Perkenalan saya dengan Frida Wahyuningsih terjadi 26 tahun lalu, ketika kami sama-sama duduk di bangku SMA. Masih jelas kesan pertama yang terbersit di ingatan saya dan tidak berubah hingga Frida tutup usia: Ia perempuan mandiri yang berdedikasi tinggi, mungkin karena ia anak tertua dari 3 bersaudara yang semuanya perempuan, sehingga membuatnya jauh dari kata manja. Walau saya tidak pernah satu kelas dengannya, tapi karena kami sama-sama menjadi pengurus OSIS selama SMA, kami sering terlibat dalam kegiatan di luar kelas. Hal lain yang membuat saya dekat adalah karena sejak kelas 1 SMA Frida berpacaran dengan sahabat saya sejak SD, yaitu Steven Ananta. Kedua sejoli ini selalu menjadi pasangan saat lomba Kartini di masa SMA dan tidak pernah terpisahkan hingga hari Frida dipanggil pulang ke rumah Bapa.
“Mandiri” adalah kata pertama yang terlintas di benak saya ketika harus mendeskripsikan Frida Wahyuningsih. Contoh sederhana yang masih saya ingat betul adalah ketika dia selalu mampu menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya di OSIS dengan kemampuannya sendiri, dan jika harus berkegiatan di luar sekolah, ia akan segera menyelesaikannya dengan menaiki motornya. Ia tidak pernah mengeluh harus diboncengkan atau menunggu kawan untuk menemaninya, tapi segera menyelesaikan tugasnya. Hal ini pun berlanjut ketika ia kuliah di UNIKA Semarang. Ia berangkat kuliah dengan motor kesayangannya walau jarak yang harus ditempuh tidaklah dekat dan medannya menanjak. Saya kerap kali mendengar bahwa Frida bukan hanya berangkat sendiri, melainkan juga menyediakan diri untuk memboncengkan temannya untuk berangkat kuliah. Sifat kemandirian ini terus berlanjut di kehidupan pernikahannya. Saat masih menjadi pengantin baru dan direpotkan dengan memiliki anak, ia mampu menyelesaikannya tanpa bantuan asisten rumah tangga. Posisinya sebagai anak sulung mungkin mendorongnya untuk memberikan contoh kepada adik-adiknya agar menjadi perempuan yang mandiri dan tangguh.
“Rapi” adalah kata kedua yang terlintas ketika saya mengingat Frida. Walau kami tidak satu kelas, tapi saya tahu betul bahwa ketika saya harus meminjam catatan pelajaran sekolah, bantuannya selalu dapat diandalkan. Frida mencatat semua percakapan guru dengan lengkap dan terorganisasi. Sifat rapi dan teratur ini tidak pernah berubah ketika ia mendampingi Steven sebagai istri. Frida adalah pendamping hidup yang pas untuk Steven. Suaminya tahu betul bahwa Frida akan membantu merapikan dan mengelola rumah tangganya sehingga ia bisa fokus dalam dunia musik yang digelutinya. Sifat ini pun tampak nyata dari tatanan tanaman yang akhir-akhir ini menjadi hobinya. Dengan jeli dan tekun ia mengatur dan menata hobi tanaman hias di depan rumahnya.
