Ketika saya mencoba memikirkan kalimat awal yang bisa dipakai untuk membuka tulisan singkat saya tentang arti dan makna gender ini, saya teringat (lebih tepat lagi, terusik) oleh salah satu episode sebuah film drama dari Cina yang sampai saat ini masih ditayangkan di sebuah stasiun TV swasta jam 15.00, yang berjudul “Ya Chi (si gadis bisu)”.
Diceritakan bahwa ada seorang gadis bisu yang cantik, baik hati, selalu peduli dan berkorban bagi orang lain tanpa memikirkan dirinya sendiri. Gadis ini kemudian menikah dengan seorang pemuda yang berpendidikan, baik hati dan berasal dari keluarga terhormat. Pasangan ini saling mencintai dan cukup berbahagia. Mereka kemudian dikaruniai seorang putri. Ketika sang ibu hamil lagi, semua keluarga menyambutnya dengan penuh sukacita.
Tetapi… sang ibu harus kehilangan bayi yang baru dikandung empat bulan itu karena tendangan kaki adik ipar ketika sedang berkelahi dengan suaminya yang berusaha ia lerai. Semua bersedih dan menyesali kejadian tersebut, apalagi ketika semua tahu bahwa bayi yang dikandung tersebut adalah seorang bayi laki-laki, harapan dan penerus marga. Di tengah-tengah penderitaannya, sang ibu bersama keluarga kemudian menyadari bahwa putri pertama juga bisu dan tuli. Sang suami kemudian menjauhkan dirinya dan tidur terpisah dengan sang Istri karena takut anak mereka berikutnya juga cacat.
Di tengah-tengah penderitaannya sebagai seorang Ibu, yang bukan hanya kehilangan anak laki-laki, tetapi juga mempunyai putri yang cacat, dijauhi suami, bahkan disalahkan oleh mertua karena dianggap tindakannyalah yang mengakibatkan ia kehilangan ‘penerus marga’, ia juga harus menerima kenyataan bahwa mertua berusaha mencari selir buat suaminya agar ‘penerus marga’ (yang tentu saja harus laki-laki) dapat mereka miliki. Sungguh menyedihkan (walaupun akhir cerita belum saya ketahui).
Lebih menyedihkan dan membuat saya sangat terusik lagi dalam episode itu ada kalimat yang berisi: perempuan yang tidak bisa memberi keturunan (laki-laki) adalah perempuan yang tidak sempurna, memegang pena bukan pekerjaan perempuan, perempuan yang baik dan sempurna adalah ketika mereka melakukan pekerjaan memasak, menjahit, melayani suami, dan merias diri. Sungguh menyedihkan dan menjengkelkan mendengar isi percakapan tersebut.
Kalau mendengar atau melihat film ini sembari berkaca pada kehidupan sehari-hari, pertanyaannya adalah apakah kondisi-kondisi tersebut bisa dikaitkan dengan masalah gender atau sekedar masalah seks (jenis kelamin) yang berbeda yang menandakan kodratnya harus demikian. Toh………selama ini bahkan mungkin sampai saat ini, ketika kita mendengar istilah gender selalu kita kaitkan dengan masalah seks (jenis kelamin)? Lalu, apa sih gender itu?
Pertama-tama kita perlu memahami arti dan makna kata seks dan gender. Seks atau jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang secara biologis melekat pada manusia (anatomi, hormon, fisiologis). Misalnya, manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat biologis ini melekat selamanya dalam diri laki-laki dan perempuan. Alat-alat ini tidak bisa dipertukarkan dan secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau kodrat dari Tuhan.
Sementara, gender adalah suatu sifat atau seperangkat peran yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, psikologis maupun kultural. Sifat atau seperangkat peran ini seperti halnya kostum dan topeng di teater yang menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Misalnya, perempuan itu lembut, cantik, dan emosional. Sedangkan laki-laki; kuat, rasional, jantan dan perkasa. Perangkat perilaku khusus ini (penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga, dsb.) secara bersama-sama memoles peran gender kita. Ciri dan sifat ini dapat dipertukarkan. Artinya, bisa saja laki-laki itu emosional, lembut, sementara ada perempuan yang kuat dan perkasa.
