Hati yang Mana

Hati? Hati yang Mana?

Belum ada komentar 51 Views

Terkadang pertanyaannya bagi saya bukanlah apakah saya berkarya dengan hati, melainkan apakah saya tahu di mana hati saya berada.

Sekitar dua tahun lalu saya mengambil keputusan penting dalam karir saya, yakni meninggalkan dunia desain dan memfokuskan diri di musik. Bermain biola adalah sesuatu yang saya cintai sejak kecil, bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Memang saya memutuskan untuk mempelajari desain grafis di universitas, tetapi ketika saya bekerja sebagai desainer, hati saya melolong dan meronta, ingin kembali ke dunia musik. Beberapa teman saya bahkan menanggapi ‘deklarasi musisi’ saya dengan senyum sambil berkata, “Gua udah tahu dari dulu lu bakal jadi musisi.”

Meskipun bermain musik sudah menjadi bagian dari hidup saya sejak kecil, tidak pernah terbesit bahwa itu akan menjadi profesi pokok, padahal saya sudah mengajar biola sejak SMU. Mungkin ada suatu anggapan di kepala saya bahwa bekerja itu berarti pergi ke kantor. Tidak terbayang bahwa saya akan menikmati kehidupan musisi yang fleksibel. Berangkat ke sekolah musik, tidak terikat dengan nine to five, mengerjakan sesuatu yang pencapaiannya abstrak.

Tentulah di awal menjalani ‘kehidupan baru’, saya tidak mampu serta merta melepaskan dunia desain yang sudah saya geluti selama empat tahun. Ketika bertemu dengan seorang teman dan berbincang mengenai profesi, ia mengatakan bahwa ia menyangka saya sudah memiliki keyakinan untuk bergelut di musik sejak dulu. Saya menjawab, tidak sama sekali. Bahkan ketika keputusan itu sudah diambil pun, rasanya saya tetap seperti sebelumnya: Kaki kanan memijak di dunia desain, kaki kiri di dunia musik.

Pernahkah Anda membaca bahwa orang yang mendua hati tidak akan mencapai apapun dalam hidupnya? Pada awalnya saya tidak memercayai perkataan tersebut. Bagi saya, jika saya memiliki skill dan bisa membagi waktu, semestinya semuanya akan terus maju dan berkembang. Toh Tuhan sudah memberikan banyak talenta, mengapa saya harus memilih satu?

Akan tetapi semuanya sangat melelahkan. Pagi hari, yang seharusnya saya gunakan untuk berlatih biola sebelum mengajar, malah saya gunakan untuk mengerjakan proyek desain. Malam hari, yang seharusnya saya gunakan untuk beristirahat, juga saya gunakan untuk mengerjakan desain. Ketika deadline datang, hati saya makin terbagi, kepala saya berputar dalam kebingungan. Klien tidak pernah mengerti kewajiban-kewajiban lain desainernya, yang penting pekerjaan harus selesai, tidak peduli sampai jam berapa. Murid pun tidak bisa dibatalkan seenaknya. Bisa-bisa kredibilitas saya sebagai guru hancur, begitu juga kredibilitas sekolah musik tempat saya bekerja.

Akhirnya saya menyerah. Memang benar, orang yang mendua hati tidak pernah mencapai sesuatu. Meskipun semua pekerjaan selesai dengan ‘memadai’ (tenaga saya tidak pernah cukup untuk mengerjakan sesuatu sampai ke tahap ‘luar biasa’), saya tidak merasakan suatu keberhasilan. Hanya ada kelelahan dan kebingungan, rasanya saya tidak tahu hati saya ada di mana. Ketika hati terbagi, pikiran dan usaha tentu juga terbagi, akhirnya semuanya malah setengah-setengah. Entah bagaimana Tompi bisa berakrobat antara dunia tarik suara dan kedokteran.

Sebenarnya hati saya ada di mana? Sebenarnya saya maunya apa? Jujur, sampai saat itu saya tidak pernah yakin. Saya tidak mau menanggung konsekuensi jika harus memilih satu bidang dan meninggalkan yang lain. Bisa dibilang saya tidak mau rugi.