Sebuah peristiwa yang sangat berkesan darinya adalah kepindahan rumah tangganya dari Semarang ke Jakarta. Saya kagum karena Frida, dengan segala kemandirian dan kemampuannya, menyadari bahwa kodratnya sebagai istri dan perempuan adalah mendampingi dan mendukung suami sebagai kepala keluarga. Saat itu karier Frida sebetulnya sudah mulai mapan dan nyaman sebagai kepala sekolah TK sekolah swasta favorit di Semarang. Steven, di lain pihak, masih berusaha menapak kariernya, dan tawaran itu didapatkannya di luar kota, yaitu Jakarta. Teringat jelas pergumulan Frida saat harus bersiap pindah ke Jakarta, saat semuanya sudah tampak mapan dan pasangan ini menantikan kelahiran buah hati mereka yang ketiga. Frida sempat menelepon saya dan bercerita tentang tantangan yang akan dihadapinya, tapi ia percaya bahwa Tuhan akan memberi kemampuan kepadanya, karena ia yakin bahwa kodrat seorang istri tetap harus mendukung karier suami. Tiga bulan setelah Nicholas lahir, mereka pindah ke Jakarta. Frida melepaskan kariernya untuk benar benar menjalani tugasnya sebagai istri dan juga ibu bagi ketiga buah hatinya. Pindah dari sebuah rumah yang luas ke sebuah pastori kecil tidak pernah mematahkan semangat dan tekadnya untuk menjadi pendukung karier suaminya. Seorang kawan SMA yang pernah datang berkunjung saat awal mereka pindah di Jakarta, sangat kagum pada perjuangan rumah tangga ini yang percaya pada rencana Tuhan untuk memulai sesuatu yang benar-benar baru di Ibukota negara ini.
Sejak pindah ke Jakarta, komunikasi kami tidak seperti sediakala, tapi hanya melalui media sosial dan elektronik. Saya melihat sendiri bahwa sosok Frida, yang setia mendampingi Steven, bisa juga bergaul dan diterima di jemaat GKI Pondok Indah. Steven berkarier di bidang musik, dan Frida secara aktif terlibat dalam kehidupan jemaat GKI PI. Ia ikut dalam berbagai kegiatan gerejawi dan mengambil peran secara aktif. Frida adalah pendengar yang baik, yang bukan hanya mengandalkan telinga, melainkan juga membuka hati kepada setiap orang yang datang berkeluh kesah dan menceritakan masalahnya. Tidak salah jika kedua orangtuanya memberi nama FRIDA kepadanya, yang berarti pendamai, karena di kehidupan bermasyarakat, baik di lingkungan teman-teman SMA maupun di lingkungan kerjanya dulu, Frida si PENDENGAR ini menjadi pendamai, penyejuk dan perekat di antara kami.
Hari Kamis 15 Juli 2021, saat sang Khalik memanggilnya pulang ke haribaan-Nya, rasa duka yang mendalam tidak saja dirasakan keluarga yang ditinggalkannya. Hari itu ponsel saya terus berdering menanyakan keabsahan berita berpulangnya Frida di Jakarta, dan ketika berita itu terkonfirmasi, kami semua turut menangis beserta dengan keluarga. Saya percaya bahwa air mata yang mengalir saat kita mendengar berita kematiannya menunjukkan kadar kebaikan hati Frida. Ia telah menyentuh kehidupan begitu banyak orang, sehingga banyak sekali yang berduka. Emotikon menangis menghiasi semua percakapan WA Group dan postingan kami semua pada hari tersebut. Kepulangannya ke rumah Bapa di surga juga menyadarkan kami bahwa hidup adalah anugerah Tuhan yang sungguh indah.
Saat ini Frida sudah menyelesaikan tugasnya di dunia. Ia sudah memberikan teladan untuk hidup MANDIRI, RAPI dan menjadi PENDENGAR yang baik bagi keluarga serta semua orang yang mengenalnya. Terima kasih Frida, untuk teladan hidupmu sebagai perempuan tangguh yang tunduk pada perintah-Nya dan pada kodratmu sebagai istri yang mendukung karier suaminya. Kami semua akan terus mengingat semua nilai yang sudah kauteladankan dan berusaha menjalankannya sebagai bentuk penghormatan kami kepadamu. Semoga ketiga buah hatimu tetap bisa merasakan kehadiranmu melalui nilai-nilai hidup yang sudah kauajarkan kepada kami semua. Selamat jalan kawanku FRIDA WAHYUNINGSIH, perempuan pembawa damai yang menyebarkan WAHYU Tuhan. Kami kehilangan, tapi tak akan melupakanmu. •
|NATHANIEL ADIATMADJA
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.