Perbedaan gender (gender differences) ini kemudian dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial-kultural sehingga seolah-olah tidak bisa diubah. Perbedaan gender ini tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Kenyataannya saat ini perbedaan gender ini justru banyak yang menjadikan perempuan dan laki-laki menjadi korban.
Ketidakadilan gender yang bisa kita temukan di sekitar kita, misalnya: anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga ia tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi tidak penting; perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi toh akhirnya akan ke dapur juga; tugas perempuan adalah melayani suami sehingga ketika perempuan tidak mampu melakukan hal tersebut, ia dianggap tidak sempurna dan wajar kalau ia disakiti; Masalah ketidakadilan gender juga dapat dilihat ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan perempuan dan anak-anak menjadi korban karena mereka digolongkan sebagai kaum yang lemah dan tidak berdaya.
Masalah ini juga tampak ketika pekerjaan rumah tangga, yang lebih sering dilihat sebagai bagian perempuan, dianggap lebih rendah dibandingkan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki (apapun jenis pekerjaan tersebut) sehingga mereka yang bekerja di rumah tangga dianggap tidak produktif; dan lain-lain. Dari contoh kasus yang sudah disebutkan di atas termasuk kasus-kasus lain yang terus berlangsung setiap saat, kita bisa melihat bahwa ketidakadilan gender telah mengakar mulai dari lingkungan keluarga, pekerjaan, masyarakat, bahkan di gereja dan juga termasuk keyakinan diri sendiri yang salah menafsirkan arti dan makna gender itu sendiri.
Dengan demikian memahami makna gender dan memperjuangkan keadilan gender bukan merupakan masalah yang sederhana. Oleh sebab itu pemecahan masalah gender perlu dilakukan secara serentak dan sedini mungkin. Dan gender sebagai bagian dari sebuah komunitas, tidak terlepas juga dari masalah ketidakadilan gender dan pemecahan yang perlu segera dilakukan. Yang pasti sebelum langkah pemecahan dirumuskan, jemaat perlu dibekali dengan pembinaan-pembinaan, pelatihan, lokakarya, dll. yang semuanya merangsang pengetahuan jemaat tentang arti dan makna gender, merumuskan ketidakadilan-ketidakadilan yang ada di lingkungan gereja, masyarakat dan keluarga.
Sekarang, kita sebagai warga jemaat, bagaimana kita dapat melihat dan memahami adakah masalah gender dalam gereja kita? Beberapa pertanyaan dapat menolong kita untuk melihat sejauh mana gereja kita sudah sadar gender: di manakah tempat perempuan dan pemuda/i dalam struktur pemerintahan gereja? Keputusan-keputusan
apa yang dihasilkan yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan perempuan, pemuda/i, dan anak-anak? Adakah program-program yang sensitif terhadap kebutuhan perempuan dan laki-laki secara seimbang dan adil? Bagaimanakah komposisi pendeta dan pekerja perempuan dan laki-laki? Apakah semua pendeta jemaat laki-laki? Mengapa? Dst..dst.
Pertanyaan-pertanyaan ini akan cukup menolong untuk menggugah kesadaran kita bahwa mempertanyakan soal gender berarti juga memperta-nyakan soal hak dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki secara setara dan adil, sehingga gereja kita dapat menjadi gereja yang bersikap arif dan adil terhadap perempuan dan laki-laki dalam setiap segi pelayanannya. Ini berarti berbicara tentang gender tidak lain selain berbicara tentang keadilan dan kesetaraan yang harus dialami perempuan dan laki-laki dari latar belakang apapun mereka.
Novy A. E. Sine, STh.
Kepustakaan:
Ì Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Ì _________________, Menggeser Konsepsi Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)
Ì Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993)
Ì Kristen A. Myers, Cynthia D. Anderson, Barbara J. Risman, ed. Feminist Foundations Toward Transforming Sociology (Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publication, 1998)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.