Impian saya adalah menjadi seperti Leonardo da Vinci, seorang manusia Renaisans tulen: menggeluti seni, ilmu pasti, arsitektur dan teknik mesin pada saat yang bersamaan. Tetapi impian hanyalah impian. Tentu saja saya bukan Leonardo da Vinci! Saya bahkan tidak masuk kategori jenius atau child prodigy. Siapa sih yang masih bisa seperti itu di era seperti sekarang?

Akhirnya, saya berdamai dengan kenyataan. Meskipun saya bisa melakukan banyak hal, bukan berarti saya mampu melakukan semuanya sekaligus. Kepala saya tidak seperti harddisk yang bisa diberikan partisi. Kepala saya hanya satu, hati saya hanya satu, badan saya juga hanya satu, memang begitulah adanya.

Lucunya, saya bukannya menemukan di mana hati saya berada, saya malah memutuskan di mana ia harus berada. Dengan mantap saya melangkah untuk bergelut di musik sebagai seorang profesional. Seorang profesional yang serius dan terfokus, bukan seorang yang bekerja dengan kualitas ‘rata-rata’ karena tidak cukup dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Dunia desain tetap menjadi suatu hobi dan skill, tetapi hati, pikiran dan tenaga saya hampir tidak ada lagi di situ.

Sudah setahun berlalu sejak keputusan itu. Makin hari saya semakin tenang dan bahagia dalam bekerja. Pagi hari saya pergunakan untuk berlatih sendiri, menajamkan kemampuan bermain biola agar tidak memalukan diri sendiri di depan murid, siang hingga sore saya mengajar, malam hari saya mengevaluasi diri dan beristirahat. Sungguh, rasanya hidup menjadi lebih seimbang dan mantap. Untuk pertama kalinya, kedua kaki saya berpijak di dunia yang sama.

Jangan salah, berkali-kali saya tergoda untuk melihat ke belakang, seperti istri Lot. Beruntunglah saya tidak menjadi tiang garam yang membeku sehingga tidak bisa maju ke depan lagi. Setiap kali saya tergoda untuk merasa tidak puas dan kembali galau dengan pilihan hidup, saya kembali berlutut dan berdoa. Pertama-tama untuk minta ampun atas kelemahan saya, selanjutnya untuk meminta kekuatan. Syukurlah, Tuhan tidak pernah lalai menjawab.

[Karina Soerjodibroto]

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Sudut Hidup
  • Aku mencari wajah-mu, Tuhan…
    Kesaksian Dapot Parulian Pandjaitan
    Berharga di mata Tuhan (kematian) semua orang yang dikasihi-Nya (Mazmur 116:15) Oops… Kematian? Suatu kata yang sering dihindari orang...
  • Kasih-Nya Mengalir
    Namanya Helen Jayanti, biasa dipanggil Helen. Saat ini sedang menjalani Praktek Jemaat 1 di GKI Pondok Indah. Lulusan dari...
  • Jalan Pagi Lagi di Antara Jiwa-Jiwa
    perjumpaan dengan inspirasi kehidupan lain yang juga mendatangkan syukur
    Upaya Menjaga Kebugaran Sungguh tak mudah memulai kembali sebuah rutinitas, terutama yang menyangkut fisik, apalagi kalau memang pada dasarnya...
  • Jalan Pagi di Antara Jiwa-Jiwa
    Perjumpaan-perjumpaan yang menginspirasi kehidupan dan mendatangkan syukur.
    Jalan Pagi Untuk menjaga kondisi dan kesehatan jasmani di masa yang menekan ini sehingga tidak banyak aktivitas yang bisa...
  • In-Memoriam: Pdt. (Em.) Timotius Setiawan Iskandar
    Bapak bagi banyak anak yang membutuhkan kasih: yang kukenal dan kukenang
    Mencari Tempat Kos Setelah memutuskan untuk mengambil kuliah Magister Manajemen pada kelas Eksekutif (kuliah pada hari Sabtu-Minggu) di Universitas...