Ini adalah ringkasan dari tulisan dengan judul “Masalah Emisi Gas Rumah Kaca,” yang dibuat pada tanggal 14 April 2010, jadi merupakan sumbangan pikiran dalam rangka Bulan Peduli Lingkungan, Jemaat GKI Pondok Indah.
Presiden Suharto telah menghadiri United Nations Framework Convention on Climate Change 1992 di Rio de Janeiro, yang diratifikasi dengan UU No. 6/1997, sedang ratifikasi Kyoto Protocol (KP) 1997 dilakukan dengan UU No. 17/2004. Dengan demikian, UNFCCC/KP menjadi bagian hukum positif Indonesia. Jadi sebagai negara hukum, Indonesia wajib menaatinya, agar melindungi ekologinya dari pencemaran dan pengrusakan karena perbuatan manusia, sehingga keutuhan ciptaan dapat terjamin, demi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam hal ini hukum tertinggi, yakni UUD, dalam Pasal 33 ayat 2 menyatakan, bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ungkapan dikuasai oleh negara, berarti negara sebagai regulator (bukan pemilik), dengan tugas, antara lain, melalui manajemen hutan Indonesia. Boleh saja membuka hutan untuk perkebunan kelapa sawit, asal dengan memperhatikan UNFCCC/KP dan penjabarannya dalam hukum positif Indonesia.
Jemaat GKI Pondok Indah melalui Bulan Peduli Lingkungan telah mendukung program pemerintah, yang dimulai dengan seruan mimbar melalui khotbah. Dapat dikatakan, itulah makna teologi lingkungan untuk memelihara keutuhan ciptaan Tuhan, dan ternyata mendapat sambutan positif jemaat.
Carbon Foot Print (CFP)
Semua orang sadar bahwa hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia, karena melepaskan oksigen (O2) ke udara dan serentak dengan itu mengikat CO2. Tetapi penebangan dan pembakaran hutan justru melepaskan CO2 ke angkasa luas, sehingga menipiskan lapisan ozon, dan menyebabkan pemanasan global dan merusak iklim, yang pada gilirannya mengakibatkan banjir dan kebakaran, seperti yang dialami dunia belakangan ini.
Keanekaragaman hayati (biodiversity) yang rusak karena penebangan hutan, menyebabkan kerusakan lingkungan hidup orangutan, gajah, babi hutan dan kalong. Hewan-hewan inilah penjaga kelestarian hutan dengan menyebarkan biji-bijian dari buah yang dimakannya, tetapi manusia merusak habitat itu, dan yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa suku-suku tradisional yang hidupnya sangat bergantung dari keutuhan hutan juga dikorbankan, sungguh pun hak mereka dilindungi oleh United Nations Declaration on the Rights on Indigenous Peoples, yang sudah dicakup dalam UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sungguh pun Indonesia belum diratifikasi UN Declaration tersebut.
Sangat disadari, bahwa Revolusi Industri di pertengahan abad ke-18, yang dimulai dengan penemuan dan penggunaan mesin yang digerakkan tenaga uap, sangat bergantung pada penggunaan bahan bakar fosil, yakni batubara.
Penggunaan batubara mengakibatkan emisi bergiga-giga ton Gas Rumah Kaca (GRK) ke udara, di antaranya CO2. Hal itu diperparah kemudian dengan penggunaan bahan bakar fosil lainnya, yakni minyak bumi. Dengan demikian, saudara kembar bahan bakar fosil, yakni batubara dan minyak bumi, digunakan kelompok negara-negara industri. Kelompok itu dikenal dalam UNFCCC/KP sebagai negara-negara Annex I, yang dianggap bersalah dan dinyatakan sebagai penyebab utama pemanasan global, melalui emisi GRK. Ternyata gas CO2 itu tetap di udara selama seratus tahun.
