Komisi Perlawatan yang ada di beberapa gereja di Indonesia, biasanya membentuk beberapa tim warga jemaat yang bersedia meluangkan waktu untuk menjenguk sesama warga jemaat yang sedang sakit. Maksud dan tujuan dari kunjungan ini sangat mulia dan baik, karena berusaha membantu meringankan penderitaan yang dialami oleh si sakit. Namun sering kali kata “sakit” di sini lebih merujuk kepada orang yang menderita secara fisik, yang memang lebih mudah diketahui dibandingkan dengan “sakit secara psikologis”.
Lalu, berapa jumlah orang yang ideal dalam tim perlawatan? Apakah ada etika saat mengunjungi pasien?
Mari kita lihat apa arti dari perlawatan itu sendiri. ‘Perlawatan’ adalah perihal seseorang yang berkunjung ke suatu tempat. Sedangkan kata ‘pelawat’ sendiri adalah orang yang melakukan kunjungan tersebut. Jadi sebenarnya pada saat seseorang melakukan kunjungan ke tempat saudara, teman, atau ke kota lain, maka ia adalah pelawat. Dalam tulisan ini kata ‘pelawat’ lebih dikhususkan pada orang yang melawat orang lain yang membutuhkan kekuatan tambahan, untuk meringankan beban mental yang dihadapinya. Jadi dengan kata lain, perlawatan adalah suatu tugas yang sangat menarik, luar biasa dan mulia.
Penulis mengartikan Tim Perlawatan itu sebagai “Tim pembawa sukacita”. Sangat luar biasa bukan? Jadi para pelawat seharusnya meninggalkan sukacita kepada para pasien yang dilawat ketika mereka pulang.
Lalu, apakah ada aturan atau etika dalam mengunjungi pasien? Dan bagaimana pula dengan psikologi pasien? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘etika’ adalah ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang baik dan yang buruk, yaitu hak dan kewajiban moral kita sebagai manusia. Sedangkan ‘psikologi’ adalah ilmu yang mendalami perilaku dan proses mental seseorang. Jadi, adakah etika dalam pelawatan? Jelas ada, karena di mana pun kita berada dalam hidup ini, pastilah ada etika yang berlaku di lingkungan tersebut yang harus kita patuhi.
Untuk mencapai hasil yang memuaskan, ada tiga hal penting yang patut menjadi perhatian kita:
Apa tujuan atau maksud dari perlawatan ini? Hal ini harus ditetapkan dengan jelas, sehingga apa yang diharapkan dapatlah terlaksana dengan baik.
Ada 3-S => Siapa? Sebab? Solusi? yang juga harus kita tetapkan terlebih dahulu:
Siapa yang dikunjungi?
Ini harus diketahui oleh tim perlawatan: siapa yang sakit dan sakitnya apa? Fisik atau psikologis? Di atas sudah disinggung mengenai kata “sakit”. Memang yang lebih kentara adalah sakit secara fisik. Namun sering kali tidak disadari oleh para pelawat bahwa ada lagi ‘pasien-pasien’ lain di tempat perlawatan itu, yaitu anggota keluarga dari si sakit yang dengan setia menunggu dan menjaganya. Sebenarnya mereka juga secara psikologis membutuhkan penghiburan dan sukacita. Mereka juga memerlukan perlawatan.
Sebab: apa yang menyebabkan penyakit yang diderita si pasien?
Setidaknya tim pelawat perlu terlebih dahulu mencari tahu penyebabnya. Walaupun hanya sedikit informasi yang diperoleh, itu sudah cukup membantu. Hindari bertanya langsung kepada pasien. Bayangkan, berapa kali ia harus bercerita ulang tentang penyakitnya, apabila setiap orang yang berkunjung menanyakan hal itu. Tapi jika ia ingin menceritakannya, dengarkanlah dengan penuh perhatian.
Solusi: sebaiknya tim pelawat memahami apakah ia membutuhkan solusi. Solusi seperti apa?
Sebelumnya mari kita lihat beberapa pernyataan dan pertanyaan di bawah ini:
- Apakah pasien kurang berdoa?
- Apakah pasien punya banyak dosa, sehingga jatuh sakit?
- Apakah kurang beriman?
Melalui survei lapangan, penulis mencatat bahwa sebagian besar pasien memiliki iman yang kuat, dan mereka selalu berdoa serta bersyukur kepada Tuhan.
