Talking the talk without walking the walk, itulah istilah yang tepat untuk orang yang hidup tanpa integritas. Kata-katanya manis, baik, indah, tetapi sayang hidupnya tidak berpadanan dengan apa yang dikatakan (diajarkan). Itulah hidup orang Farisi dan ahli Taurat. Pengajarannya baik dan karena itu patut diikuti, tetapi jangan ikuti perbuatannya (Mat. 23:3). Tetapi mungkinkah? Bukankah perbuatan itu ‘bersuara lebih nyaring’ ketimbang perkataan? Bukankah orang cenderung mengikuti apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita katakan?
Sebaliknya, Paulus menjalani hidup yang berintegritas. Hidupnya siap diuji baik oleh umat maupun oleh Allah, betapa ia belajar hidup saleh, adil dan tak bercacat (1 Tes. 2:10). Untuk mengajar seseorang, menjadi teladan, hidup yang berintegritas seperti Paulus adalah sebuah keharusan. Masalahnya, kadang orang lebih senang pencitraan ketimbang kejujuran. Sebab kejujuran itu kadang terasa pahit, tidak menyenangkan. Karena itu orang yang hidup berintegritas harus siap untuk dimusuhi demi kebenaran. Hidup seperti Yesus yang bisa bermuara pada kayu salib. Siapkah kita?
Hidup yang berintegritas memang sebuah pilihan. Tetapi sebagai anak Tuhan mestinya kita memilih hidup yang berintegritas, seperti Yesus, seperti Paulus. Mungkin untuk sesaat kita bisa tidak disenangi, tetapi percayalah, keteladanan hidup kita akan ‘bersuara nyaring’. Pada akhirnya orang bisa membedakan mana emas, mana loyang. Mana pencitraan dan mana kejujuran. Selamat menjalani hidup yang berintegritas!
rdj
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.