Terdapat daftar yang diumumkan UNFCCC/KP tentang besarnya CFP masing-masing negara Annex I. Oleh karena itu, secara hukum mereka bertanggungjawab atas emisi GRK selama ini. Sesuai daftar CFP tersebut, maka dinyatakan Amerika Serikat sebagai The Worst Polluter, namun tidak mau menandatangani Kyoto Protocol, sehingga tidak terikat kewajiban memperkecil CFP-nya, dengan alasan mengganggu ekonominya. Peringkat USA kini direbut Republik Rakyat Tiongkok (RRT), karena derasnya kemajuan ekonominya. Jadi terdapat suatu hubungan kausal antara CFP, yakni emisi GRK ke udara dan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Sekarang, The Worst Polluter RRT, dan USA: Second Worst Polluter. Namun, anehnya, dalam peringkat CFP posisi Indonesia: Third Worst Polluter. Jadi dalam ekuasi itu, posisi peringkat ketiga ekonomi dunia. Tetapi mengapa tidak demikian? Ternyata, peringkat ketiga dunia yang diperoleh Indonesia, justru karena bersalah menebang dan membakar hutan, yang mengakibatkan derasnya emisi gas rumah kaca (GRK) ke angkasa. Akibatnya, turut menyebabkan peningkatan pemanasan global. Tetapi, berbeda dengan RRT dan USA, ekonomi Indonesia tidak memperoleh manfaat apa pun. Jadi suatu mismanagement lokal yang berdampak global. Sungguh pun tidak ada komitmen, seperti kelompok Annex I, tetapi Indonesia harus berupaya menurunkan CFP melalui mitigasi emisi GRK-nya. Dalam ini, sesuai UNFCCC/KP Indonesia dihimbau memperkecil CFP, dengan menurunkan emisi GRK, dan kita bangga bahwa proses itu telah dimulai di jemaat GKI PI melalui Bulan Peduli Lingkungan. Tentu ada kelanjutannya, tetapi yang penting sudah ada apresiasi jemaat, seperti dilaporkan Panitia dalam Warta Jemaat, 29 Mei 2011, halaman 24.
Usaha Penurunan Emisi GRK
Mungkin karena posisi Indonesia di peringkat ketiga emisi GRK, sesuai UN FAO Report 2000, maka diadakanlah Conference of Parties (COP) UNFCCC ke-13 di Denpasar, Bali, pada bulan Desember 2007, yang diikuti sekitar sepuluh ribu pengunjung. Menteri Lingkungan Hidup RI menjadi Ketua COP UNFCCC tersebut, dan dianggap berhasil karena merumuskan Bali Road Map, yang mencakup Bali Action Plan, yakni upaya ke arah penurunan CFP melalui pengurangan emisi GRK kelompok Annex I sebesar 5,2% hingga tahun 2012, berdasarkan tingkat emisi mereka tahun 1990. Mereka juga wajib membantu biaya pengurangan emisi GRK negara-negara berkembang. Dalam konteks itu, setelah COP 13 UNFCCC di Bali, dapat diperoleh janji penyediaan US$ 1 milyar bagi Indonesia oleh Norwegia, agar proyek moratorium penebangan hutan dapat dilaksanakan, yang menuju kepada pengurangan emisi GRK.
Di samping dana tersebut pada COP UNFCCC #13 di Bali dicanangkan peluncuran dana The Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) oleh Bank Dunia. Dengan demikian, maka UNFCCC yang semula difokuskan pada emisi CO2 yang dikaitkan dengan akibat penggunaan bahan bakar fosil, mulai bergeser fokusnya, karena terjadi paradigm shift. Fokus itu kini diarahkan kepada fungsi hutan, sebagai carbon reservoir, karena kemampuannya mengikat CO2. Oleh karena 70% emisi GRK Indonesia berasal dari perusakan hutan, maka dimulai proyek REDD (Reducing Deforesation & Forest Degradation), yang dicanangkan di Bali pada tahun 2007. Program REDD, dalam konteks manajemen hutan, kini ditambah dengan forest conversation, sehingga menjadi REDD+ (REDD Plus). Menurut laporan UNFCCC 2007, emisi GRK Indonesia: 80% dari penggundulan hutan, 14% dari penebangan liar, sedang 5% dari pengambilan bahan bakar kayu api.
Yang diharapkan dari pemerintah adalah ketegasan manajemen hutan secara komprehensif, dengan memperhatikan kepentingan perkebunan kelapa sawit, yang mempunyai kedudukan strategis dalam perekonomian, tetapi juga kepentingan suku-suku yang hidupnya bergantung dari hutan, melalui perlindungan UN Declaration of the Rights of Indigeneous Peoples, dan fungsi hutan-hutan lindung, yang berperan sebagai paru-paru yang memasok oksigen, dan sebagai mengikat CO2, jadi fungsinya sebagai carbon reservoir.
Usaha Bersama
Apabila membaca UU No. 32/2009, tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka tidak dapat dihindari kesan bahwa ini adalah penjabaran UNFCCC/KP, termasuk penampungan UN Declaration of the Rights of Indigenous Peoples. Juga dijumpai kewajiban korporasi melalui Social Corporate Responsibility (CSR) dalam UU Perseroan Terbatas, serta kewajiban pribadi, yang diupayakan melalui pesan mimbar, dan penyelenggaraan Bulan Peduli Lingkungan di GKI Pondok Indah, sehingga menyentuh secara nyata kegiatan perseorangan ke arah penururan emisi GRK dan memperkecil CFP, berarti berpartisipasi dalam proses mengurangi pemanasan global.
Paul P. Poli
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.