Lalu siapa yang bisa mengukur banyak tidaknya dosa kita?
Yang juga perlu kita ketahui bersama, para pasien ini sudah cukup mendapatkan penguatan secara teologis dari para pendeta yang mengunjungi mereka.
Lalu apa sebaiknya solusi dari para pelawat?
Alangkah bijaksananya apabila tim pelawat, ketika mengunjungi orang yang sakit, mencoba bercakap-cakap dengannya tentang hal-hal menyenangkan yang pernah dialaminya, seperti: “Apakah Anda masih ingat pengalaman-pengalaman yang paling menyenangkan?” Dan ada banyak sekali pertanyaan-pertanyaan serupa yang dapat memberi semangat kepadanya.
Ada beberapa respons psikologis yang sering muncul tanpa sadar pada diri para pelawat ketika mereka berkunjung, seperti: rasa kasihan, empati, dan simpati.
Mari kita lihat, apa perbedaan dari ketiga respons psikologis ini.
Sebagai contoh, jika kita sedang berkendara di jalan dan melihat seorang anak kecil tertidur di emperan, tanpa kita sadari sering kali terlintas dalam benak kita atau keluar dari mulut kita: “Kasihan, ya.” Jadi, kasihan adalah suatu perasaan yang muncul seketika.
Setelah kita melewati anak kecil tadi, biasanya kita sudah melupakannya.
Sedangkan empati adalah jika kita mengalami perasaan yang sama dengan orang lain, dengan melibatkan perasaan mental seseorang. Sebagai contoh, ketika kita mendengarkan cerita seseorang yang sangat menyedihkan, tanpa kita sadari kita meneteskan air mata.
Terakhir simpati. Simpati melibatkan perasaan seseorang seperti senang, sedih, atau yang lainnya, namun tidak melibatkan kita secara mental. Contohnya, ketika kita mendengar ada korban bencana alam di suatu tempat dan kita tergerak untuk mengumpulkan barang-barang layak pakai atau materi, lalu memberikannya kepada mereka.
Jadi respons manakah yang sering muncul pada para pelawat ketika melakukan perlawatan?
Karena kunjungan perlawatan adalah untuk menghibur dan memberikan sukacita kepada si pasien dan anggota keluarganya, maka fokuskanlah pembicaraan kita pada tujuan ini. Hindarilah bercakap-cakap antar sesama pelawat. Sebaiknya kunjungan dilakukan secara bertahap oleh beberapa pelawat, artinya tidak datang sekaligus beramai-ramai, tetapi pada hari-hari yang berbeda. Ada baiknya kita mengikuti teladan Tuhan Yesus yang mengutus para murid berdua-dua untuk melakukan pekerjaan pelayanan mereka. Lihat Markus 6:7, ketika Ia memanggil kedua belas murid itu dan mengutus mereka berdua dua.
Memang tidak mudah memahami perasaan seseorang, terutama ketika kita hanya bertemu beberapa saat dengannya. Dibutuhkan keterampilan khusus untuk bisa menganalisa bahasa tubuhnya, sehingga bisa memberikan respons yang sesuai. Tetapi ini bisa dipelajari. Tentunya kita perlu juga mempelajari bahasa tubuh para pendamping si pasien, yang mungkin sedang dalam kondisi sakit secara psikologis.
Mari kita lakukan kunjungan berikut dengan lebih peka terhadap kebutuhan dan kondisi kejiwaan si pasien dan anggota keluarga, lebih mempersiapkan diri dengan informasi tentang orang yang akan dikunjungi, sehingga kita tidak perlu bertanya-tanya lagi kepadanya atau kepada anggota keluarga yang mendampinginya. Biarkanlah dia bercerita tentang penyakitnya apabila ia sendiri menghendakinya, dan dengarkanlah dengan penuh perhatian dan tanpa menyela.
Tunjukkan simpati kita kepadanya, juga kepada anggota keluarganya. Ajak si pasien untuk bersukacita, mengenang hal-hal menyenangkan yang telah dialaminya, atau membawakan sesuatu yang bisa menyenangkan hatinya, seperti makanan/minuman kesukaannya.
Kiranya dengan demikian Komisi Perlawatan akan sering ditelepon oleh para pasien yang mengharapkan kunjungan mereka. Tuhan Yesus memberkati pelayanan Anda!
Dr. Neil Aldrin, M.Psi., Psikolog
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.