dilakukan secara bersama-sama. Yang sms-an, berceloteh sendiri, membuat keributan kecil itu karna belun mau kerja bersama. Dalam arti kerja bersama semua yang terlibat dalam ibadah mempunyai peran saling berkaitan dan mendukung satu sama lain, bukan sutradara, pemain atapun penonton.
bagi saya, mari kita mengingat dan merenungkan kembali untuk apa kita ber-ibadah? (tujuan)